Bab 6. The Fool
Belum ada lima menit sejak Digma tiba dan menduduki kursinya di kelas pagi ini, seorang anak dengan beberapa lebam di wajah datang dan berdiri di hadapannya. Mata Digma sontak melebar, terkejut melihat penampilan siswa itu.
"Ka-kak ... maaf." Suara anak itu bergetar, disertai gerak tubuhnya yang kesakitan. "Kak Gery, minta buku PR-nya hari ini. Bo-boleh saya ambil sekarang?" tanyanya sambil menatap Digma cemas.
Digma bangkit berdiri. "Lo balik ke kelas aja. PR mereka biar gue anter sendiri," jelasnya mantap lalu dengan segera mendatangi Gery di kelasnya.
Di kelas, Gery sedang bergerombol dan bercanda dengan teman segengnya. Ia terbahak-bahak melihat sebuah gambar dari layar ponsel Alex. "Gede banget, Gila! Hahaha!"
"Ini belum seberapa, Ger. Lo mau liat–" ucapan Alex terpotong saat matanya menangkap sosok Digma datang dengan percaya diri di kelas mereka. "Loh, mana si kacung?" kagetnya sambil melirik kanan kiri mencari seseorang di belakang Digma.
"Ini PR kalian." Tangannya terulur meletakan buku-buku itu. "Nggak usah nyuruh orang lagi. Gue yang bakal anter sendiri," tegas Digma sebelum sebelah kakinya di jegal oleh kaki Gery hingga membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Suara tubuh yang terbanting keras di lantai cukup membuat ruangan XI F-5 gaduh pagi ini. Nyeri di bahu dan siku Digma kini tak sebanding dengan amarah yang ingin dilampiaskan cowok itu. Sambil berusaha bangkit, Digma mencoba menguasai amarahnya.
"Bilang aja kalo lo mau gantiin si Kacung. Nggak perlu sok jago kaya tadi, Njing!" bentak Gery sambil dengan santai membuka buku PR yang tadi diberikan Digma.
Setelah bangkit, Digma hanya menoleh singkat. Ia malas memperpanjang masalah yang bisa-bisa tujuan utamanya akan terbongkar jika suatu saat emosinya tak dapat ditahan lagi. Ia pun memutuskan untuk pergi bersamaan dengan tatapan kasihan siswa-siswi di kelas itu.
Keluar dari sana, Digma tak langsung balik ke kelasnya. Ia memilih untuk melihat-lihat sekitar dan berkeliling ke segala penjuru sekolah. Melihat bagaimana tempat-tempat yang biasa Gery kunjungi untuk merundung beberapa siswa. Ada kantin warung Bu Eya yang paling terpencil, depan ruang laboratorium biologi yang lama, tanah lapang di belakang sekolah, hingga gedung gagal dibangun yang juga di pojok sekolah. Semua itu adalah tempat-tempat sepi dan jarang dijangkau para guru. Digma lalu mendongak, matanya teliti mencari setiap CCTV yang ada di sana dengan cermat. Memang ada beberapa CCTV tergantung di pojok gedung namun sepertinya itu adalah CCTV rusak.
Puas menyelidiki hingga ke setiap sudut sekolah, cowok itu lalu kembali ke kelas. Di kelas sudah ada guru mapel yang sepertinya sudah memulai pelajaran sejak tadi. Digma beralasan singkat kalau ia baru balik dari kamar mandi. Untungnya guru itu tidak mempermasalahkan alasan anak didiknya itu dan langsung kembali menulis di papan tulis. Dengan tenang cowok itu pun duduk di kursi dan kembali membuat ponselnya berselancar di aplikasi online shop.
Dua jam pelajaran pun berlalu. Guru mapel di depan kelas sudah mengucapkan salam penutup yang disambut salam balik oleh para siswa. Digma yang sejak tadi tak sempat memperhatikan gurunya lalu memandang papan tulis cukup lama. Bukannya ia tak menghargai usaha guru, namun misinya di sekolah ini sedang menjadi prioritas utamanya. Dengan catatan seadanya di papan tulis, Digma berusaha memahami dan menghafal materi tentang biologi tu, hingga tiba-tiba sebuah tangan mencengkram erat kerahnya dan membawanya secara paksa ke suatu tempat.
Sesampainya di toilet cowok, sebuah pukulan mendarat sempurna di pipi Digma. Tanpa jeda, dua kali tinjuan langsung menyasar perutnya juga. Dan terakhir, tangan cowok berpenampilan berandal itu menarik paksa dagu Digma ke atas.
"Lo mulai main-main sama gue?" hardik cowok dengan wajah beringas itu. Kedua matanya melotot, menatap Digma tak berkedip. Seolah Digma adalah mangsa yang tak akan pernah ia lepas. "Lo sengaja bikin nilai gue jelek?"
Digma yang masih menahan rasa perih di ujung bibir akhirnya angkat suara. "Sumpah, Ger. Otak gue emang kapasitasnya segitu. Salah lo lah, nyuruh ngerjain PR lo, kok, sama gue."
Satu tendangan lagi-lagi mendarat di perut Digma. Membuat cowok itu kembali terhempas jatuh dan membuat kepalanya sedikit terbentur closet berdiri. Lantai toilet laki-laki kini terasa dingin di tangan Digma, sedingin tatapan empat orang berandal di sekelilingnya.
"Oh, jadi salah gue?" tanya Gery penuh intimidasi. Senyum liciknya kini terlihat mengerikan. Tangannya lalu memberi kode kepada Alex untuk memberikan sesuatu.
Alex yang tidak peka, membuat Gery mengeplak kepala teman segengnya itu. "Kasih gue susu basi, Bodoh!" perintah Gery tak sabaran lalu meraih sekotak susu yang Alex berikan dari saku celana.
Tak butuh waktu lama bagi Gery untuk membuka susu itu dan menumpahkan semua isinya di kepala Digma hingga membuat sekujur tubuh cowok itu basah dan bau.
"Awas kalo lo macem-macem sama gue lagi," ancam Gery. "Sampai jumpa besok, Bodoh!"
Digma yang merasakan dingin dan lengketnya susu basi itu hanya diam terduduk di lantai, hingga akhirnya Gery dan gengnya keluar karena merasa amarahnya sudah cukup tersalurkan dengan memberi Digma pelajaran.
Setelah ditinggal sendirian, perlahan Digma berdiri. Menumpukan kedua tangan di kedua sisi wastafel. Ia menatap bayangan dirinya yang berantakan di depan cermin tanpa ekspresi. Kepalanya yang kaku, ia putar ke kanan kiri perlahan. Pegal rasanya harus selalu menatap laki-laki bajingan itu. Tak lupa ia mengelap kasar sedikit darah dari luka di ujung bibirnya.
"Sialan! Pukulan Gery tiap hari tambah kuat aja kayaknya." Digma memutar lengan kanannya, mulai merasakan nyeri di tulang belikat.
Ia juga mengendus pakaiannya. "Hobi kok numpahin susu basi. Curiga gue di rumahnya nyetok sekardus, ada kali basi semua."
Saat Digma sedang membersihkan wajah dan pakaiannya, tiba-tiba seorang gadis masuk ke toilet sambil berjalan mundur dan bersembunyi di balik salah satu bilik. Kepalanya masih menyundul ke luar, seperti mengamati apakah ada orang yang mengikutinya atau tidak.
Setelah yakin merasa aman, cewek itu akhirnya keluar dari bilik dan langsung terkejut saat melihat keberadaan Digma di depan wastafel.
"Kok laki-laki ada di sini?" kaget gadis itu dengan mulut ternganga.
"Iya, kan, ini tempat nongki para cowok," jawab Digma santai sambil menunjuk closet berdiri yang biasa dipakai para siswa laki-laki.
Melihat benda yang asing di toilet wanita, membuat mata cewek itu semakin melebar. Wajahnya kini memerah malu. "Sorry, gue kesasar."
"Oalah," jawab Digma malas sambil kembali membersihkan diri. Ia mengibaskan tangan memberi kode agar cewek itu segera pergi. "Lain kali pake Gmaps, biar nggak kesasar," tambahnya sarkas.
Tak menanggapi omelan Digma, cewek itu malah gagal fokus melihat penampilan dan kondisi cowok dihadapannya. Rambut hitam yang berantakan, wajah putih dan mulus yang penuh lebam, serta seragam yang menyelimuti tubuh proporsionalnya terlihat basah dan kusut.
"Lo ... habis di-bully, ya?" selidik gadis itu. Raut wajahnya kini berubah iba.
"Ah, nggak kok. Udah biasa ini, santai aja. Silakan keluar ...." Kalimat Digma menggantung mencari nama gadis itu di name tag, "Fara ...," ucapnya ragu, dan sepertinya Digma tak asing dengan wajah gadis itu.
"Kalo lo butuh bantuan, kasih tau gue ya," pesan Fara masih memandang kasihan cowok itu.
"I-iya ...," jawab Digma ragu-ragu. Tak disangka ada siswa yang memedulikannya. Seingat dia tingkat ketidakpedulian siswa-siswi di sekolah ini benar-benar sudah parah, alias tak ada yang berani melawan Gery, sang penguasa sekolah.
"Gue Fara. Gue ketua PKS tahun ini. Kalo ada apa-apa lo harus bilang ke gue. Lo nggak boleh terluka sendiri–" ucapan Fara tiba-tiba terpotong karena Digma yang mendorong paksa punggung Fara agar keluar dari sana.
"Udah sana keluar! Betah amat di kamar mandi cowok." Digma melipat tangan di dada. "Gue nggak kenapa-napa. Mau lo ketua PKS, ketua drumband, ketua rohis, gue nggak peduli. Terima kasih atas perhatian lo tadi. Gue mau cabut dari sini."
Samar, Fara mendengar seseorang memanggil namanya dengan keras di lorong kamar mandi sekolah. Fara sontak gugup kembali. Rupanya orang itu belum lelah juga mencari keberadaan Fara. Sebelum pergi, ia berpesan sesuatu pada Digma.
"Minggu pagi, temui gue jam sembilan di Dearest Cafe. Ada sesuatu yang harus gue omongin," pinta gadis itu sebelum berlari ke tempat lain.
Author note:
Bener-bener di luar prediksi BMKG. Tiba-tiba aja Fara minta Digma ketemuan?
Mau ngapain ya kira-kira?
Semoga aja nggak bahas siapa pemilik akun Fufufafa.
Tambah pusing nanti Digma. Biarin aja dia fokus sama balas dendamnya.
Yang penasaran pertemuan mereka mau bahas apa, jangan lupa like dan komen di bab ini ya, see u!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top