Bab 5. For Me It Doesn't Hurt

Sejak perseteruan Digma dan Gery di lapangan yang berakhir menggantung. Teman-teman se-geng Gery mulai bertanya-tanya apa yang terjadi setelah Digma membisikkan sesuatu. Sangat tidak wajar seorang tukang bully penuh amarah seperti Gery membiarkan Digma si anak baru pergi begitu saja saat mereka sedang merundungnya.

"Ger, kenapa lo lepasin tuh anak kemarin?" tanya Alex sambil menghisap vape di depan ruang laboratorium biologi yang lama. Ruangan itu kini kosong, berada di pojok area, jauh dari jangkauan para guru.

Gery yang masih mengamati Digma dari kejauhan tak menjawab pertanyaan Alex. Matanya sibuk mengamati gerak-gerik Digma yang baru saja meninggalkan kantin setelah membayar sesuatu. Di sebelahnya, Deta ikut mengamati arah tatapan Gery.

"Dia berani ngomong apa sama lo?" Deta menepuk-nepuk kepalan tangan kanannya, seolah sangat siap meninju apapun yang diperintahkan Gery saat ini.

"Tenang aja Ger! Dua tiga kali pelajaran dari kita, tuh mulut selamanya bakalan diam," geram Reksa. Tak tahan melihat ketua mereka terlihat was-was. Ini adalah pertama kalinya Gery memperlihatkan muka gusarnya.

Alex yang sudah selesai dengan vape-nya kembali menimpali ucapan Deta. "Tapi bener, gue juga penasaran. Sebenernya tuh cowok ngomong apa anj–" Obrolan mereka sontak terhenti saat Gery mulai bangkit dari kursinya dan berjalan dengan terburu-buru ke suatu tempat.

Tanpa sepatah kata, Gery diikuti ketiga temannya tiba di kelas Digma. Mata Gery menyisir dan menemukan cowok yang sejak kemarin mengganggu pikirannya itu, sedang duduk di bangku pinggir jendela. Dengan langkah lebar, ia menempatkan diri di kursi depan Digma, duduk berlawanan arah dari yang seharusnya, demi bisa menghadap cowok itu sepenuhnya.

Melihat kedatangan Gery dan gengnya, beberapa anak kelas sontak berbisik gaduh. Ada yang langsung berlari keluar, ada juga yang mengintip dari jendela karena penasaran.

"Masih inget gue kan?" Seringai liciknya mulai terpampang di wajah Gery. Membuat Digma diam-diam mendengkus malas. "Tentang kemarin, maksud lo apa? Lo punya bukti?" Gery langsung to the point membahas hal kemarin. Bersiap melakukan langkah selanjutnya, jika benar Digma tau sesuatu tentang apa yang pernah ia lakukan.

Digma balik menatap lekat cowok itu. Hening mengelilingi mereka. Sepertinya, hanya mereka berdua yang paham ke mana arah pembicaraan sekarang. Digma pun mengetuk meja perlahan dengan jemari. Ia sedang berpikir, apakah lebih baik jujur saja dan mulai menghabisi cowok itu sekarang, atau tetap pada tujuan awal demi menghukumnya lebih berat lagi.

"Bukti?" Digma akhirnya menggeleng. "Gue cuma denger rumor," sambungnya setengah berbohong. Karena setengahnya lagi memang benar, ia belum punya bukti apapun.

Tak langsung percaya, Gery terdiam. Masih menatap tajam lawan bicaranya itu beberapa menit dalam diam. Membuat jantung Digma berdebar sejenak. Curiga rencananya akan ketahuan hari ini, ia pun memindahkan tangannya ke bawah meja, mengepal dan bersiap untuk hal apapun yang akan terjadi.

Tapi, sedetik kemudian tawa sinis Gery terdengar diikuti beberapa kali tepuk tangan, seolah menertawakan ketakutannya selama ini. "Bilang dari kemarin, Bego!" kesal cowok berpakaian urakan itu. Ia lalu berbisik pada Alex dan dengan cepat anak itu berlari ke luar kelas.

"Gue dan temen gue punya tugas buat lo." terangnya setelah Alex datang membawa beberapa buku tulis. "Tugas lo adalah garap semua tugas sekolah kita. Lo paham?" perintah Gery santai sambil menaruh buku-buku itu kasar di meja hingga terdengar sedikit suara gebrakan. Namun gelengan dari Digma sontak membuat kepalanya langsung mendidih.

Gery menatap Digma bingung bercampur kesal. Sejak ia di sekolah itu, semua anak takut padanya dan tidak berani menentang kemauan dia. Namun Digma? Baru dua hari di sekolah bapaknya sudah membuat banyak kegaduhan.

"Oh, lo nolak?" Ia pun mengambil sebotol air minum di meja Digma dan mulai menumpahkan isinya di kepala cowok itu.

Tak ada waktu untuk mengelak, Digma kini mengumpat dalam hati. Karena tak terima basah sendirian, cowok itu pun memutar otak agar Gery juga terkena air itu. Ia sontak berdiri, sengaja menabrakkan kepala ke botol hingga air kemasan itu kehilangan keseimbangan dan ikut tumpah ke badan Gery.

"Bangsat!" teriaknya kesal dengan badan yang sudah basah separuh. Matanya mendelik. Tangannya terulur menarik rambut Digma ke belakang dan memaksa cowok itu duduk di tempatnya kembali. Dengan satu kepalan tangan, ia meninju pipi Digma hingga cowok itu meringis, menahan rasa perih yang menjalar di pipi.

Dengan refleksnya yang kuat terhadap ancaman, tadinya Digma hendak menangkis pukulan itu. Untung saja ia cepat tersadar dan menurunkan kembali tangannya. Ia tak boleh membuat Gery curiga untuk kedua kali. Ia memilih menyerah, membiarkan dirinya dipukuli.

"Besok kalo tugas sekolah ini belum lo kerjain. Lo ...," Telunjuknya menekan dada Digma lalu bergerak ke arah leher seolah memberi gestur sayatan, "yang bakalan abis gue kerjain!" tandasnya lalu pergi dan mengumpat beberapa kali mengibas-ngibas pakaiannya yang basah.

Digma mengusap wajahnya kasar. Ia lalu bangkit dan segera memakai jaket yang tersampir di punggung kursi. Ponsel di laci yang tadi disembunyikan dari Gery saat datang, kini ia buka. Walaupun setelah menampilkan berbagai kamera mini di sebuah aplikasi e-commerce ia mematikannya kembali dan memasukan ke saku jaket. Dengan langkah cepat, ia langsung mengambil motor dan meninggalkan area sekolah.

Digma melajukan motornya ke kos-kosan Atha dengan kecepatan penuh. Sepuluh menit kemudian, ia telah tiba di parkiran depan kamar berdinding coklat muda urutan kelima dari kanan. Kamar itu masih gelap dan terkunci. Sepertinya pemiliknya masih berada di Dojang taekwondo mereka. Digma yang memang sudah niat membolos, kini masuk ke kamar Atha dengan kunci cadangan yang ia temukan di bawah karpet.

Setelah menghela napas berat, cowok itu merebahkan dirinya ke kasur motif Manchester United itu. Ia dengan segera mengubah posisi ponsel ke landscape dan mulai bergelut dengan para pemain Mobile Legend lainnya. Hingga tak terasa waktu berlalu cepat dan suara deru motor pemilik rumah terdengar datang.

Saat masuk, Atha memandang Digma malas di ambang pintu. Ia lalu menaruh kunci motornya asal dan duduk di meja belajar.

"Tadi Sabeum Sin nyariin lo," ungkapnya singkat lalu membuka jaket bomber birunya. "Kenapa lo nggak latihan?"

"Udah sparing gue di sekolah," jawabnya asal masih asik bermain. "Nih buktinya." telunjuknya memamerkan pipinya yang mulai membiru.

Atha memundurkan kepala, heran. "Lebam dari mana tuh?" tanyanya tak percaya. Karena setahunya, Digma adalah salah satu anggota terbaik yang dilatih oleh Sabeum Sin.

Bukannya menjawab, Digma malah beralih membuka tas dan melempar sepaket buku tulis itu ke tangan Atha. "Gue minta tolong, Tha. Lo kan pinter, garapin PR gue dong!"

"Sampe berbuku-buku gini PR lo?

"Iya PR gue tiba-tiba beranak banyak."

"Gue serius, Dig." Atha lalu beralih membaca setiap nama di buku. "Gery, Alex, Deta, dan Reksa? Mereka ini siapa?'

Digma tersenyum tanpa dosa. Ia menepuk bahu Atha menenangi temannya itu. "Temen-temen baru gue yang paling gue sayang. Tapi untuk jawaban mereka jangan dibuat bener semua. Salahin aja beberapa."


Author note:

Gery adalah maut. Kayanya Pandawara lupa buang dia deh. Padahal kan Gery sampah masyarakat:(

Siapa di sini yang setuju Gery di buang aja ke planet lain?

Pasti yang paling semangat bilang "iya" si Digma nih.

Kalo kalian setuju sama Digma juga, komen dan like ya, see u Kamis, babe!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top