Bab 3. Eternal Promise
"Ternyata nggak ada yang bisa kita lakuin sekarang, Bang," ungkap Aldino. Tatapannya kini melemah.
Perkataan lawan bicaranya sontak membuat Digma kesal. Ia maju selangkah. Deru napasnya mulai memburu.
"Maksud lo? Ngomong tuh yang jelas!" desak Digma. Nada bicaranya mulai meningkat satu oktaf.
"Dia itu anak ketua yayasan di sekolahnya, Bang!" Aldino ikut terpancing emosi.
Digma tersenyum kecut, "Ya terus kenapa kalo dia anak ketua yayasan?"
"Dia punya kuasa di sekolah itu. Main-main sama Gery, lo abis, Bang."
"Gue nggak takut. Gue yang bakal habisin tuh orang sekarang juga," Telunjuk Digma teracung. "Kalo boleh bunuh orang, udah gue bunuh dia dari kemarin!"
"Terus kalo bokap lo tahu?"
Suara Digma tercekat. Ia membisu seketika. Kalo sudah bawa nama bapaknya, Digma tak bisa berkutik. Jika perkelahiannya dengan Gery terdengar hingga telinga pria itu, Digma dan mamanya mungkin jelas akan ditinggal selamanya oleh sang bapak. Digma tidak ingin membuat mamanya bersedih.
Digma mengalihkan pandangan, berusaha memikirkan cara lain yang lebih aman untuk membalas perbuatan Gery. "Kita laporin mereka ke polisi," usul Digma yang langsung mendapat gelengan cepat Aldino.
"Jangankan polisi, lo mau lapor ke komite kekerasan juga nggak bisa, Bang."
Digma melirik Aldino beberapa detik. Seolah tahu apa yang dipikirkan temannya, cowok itu pun bertanya untuk memastikan. "Karena ... nggak ada bukti?"
Aldino mengangguk. Menatap kosong jalanan di depannya. "Info dari salah satu client gue, kata si Roni anak kelas 12, nggak ada yang bisa megang Gery karena bapaknya. Setiap bukti kasus perundungan yang bocah itu lakuin selalu dihilangkan tanpa jejak sama Pak Heri. Tempat-tempat yang biasa tuh anak gunain buat nge-bully orang adalah titik buta, jauh dari CCTV sekolah. Dan semua siswa, guru, karyawan, bahkan petugas kebersihan selalu disogok, Bang, buat tutup mulut kalo nggak sengaja lihat. Kalau nggak nurut, kapanpun mereka bisa dikeluarin dan kehilangan pekerjaan."
Mendengar penjelasan Aldino, kemarahan Digma semakin mendidih. Wajahnya memerah, tangan mengepal kuat, rahang mengeras, dan otot-otot lehernya mulai terlihat.
"Brengsek!" umpat Digma kecewa. Amarahnya kini sudah di ujung kepala. Ia sudah tak sabar melahap hidup-hidup Gery dengan tinjuan dan tendangan yang selama ini ia latih. Namun, apa yang cowok itu bilang sangatlah menjatuhkan harapannya.
Ia mengacak-acak rambut frustasi. Sebelum kemudian bergerak mendekati Aldino lagi. "Oke. Karena lo gagal dapetin bukti, gue bakal bikin bukti itu sendiri," tandas Digma, bertekad.
Setelah itu, dengan langkah cepat ia meninggalkan Aldino yang masih bingung dengan kalimat yang Digma lontarkan tadi.
***
[Mama 14.30 : Digma, mama udah urus perpindahan sekolah kamu. Kamu di mana?]
Mata Digma terpaku membaca satu pesan dari mamanya. Sebenarnya, dua hari yang lalu sejak mamanya baru saja tiba di Jakarta, wanita itu mau tidak mau langsung menuruti permintaan anak semata wayangnya untuk pindah sekolah. Kata Digma, ia ingin pindah ke sekolah yang lebih dekat dengan klub taekwondo dan rumah Abian. Mamanya yang selalu sibuk dan jarang memberikan apa yang Digma mau, sontak langsung iya-iya saja saat Digma meminta sesuatu untuk pertama kalinya.
Jauh di lubuk hati, Digma meminta maaf karena telah berbohong pada mamanya. Alasan pindah sekolah yang selama ini ia gaungkan ke semua orang dan mamanya tentu saja palsu. Alasan asli dibalik itu adalah untuk melancarkan misi balas dendamnya. Kurangnya bukti dan kebobrokan sekolah Abian membuat cowok itu harus bertindak lebih jauh lagi demi membantu membalas dendam sahabatnya. Ia akan mengumpukan bukti langsung dari tempat kejadian dan berani menerima segala risiko apapun yang terjadi nanti.
Usai mengetik ucapan terima kasih dan memberitahu lokasi terkini pada mamanya, Digma kembali melangkah mendekati ruang ICU VIP atas nama sahabatnya, Abian. Sore ini, cowok itu tiba di rumah sakit tempat Abian menginap. Tapi setelah matanya menangkap sosok Abian dari jendela kecil di pintu, kaki Digma tertahan kaku. Pemandangan itu sontak menyulut rasa perih di matanya yang mulai memerah. Abian, partner-nya dalam segala hal, kini harus terbaring lemah di kasur dengan banyak selang tertaut di tubuhnya. Samar, suara khas monitor detak jantung pun terdengar di telinga cowok itu dari luar.
Digma menghela napas berat. Dadanya selalu terasa sesak jika memikirkan kembali bagaimana ia tak pernah memiliki kesempatan untuk membela dan membantu Abian lari dari cengkraman Gery dan gengnya. Entah apa yang sudah Gery lakukan, tapi perlakuan biadabnya tak pernah bisa ia maafkan. Dari balik celah kecil itu juga terlihat Bunda yang masih setia duduk di sisi ranjang. Wanita itu memegangi tangan anaknya erat-erat. Seolah tak akan pernah melepaskan Abian satu detik pun.
Digma menelan ludahnya kasar. Mata yang memancarkan dendam, kini menatap Abian penuh tekad.
"Bi, lo tenang aja. Akan ada saatnya Gery bakal berlutut di hadapan lo!" gumamnya lirih namun penuh penekanan.
Bunda yang merasa dipandangi, lalu menoleh. Menatap kotakan kaca kecil di pintu kayu ruangan. Sayangnya, Digma sudah lebih dulu pergi. Dengan langkahnya yang lemas, Bunda lalu membuka pintu, memastikan sekali lagi. Namun, bukannya melihat seseorang, ia malah menemukan sebungkus makanan yang menggantung di gagang pintu.
Tanpa diketahui Bunda, sang pemberi makanan tadi telah berjalan dengan langkah tegap dan cepat di koridor rumah sakit yang sepi. Ia berjalan ke parkiran dan segera melajukan motor Kawasaki W175 hitamnya ke tempat yang biasa ia kunjungi sepulang sekolah.
Setibanya di tempat itu, Digma mematikan mesin dan menurunkan standar motor. Ia terdiam sebentar menatap gedung serba putih dengan papan tulisan "Thunder Club Taekwondo" di atas jendela samping. Entah sudah berapa kali Digma mengajak Abian untuk latihan dengannya, namun selalu menolak. Andai ia tetap memaksa sahabatnya latihan bela diri bersama, Abian tidak akan berakhir di rumah sakit seperti sekarang.
"Bro!" panggil Atha di ujung pintu. Ia memberi kode agar Digma segera masuk. Dari pakaiannya, cowok itu sudah siap untuk latihan sore ini. Bahkan pelindung kaki, tangan, dan badan sudah ia kenakan juga.
Digma balas mengangguk singkat. Ia mengacak-acak rambutnya yang sedikit berantakan akibat helm untuk merapikannya.
"Mau sparring lo?" tanya Digma santai melewati Atha. Ia memandangi pelindung badan berwarna merah yang Atha kenakan. Sambil membenarkan letak pegangan training bag hitam di bahu kirinya, Digma melangkah memasuki aula pelatihan. Ruangan 10x10 meter yang didominasi dinding berwarna putih dan lantai karpet perpaduan biru dan merah ini terlihat sepi karena beberapa anak absen hari ini. Hanya terlihat dua orang yang sedang sparring atau latih tanding, dan dua orang lainnya sedang melakukan pemanasan.
"Sabeum Sin, kok, nggak keliatan?" tanya Digma. Mengeluarkan seragam taekwondo serba putih sambil sesekali menengok sekitar, mencari pelatihnya berada. Ia lalu segera mengenakan celana dan kaos putih yang kemudian ditimpa lagi dengan atasan khas taekwondo berkerah hitam.
Sedangkan Atha, ia sibuk mengambil pelindung kepala merahnya yang tergeletak di atas nakas. "Absen, acara keluarga," balasnya singkat.
Digma mengangguk-angguk paham
Sambil mengikat sabuk hitam, ia lalu memasang pelindung kaki, tangan, dan badan yang berbeda warna dari Atha yaitu biru.
Saat Digma berdiri dan bersiap untuk memakai pelindung kepala, cowok itu tiba-tiba merasa ada yang hendak memukulnya dari belakang dan refleks dengan kecepatan penuh ia langsung menghindar ke arah kiri. Kakinya segera memasang kuda-kuda dan kedua tangannya mengepal dengan gaya bertahan dari serangan.
"Lo kenapa?" tanya Digma terkejut dengan raut Atha yang sedang tidak bersahabat.
Bukannya menjawab, Atha malah melancarkan serangan lagi berupa tinjuan yang menyasar perut Digma. Sambil membawa pelindung kepala yang belum sempat ia pakai, cowok jangkung itu menangkis serangan tadi dan balik menendang tubuh Atha dengan kaki kirinya hingga membuat lawannya itu hampir kehilangan keseimbangan.
Kejadian itu pun langsung mengambil seluruh atensi anggota taekwondo yang lainnya. Mereka seketika menghentikan aktivitas masing-masing sambil memahami apa yang sedang terjadi.
"Bro? Lo kesurupa-" kalimat Digma terpotong karena lagi-lagi Atha memberikan tendangan belakang setelah berputar di udara. Digma dengan kecepatan penuh segera menghindar mundur dua langkah ke belakang.
Dengan napas yang terengah-engah, cowok itu berusaha menghentikan serangan Atha. "Tha! Udah! Kenapa sih lo?!" teriaknya bingung. Emosinya mulai tersulut.
Dada Atha yang juga naik turun kemudian menghentikan serangannya. Deru napasnya mulai tak beraturan. Kilatan matanya kini berubah menatap Digma sedih. "Kenapa lo nggak bilang sama gue?"
"Tentang apa?" Digma masih belum mengerti. Ia mengelap keringat yg mengalir di dahi.
"Abian koma, kan?" tanya Atha dengan kekecewaan yang terpampang jelas di matanya. Ia tak menyangka hal sebesar ini disembunyikan darinya. Sejak Digma yang sering membawanya ke rumah Abian, sejak saat itu Abian sudah seperti saudaranya juga.
"Lo tahu dari mana?"
"Kemarin gue ke rumahnya."
Mendengar hal itu, sontak Digma terdiam. Mulutnya terkunci tak tahu harus menjelaskan apa dan matanya menatap dalam cowok itu. Posisi kuda-kudanya kini berganti sikap berdiri biasa.
"Itu, kan, alasan lo pindah ke sekolah Abian?" cecar Atha terus mendesak Digma memberi jawaban.
Digma tersenyum kecut. Perlahan ia berjalan mundur. "Senin besok jangan galau ya, gue udah bukan temen sebangku lo lagi," ujarnya lalu mengambil posisi duduk bersandar pada dinding dan menaikan sebelah lutut.
Atha menghembuskan napas lelah. Temannya yang satu itu memang keras kepala dan tak pernah bisa ditebak. "Mau apa lo di sana?"
Author note:
It's Friday!
Nggak kerasa udah Jum'at aja ya.
Besok weekend kalian pada mau ke mana aja nih?
Kalo Digma weekend-nya bareng penyesalan-penyesalan dia sama Abian, huhu:(
Semoga kalian nggak kayak Digma ya. Seberat apapun masa lalu kalian, kalian harus tetap menikmati hari ini. Jangan hidup di "masa lalu" oke?
Anyway, happy weekend, Gaes! Hope u have a great weekend! See u next part, Luv!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top