Bab 9. CCTV

Tepat setelah Digma mengungkapkan hal apa yang ia minta pada Atha kemarin, cowok itu dengan gesit langsung melakukannya. Tanpa banyak berpikir ia membeli beberapa perlengkapan yang Digma butuhkan untuk menjebak Gery. Lewat salah satu situs gelap, cowok itu membeli beberapa kamera pengintai mini, penyadap suara tersembunyi, serta  pelacak gps mini yang berbeda dari yang biasa dijual di marketplace biasa. Sebagai orang yang sangat menyukai hal-hal berbau IT, Atha juga mulai membuat program untuk dapat meretas ponsel Gery. Setelah semua hal yang ia pesan tiba tepat waktu, ia langsung menghubungi Digma untuk segera merencanakan langkah selanjutnya.

Tepat jam 12 siang, setelah diam-diam meninggalkan sekolah, Atha memarkirkan motor matic-nya di minimarket dekat sekolah Digma. Dengan langkah cepat, ia menutupi seragamnya dengan hoodie abu dan berjalan masuk ke gerbang utama.

“Siang, Pak,” sapa Atha buru-buru saat melihat seorang satpam menatapnya curiga.

Untungnya seragam hari ini putih abu-abu. Atha jadi tak terlihat begitu mencolok dari siswa siswi di sekolah ini. Setelah yakin tidak ada teguran dari balik punggung, Atha dengan cepat mengubah kembali raut wajahnya dan berjalan dengan stabil menuju ke tempat yang sejak tadi ia pikirkan. Perpustakaan. Tempat yang menjadi kedok untuk Atha dan Digma bertukar barang secara rahasia. Atha mengambil langkah itu untuk meminimalisir  kecurigaan Gery jika melihat mereka bertemu secara langsung

Melalui wadah yang luarnya berbentuk buku setebal kamus, Atha dapat dengan mudah menyembunyikan barang-barang ilegal yang dilarang ada di sekolah di dalam kotak itu. Dengan langkah tegap, setelah memasuki ruangan perpustakaan, cowok itu langsung menempatkan diri bersembunyi di balik salah satu rak setinggi 2,5 meter. Tangannya dengan gesit mengambil buku palsu itu dari dalam tas dan menaruhnya di sela-sela buku lain.

Dengan degup jantung yang mulai berdebar tak teratur, Atha melirik sekitar. Kanan kirinya sepi, hanya ada satu dua anak yang sedang membaca buku di ujung ruangan. Setelah yakin tak ada yang mencurigainya, kakinya dengan cepat melangkah keluar dengan pandangan tenang tetap ke depan.

Saat dirinya kembali fokus menyusuri jalan yang tadi ia lewati untuk pulang, tanpa diduga, ia malah berpapasan dengan Digma Sontak mata mereka beradu sepersekian detik. Seolah tahu pikiran masing-masing, mereka mengangguk bersamaan. Tak lama dari itu, sebuah pesan masuk ke ponsel Digma.

[Atha Petir 13:03 : Rak terakhir. Buku Hitam. Bystander.]

Digma membaca pesan itu cepat sebelum kembali menatap gadis di depannya. Setelah mengungkapkan apa yang ia mau, dan gadis itu juga pergi karena alasan mendadak, dengan tergesa cowok itu memutar arah dan menuju perpustakaan sesuai arahan Atha. 

Usai memasuki area yang penuh buku tersebut, ia dengan gesit menyusuri beberapa lorong rak dan berbelok ke lorong terakhir tempat yang Atha sebutkan tadi. Dengan cepat ia menilik setiap judul buku dan matanya pun menangkap sebuah buku hitam dengan tulisan Bystander menurun di punggung buku. Saat hendak keluar lorong, tak lupa ia mengambil stiker kode inventaris di punggung buku lain untuk ditempelkan ke buku miliknya.

Dengan langkah percaya diri, Digma berjalan ke meja pelayanan. Ia menyerahkan buku palsu itu ke petugas untuk dicatat sebagai buku pinjaman. Dengan jantung yang berdebar, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Dinginnya AC di ruangan itu menambah perasaan gelisah. Apalagi saat tangan petugas wanita itu hendak membuka buku miliknya. Napas Digma terhenti saat itu juga.

“Mba Dita, itu ada anak yang mau pinjam kamus buat pelajaran Bu Ega.”

Suara dari petugas wanita yang lain, sontak membuat Dita menutup kembali buku itu. Ia dengan cepat mengetikkan beberapa tulisan di komputer dan menyodorkan buku Digma.

“Waktu pengembalian tiga hari sejak hari ini, ya,” ucapnya ramah sambil tersenyum.

Digma balas tersenyum sambil menghela napas lega. Dengan cepat ia keluar dari perpustakaan, dan menghubungi Atha. 

[“Tha? Lo dah balik?”] tanyanya sambil mendorong pintu kaca lalu keluar dari sana.

[“Baru mau cabut.”] balasnya singkat.

[“Lo yakin semua barang yang gue minta ada di buku ini?”]

[“Lo buka aja.”]

Digma mengintip sekilas. Buku bukan sembarang buku itu setelah dibuka lebih seperti kotak pandora yang memiliki ruangan kecil di tengah-tengah. [“Spesifikasinya sesuai yang gue minta?”] Matanya mengamati dari celah kecil setiap barang yang ada di kotak itu.

[“Yoi, kamera pengintai paling kecil, dengan daya tahan baterai tiga hari, Wifi remote monitoring, dan resolusi kamera 1MP. Untuk cara pakenya, seperti biasa, tombol power dan hubungin ke wifi biar lo bisa monitor dari hp.”]

Digma tersenyum puas. Ia menutup kembali buku itu dan menentengnya dengan aman di tangan kiri, sedang tangan kanannya masih sibuk mengangkat telepon.

Atha kembali berbicara, [“ Tiga hari, Dig. Lo harus isi daya setelah itu. Selain kamera yang lo minta ke gue, gue juga kasih penyadap suara tersembunyi, pelacak gps mini, dan flashdisk yang bisa langsung meretas ponsel yang lo mau.”]

Sudut ujung bibir Digma semakin tertarik. [“Siap, Bang Hacker!”] pungkasnya sebelum menutup panggilan dan masuk ke dalam kelas.

Di sana, beberapa teman sekelasnya sudah berganti pakaian dengan kaos olahraga. Digma melirik jam di atas papan tulis. Pukul setengah sebelas memang waktunya jam pelajaran PJOK. Setelah memastikan di kelasnya hanya tinggal beberapa anak laki-laki, Digma segera melepaskan kemeja osis dan berganti memakai kaos motif putih biru milik sekolah barunya. Melihat semua sisa temannya tadi sudah meninggalkan kelas, Digma buru-buru mengambil buku di laci meja.

Ia segera memencet tombol ON dan memasukan SD Card di masing-masing perangkat. Empat kamera pengintai seukuran balok lego, dua penyadap suara berbentuk flashdisk, dan dua pelacak GPS mini dengan ukurannya yang tak kalah kecil langsung Digma masukan ke kantong celana olahraga.

Tak lupa, sebelum meninggalkan kelas, Digma memasang satu earphone di sebelah telinganya. Mencoba menghubungi Atha kembali.

[“Ada apa lagi?”] tanya Atha malas dari seberang telepon. Sepertinya cowok itu masih di jalan dari suara bising kendaraan yang samar terdengar.

[“Bantu monitor dong dari HP lo. Gue mau coba masang satu,”] pintanya dengan mata yang tak henti-hentinya mencari tempat aman untuk sang kamera. Ia kini sudah berada di tempat yang menurutnya sangat sering Gery kunjungi untuk membully, warung Bu Eya. Warung itu hari ini sedang tutup. Anak-anak nakal yang suka berada di sana kini tak terlihat batang hidungnya. Waktu yang tepat untuk Digma melancarkan aksinya.

Setelah merogoh sebuah kamera dari saku, ia dengan cepat memasukan kamera mini itu ke sela-sela batang pohon dengan rongga yang lumayan besar dekat warung tersebut. Menurutnya tempat itulah yang jarang orang orang liat.

[“Lo taruh di mana nih?”] tanya Atha curiga setelah berhasil mendownload aplikasi CCTV dan memasukan kode unik yang ia lihat dari struck pembelian. Ia memandangi gambar yang dihasilkan dari sudut pandang kamera itu.

[“Aman, batang pohon.”]

[“Hah? Ga kena hujan?”]

Digma mendongak. Atap dari bangunan ruang kelas sepuluh untungnya menjorok hingga menutupi batang pohon itu. [“Aman, aman.”]

[“Kurang geser kanan,”] ucapnya mengarahkan.

Digma lalu kembali membenarkan posisi kamera pengintai itu hingga pas sesuai arahan Atha.

[“Gimana?”]

[“Udah, oke.”]

Digma bekacak pinggang. Mata tajamnya kini fokus, mengamati dari jauh kamera mini yang barusan ia letakan itu. Tapi ucapan dari Atha mendadak membuyarkan konsentrasi Digma.

[“Dig, lo yakin sekarang lo sendirian? Kayaknya ada seseorang di belakang lo.”]

Wajah Digma menegang. Sontak, ia langsung menengok ke belakang dan menemukan Gery sedang menatapnya penuh selidik.


Author Note:

Lengah dikit, Gery udah di belakang Digma aja.

Kira-kira kameranya ketahuan Gery nggak?

Stay tune buat tau jawabannya! Jangan lupa like dan komen ya, Beb!See u!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top