Bab 7. Help Arrives
Setelah bel pulang berbunyi, Digma dan puluhan murid lainnya berhamburan keluar kelas. Sambil berjalan ke arah gerbang depan, Digma meraba dagu dan menggerakkan rahang ke kanan kiri. Sudah dua kali rahangnya yang tegas ini menjadi sasaran tonjok Gery. Kalo ada apa-apa dengan wajahnya, Digma juga tak akan mengampuni wajah cowok berandal itu.
Sepasang kaki yang dibalut sepatu nike putih tiba-tiba berada di depannya, menghadang. Digma menghela napas berat. Ia sudah sangat hafal siapa cowok yang ada di hadapannya kini.
Lagi? Batinnya muak melihat wajah garang cowok itu. Tangannya yang semula ia simpan di saku dikeluarkan. Seolah sudah siap dengan rundungan Gery selanjutnya.
Beberapa temannya yang asik duduk di pinggir, sontak ikut bangkit dan berdiri di belakang ketua geng mereka. Wajah mereka semua sama, seperti anak kecil yang senang mendapatkan mainan baru dan tak sabar untuk merusaknya.
"Bawa tas gue!" Gery tanpa aba-aba melempar tas miliknya dan membuat Digma terkesiap menangkap tas itu. Setelah melempar, tanpa rasa bersalah ia lanjut berjalan ke arah gerbang.
Tiga temannya yang lain juga melakukan hal serupa, melempar tas masing-masing. Membuat Digma dengan cepat melangkah ke depan, samping, dan belakang untuk dapat menangkap lemparan itu dengan sempurna. Setelah berhasil menangkap, otot tangannya refleks menegang saat beban tas-tas itu tak sesuai dengan bayangan Digma. Seberat-beratnya tas siswa paling rajin di kelasnya, tas Gery dan kawan-kawannya lebih berat dua kali lipat. Digma yang ragu bahwa tas itu berisi buku sontak meraba dan benar saja sebuah balok yang sepertinya terbuat dari semen ada di dalam masing-masing tas.
Digma tersenyum tipis. Mereka pikir, cowok itu akan keberatan dan kesusahan membawa tas-tas yang hanya berisi jebakan batu? Sebagai seorang atlet yang mana ototnya terbiasa dengan latihan fisik, membawa tas seberat itu tentunya bukan hal yang susah bagi Digma. Ia pun lanjut berjalan sambil menyangkutkan dua tas di kedua lengannya dan satu tas di atas kepalanya. Beberapa siswa yang juga sedang berjalan keluar pun sampai salah fokus saat melihat Digma yang sedang dirundung oleh penguasa sekolah namun dapat berjalan dengan gagah layaknya seorang model.
Alex yang pertama menyadarinya, langsung memberitahu Gery. Gery tak menghentikan langkahnya, ia hanya menengok ke belakang sekilas lalu mengepal tangannya kuat-kuat.
Saat mereka telah keluar dari area sekolah dan tiba di depan minimarket tempat parkir liar kendaraan mereka, Gery lalu menarik kasar lengan baju Digma agar cowok itu mendekat. Ia berbisik di telinga cowok itu.
"Mulut gue sepet. Beliin rokok gih di dalem," ucap Gery menambahkan beban Digma. Ia tak terima oleh fakta Digma tak kesusahan membawa tas mereka. Dengan ide busuknya, Gery segera menyuruh Digma membeli rokok agar jika diselidiki guru, Digma-lah yang akan di-cap sebagai pelaku.
Setelah melirik tak suka, kaki Digma melangkah berat ke dalam minimarket. Tak lupa ia menaruh asal tas mereka di atas motor yang berjejer rapi itu.
Tak butuh waktu lama, Digma keluar dengan membawa sebuah kantong plastik. Gery merampas kantong itu dengan tidak sabar. Namun bukannya rokok yang ia temukan, empat buah botol susu kemasan rasa pisanglah yang tergeletak di dalam sana. Gery sontak meraih kerah Digma dan mendorong cowok itu hingga terhimpit pohon besar di dekat sana.
"Maksud lo apa beli ginian?" Dada Gery naik turun. Napasnya memburu. Wajah ganasnya muncul kembali. Digma yang melihatnya diam-diam menarik sudut bibirnya puas. Ia berhasil merendahkan harga diri cowok itu.
"Jangan marah dulu. Maksud gue baik, lho. Rokok kan nggak bagus buat paru-paru kalian. Makanya gue beliin susu pisang," jelas Digma yang langsung disambut sebuah tinju dari Gery.
Tak tanggung-tanggung, dua hingga tiga kali cowok itu menghajar pipi dan rahang Digma. Membuat gusi cowok itu berdarah. Digma kali ini mengerang keras kesakitan karena sejak kemarin wajahnya sudah ditonjok berkali-kali.
Erangan itu yang Gery tunggu-tunggu. Tanpa jeda, ia lalu lanjut memukul bagian hidung. Bau anyir mulai tercium karena darah langsung keluar dari sebelah lubang hidung Digma. Belum sempat Digma mengatur napasnya, sebuah tendangan menghantam perut. Membuatnya oleng ke arah kanan, dan disambut tinjuan Alex ke dada Digma.
Digma kini terkulai lemas meringkuk di bawah. Melihat hal itu mata Gery membara. Ia memberi kode pada ketiga temannya untuk menghabisi Digma sekarang. Alex, Deta dan Reksa pun langsung menginjak-injak Digma yang sudah tak berdaya.
Sakit di beberapa bagian tubuh Digma mulai menjalar dan membuat dirinya hampir kehilangan kesadaran. Melihat Digma yang babak belur, Gery lalu mengamati sekitar. Ini bukan lingkungan sekolah yang mana ia bisa memanipulasi keadaan. Untungnya di sekitar sedang sepi dan dua petugas minimarket tidak melihat kejadian tadi. Gery lantas memberi kode kepada teman-temannya untuk segera mengambil motor dan pergi meninggalkan Digma.
Beberapa detik kemudian, Digma terbatuk cukup keras dan membuang air liurnya yang penuh darah. Ia meringis, merasakan rasa nyeri di pipi. Cowok itu juga mengelap beberapa darah di hidung dan pelipisnya.
Dengan seluruh tulang di badan yang terasa remuk, cowok itu berusaha menyadarkan diri sendiri. Parkiran telah sepi. Hanya angin sore yang menemaninya di sana. Dengan kaki setengah pincang, Digma berusaha berjalan menjangkau parkiran sekolah. Sesudah mengambil motor, dengan kecepatan penuh ia melaju ke kosan Atha.
Ia menyalip beberapa mobil dan motor dengan cukup brutal, dan tiba di tujuan tepat waktu. Melihat temannya datang dengan penampilan sangat berantakan, Atha yang sedang mabar di dekat pintu bangkit berdiri. Ia dengan sigap menghambil sebelah lengan Digma dan menumpunya di leher. Membawanya perlahan ke dalam kamar. Atha juga mengambil beberapa plester luka, segulung perban dan obat merah.
"Perih, woy!" teriaknya kesakitan. Kulitnya seperti disilet berkali-kali lipat. Matanya menyipit sambil beberapa kali meringis nyeri. Bukan hanya diolesi, Atha kini menekan-nekan lukanya dengan sangat keras. "Lo mau bunuh gue ya? Pelan-pelan, Bro!"
Dengan wajah datar, Atha hanya menjeda gerakannya sebentar lalu kembali mengoles obat merah pada luka Digma di pelipis. Telinganya sama sekali tak mendengar rintihan temannya itu.
"Jelasin semuanya ke gue sekarang atau gue bikin lebih nganga lagi luka lo?" ancam Atha sambil hendak menekan luka di hidung cowok itu.
"Tuh kan psikopat lo! Tenang, bakal gue jelasin semuanya." Tangan Digma sontak menangkis tangan jahat Atha. ia pun beralih duduk di kursi menjauhi pelaku kejahatan berencana.
"Apa yang mau lo tau?" tanya Digma kesal. Ia meraba-raba rahang dan hidung, masih takut wajahnya kenapa-napa.
Atha melipat tangannya perlahan. "Alasan lo pindah."
"Abian."
"Pasti lo udah tahu kan, siapa pelakunya?"
"Menurut Aldino, tersangka utamanya adalah Gery, anak ketua yayasan sana."
"Bisa dihukum nggak tuh anak?"
Digma kini terdiam. Raut wajahnya berubah masam. "Untuk sekarang, gue belum bisa hukum mereka. Bukti aja gue nggak punya. Tapi gue bakal bikin bukti sendiri."
"Caranya?" Alis Atha naik sebelah.
Digma merentangkan tangan, seolah memberitahu bahwa keadaannya sekarang sudah menjawab segalanya.
Mata Atha melebar. Kedua alisnya naik, terkejut. Seolah ia baru menemukan potongan teka-teki terakhir dari keanehan perilaku Digma akhir-akhir ini.
"Jadi lo bikin bukti, diri lo sendiri yang dibully?" tanya Atha meyakinkan dugaannya. Digma menjawab dengan anggukan. Membuat Atha kini geleng-geleng kepala. Ia tak menyangka nyali temannya itu besar juga.
"Seorang Digma di-bully?" tanyanya kembali tak percaya. "Padahal sekali kena tendangan maut lo mereka bakal sujud sama lo, Dig."
"Gue nggak punya cara lain."
"Udah diapain aja lo sama mereka?"
"Ya dibikin babak belur gini. Apalagi waktu mereka tahu nilai PR mereka dua puluh, badan gue malah ditumpahin susu basi!"
Atha menahan tawa sambil memalingkan muka. Membuat Digma semakin menatap kesal cowok itu.
"Kebangetan banget. Lo sengaja kan bikin nilai PR mereka dua puluh? Ngaku lo!" protes Digma sambil mengacungkan telunjuknya.
Atha mengangkat kedua tangannya di udara tak mau disalahkan. "Lo yang nyuruh."
"Ya tapi kan nggak dua puluh juga, Bro. Jadi keliatan bego gue di depan mereka. Maksud gue salahin beberapa aja, jangan semua."
Atha kini benar-benar tertawa. Ia cukup terhibur dengan derita temannya itu.
"Gue nggak akan maafin lo, kecuali lo mau ngelakuin satu hal buat gue."
"Hal apa?"
Author note:
Ya kali abis dikerjain Atha, Digma nggak minta sesuatu. Rugi, dong!
Kira-kira, apa ya yang diminta Digma?
Ada yang bisa nebak nggak?
Semoga aja bukan "pinjem dulu seratus" ya.
Buat yang penasaran sama hal apa yang diminta Digma yuk jangan lupa like dan komen dulu di si bab ini! See u, Beb!
Ini Digma sebelum dilemparin banyak tas. Harusnya tas-tas pembully itu diem-diem Digma ambil terus dijual nggak si, daripada diturutin tuh si Gery, Digma jadi samsak mereka lagi kan?!
Digma : "Diem, Thor! Jangan nyesatin para Readers!"
Author: ☺️🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top