Bab 2. Suspect

Semalaman Digma tak bisa tidur. Memikirkan siapa pelaku tak bermoral yang sudah merusak hidup Abian. Pikirannya terjaga. Hingga membuat paginya lemas tak bertenaga.

Saat hendak membuka kulkas di dapur pagi ini, mata Digma melirik sticky note yang tertempel di permukaan kulkas.

“Maafin Mamah, Sayang. Mamah berangkat subuh ini ke Yogyakarta. Mau open outlet baru lagi di sana. Jangan lupa makan sarapan yang udah Mama buatin ya!”

Digma menghela napas. Merasa sedikit kesal karena lagi-lagi ia ditinggalkan sendirian. Ia lalu membuka kulkas dan menegak sebotol air yang ada di sana. Tak lupa ia mengambil sandwich isi tuna yang dibalut kertas wrapping bermotif lucu yang katanya buatan mamahnya tadi.

Sambil mengunyah roti lapis itu, ia membuka ponsel dan mencari kontak yang sebelumnya sudah ia masukkan ke daftar hitam.

[“Bang Digma?”] heran seorang laki-laki di seberang telepon. Terkejut karena Digma akhirnya menghubunginya setelah dua tahun menjauh.

[“Gue butuh bantuan,”] jawab Digma datar.

[“Ogah ah. Gue takut diborgol bokap lo,”] sanggahnya seolah tahu ‘bantuan’ apa yang Digma maksud.

[“Bokap gue biar gue yang ngatur. Tugas lo, temuin gue di depan SMA Pelita Dua pagi ini,”] tandas Digma, memutus sambungan secara sepihak. Ia yakin cowok itu pasti menepati janjinya.

Tepat 30 menit sebelum jam masuk sekolah di mulai, bukannya pergi ke sekolahnya, Digma justru datang ke SMA Abian. Tempat kejadian perkara dan tempat pelaku perundungan sahabatnya melenggang bebas tanpa hukuman.

Setelah melirik jarum jam di pergelangan tangan yang menunjukan pukul 06.40, cowok yang Digma tunggu-tunggu akhirnya datang. Ia memakai seragam SMA juga, sama seperti Digma. Bedanya, Digma tak memakai hoddie hitam yang menutup seluruh kemeja putih seperti cowok itu. 

“Udah berani lo, Bang, berhubungan sama gue lagi?” tanya cowok berambut gondrong itu membuka percakapan. “Gue Aldino, lho, Bang. Si troublemaker but problemsolver. Lo nggak takut?”

“Kan, gue besti lo,” jawab Digma santai dengan pandangan masih menatap gerbang depan dari trotoar seberang jalan, memperhatikan satu per satu anak yang baru datang dari kejauhan. 

Aldino tersenyum sinis, “Besti mana yang hampir dipenjarain.” Ia lalu mengambil sebatang rokok dari saku celananya.

Digma sontak merebut rokok Aldino, melempar, lalu menginjaknya. “Salah lo berani ngelawan bokap gue.”

Aldino berdecak sebal. Menyesal telah mengeluarkan benda yang paling dibenci Digma. “Bokap nggak bertanggung jawab sama keluarganya kayak gitu masih lo bela, Bang? Nggak pulang bertahun-tahun dan nggak ngasih duit ke nyokap lo! Mending kayak bapak gue, langsung ngilang. Daripada ada dan tiada kaya setan! Nyesel gue waktu itu kenapa nggak gue banting aja ya pala tuh setan!” teriaknya sebelum Digma menjitak kepala cowok itu. 

“Emang udah nggak ada harapan tuh mulut buat ngomong bener. Kalo bokap gue barusan denger, bisa-bisa lo beneran diborgol dan gue kena amuk lagi gara-gara bergaul sama anak berandal kayak lo!” terang Digma menggebu-gebu. 

Dua tahun lalu, sejak cowok bermulut kasar itu berdebat dengan bapaknya Digma, sejak itu bapaknya mencap Digma sebagai anak nakal yang tak dapat menjaga nama baik bapaknya yang seorang polisi. Bapaknya pun mengancam tidak akan pernah pulang ke rumah lagi dan menceraikan ibunya jika Digma masih berhubungan dengan Aldino.

“Berandal-berandal gini, sekarang gue terkenal sebagai tukang ngatasin masalah anak-anak orang kaya. Lo harus tau, Bang!”

“Gue tahu,” terang Digma sambil mengedikkan bahunya santai. Benar, apa yang dibilang cowok itu. Jasa jual beli kunci jawaban untuk mengatasi masalah nilai buruk anak pejabat, jasa jual beli rokok dan miras untuk anak polisi yang stress karena hidup di keluarga broken home, jasa cariin cewek buat dibawa dugem untuk anak pebisnis, dan masih banyak lagi kenalakan lain yang Aldino lakukan.

“Sialan. Lo ngawasin gue ya, Bang?”

Bukannya menjawab, Digma kini terdiam. Sekarang ia akan langsung ke inti masalah. Namun bingung, hendak menjelaskan ke cowok itu dari mana.

“Abian koma,” ungkap Digma. Kepalanya menoleh, menatap dalam-dalam wajah lawan bicaranya. “Gara-gara di-bully di sekolahnya.”

Wajah sombong cowok itu perlahan memudar digantikan raut kaget dan marah.

“Sama siapa, Anjing!” umpat Aldino sambil meninju tangan kirinya, seperti hendak memukul seseorang. “Berani-beraninya dia pegang Abian gue.”

“Itu tugas lo. Cari tahu siapa pelakunya. Gue akan bayar berapapun asal lo berhasil ngungkap identitas orang itu,” terang Digma, “tanpa bikin masalah lain,” tambahnya.

Tanpa mendengar Digma lebih lama, seperti banteng yang tak sabar menyeruduk mangsanya, Aldino segera melangkah, menyebrang ke depan sekolahan Abian. Ia sedikit menundukkan kepala dan menarik tudung hoodie hingga wajahnya sempurna tenggelam di balik tudung itu.

Digma pun mengikuti dari belakang. Topi hitam yang dari tadi tersimpan di saku celana, ia pakai perlahan. Berharap tak ada yang mengenali wajahnya dengan penutup kepala itu.

Aldino langsung masuk hingga ke area dalam sekolah. Tak ada yang melarang, karena ia juga memakai seragam SMA. Penyamarannya berhasil. Sedangkan Digma, ia menghentikan langkahnya tepat di sebelah gerbang. Bersandar pada salah satu pohon dengan santai menunggu hasil dari pencarian Aldino.

Beberapa saat, suara bel masuk menggema hingga ke telinga Digma. Gerbang depan sempurna ditutup oleh satpam. Beberapa anak yang terlambat berdecak sebal. Digma hanya melirik sekilas lalu kembali memainkan ponselnya. 

“Yang di sana!” Teriakan membahana dari wanita berkepala tiga terdengar di telinga Digma. Membuat cowok itu terkejut namun sedetik kemudian kembali membuang muka.

“Fara! Kok diam saja? Geret tuh anak!” Perintah lanjutan itu juga terdengar oleh Digma. Cowok itu gelagapan. Ia lupa, kini ia juga memakai seragam SMA.

Gadis yang dipanggil Fara tadi, kini sudah meraih tangan Digma. Ia mulai menggiring siswa yang ia kira adalah murid di sekolahannya.

Sambil menyeret Digma, Fara tiba-tiba berbisik, “Maaf, jangan marah sama gue ya, gue giniin,” lirihnya seraya diikuti helaan napas berat beberapa kali.

Digma yang masih bingung situasinya dan bagaimana harus lari, kini hanya pasrah dan masuk ke barisan siswa-siswi yang datang terlambat. Sedangkan Fara, gadis itu kembali berdiri di depan para siswa, tepat di sebelah Bu Ega, pembina PKS yang tadi marah-marah.

“Fara! Kamu ini ketua Patroli Keamanan Sekolah loh! Harusnya yang tegas! Masa anak terlambat tiap hari bertambah terus. Kemarin ibu liat yang terlambat malah kamu biarin pergi. Kamu gimana sih?” omel Bu Ega sambil membenarkan letak kacamata bulatnya.

Gadis berambut panjang itu tertunduk. Matanya lebih memilih untuk memandangi kedua sepatu hitam yang ia kenakan, dibanding menatap mata Bu Ega yang tajam seperti hendak menerkam.

“Selamat pagi, Bu Ega!” Suara khas dari seorang siswa laki-laki seketika mengambil alih perhatian kumpulan siswa yang hendak dihukum itu. “Cantik banget ibu pagi ini,” godanya yang diikuti tawaan kecil dari teman-temannya yang juga baru tiba.

Bu Ega hanya tersenyum kikuk. Ia paling benci dihadapkan situasi begini. Sudah sangat hafal bagaimana perangai keempat anak didiknya itu. Terutama yang tengah menyeringai lebar padanya. Gery. Di hadapan cowok itu, harga dirinya sebagai seorang guru sangat dijatuhkan.

“Bu, rapi banget, kan, saya pagi ini?” godanya lagi yang langsung disambut cekikikan dari ketiga teman segengnya.

“Ahaha, sialan, Ger! Lu mancing banget, Anjir!” komentar salah satu temannya.

Digma yang dari tadi tak peduli sekitarnya, mulai melebarkan telinga. Pemandangan di depannya sangat tidak lazim. Banyak pertanyaan muncul di benaknya. Mengapa guru itu takut pada murid nakal tersebut? Sambil tertunduk, ia takut-takut mengintip ada kejadian apa di depan sana.

Bu Ega lantas memandang penampilan Gery dari atas hingga bawah. Rambut yang tak pernah dipotong rapi sesuai tata tertib sekolah, seragam kemeja yang tak dikancingi hingga kaos putih cowok itu terlihat, dan sepatu nike berwarna mencolok yang ia kenakan, sangat jauh dari kategori rapi yang Gery bilang tadi.

Beberapa anak yang ada di barisan juga memandangi Gery, membuat gengnya yang melihat berdecak kesal.

“Apa lo liat-liat?!” teriaknya sambil memberi kode dengan tinjunya yang hampir melayang.

“Bu, kita belum sarapan. Kita lanjut ke kantin dulu ya! Bye-bye, Ibu! Semangat kerjanya, Bu!” Gery melambaikan tangan sambil memberikan senyuman penuh ejekan. Membuat guru kedisiplinan itu meremas tangannya, berusaha menahan emosi di puncak kepala.

Tapi sedetik kemudian, Gery malah memundurkan langkah kakinya. Mendekatkan wajahnya ke arah Fara yang dari tadi tertunduk.

“Eh, ada ketua PKS. Gimana? Seneng kan lo udah gue kasih jabatan?” tanya Gery berusaha mengajak bicara Fara. Namun yang diajak bicara malah menutup mata. Tubuhnya menegang. Ujung roknya ia remas kuat-kuat. Setakut-takutnya ia pada Bu Ega, masih lebih takut lagi dirinya melihat Gery.

Tak mendapatkan respon gadis itu, Gery semakin mendekatkan wajahnya. Berbisik tepat di telinga gadis itu. “Gue suka sikap lo yang kayak gini. Pecundang!” 

Mendadak leher Fara terasa geli terkena hembusan napas cowok itu. Ia bergidik ngeri. Seluruh tubuhnya dibuat merinding mendengar suara Gery yang sangat mengerikan. Setelah Gery dan gengnya berlalu dari sana, Fara pun bisa menghela napas yang sejak tadi tertahan.

“Mata kalian liat kemana?!” Teriakan Bu Ega muncul kembali. Membuat beberapa anak yang masih memperhatikan punggung Gery yang menjauh, tersentak dan kembali menoleh depan.

“Fara, kasih mereka semua hukuman. Ibu nggak mau tahu, besok kalo yang terlambat tambah banyak lagi, kamu juga ikut ibu hukum!” bentak Bu Ega, matanya memicing, mengawasi Fara agar mematuhi perintahnya.

“Yaudah, kalian gue hukum lari di lapangan,” jelas Fara lemas.

“YANG KERAS!” 

Sontak Fara menaikan volume suaranya. “KALIAN GUE HUKUM LARI DI LAPANGAN!” 

Beberapa anak mulai masuk ke gerbang dan lanjut berlari di tengah lapangan rumput yang biasa digunakan untuk upacara. Beda dengan Digma, cowok itu setelah masuk ke gerbang, mengendap-endap memisahkan diri dari jalur siswa lainnya. Fara yang sadar akan hal itu, memilih diam saja. Ia sudah lelah dengan kejadian tadi pagi.

Setelah berhasil kabur dari hukuman, Digma segera mencari jalan keluar. Sebuah pintu kecil di ujung halaman belakang kelas 12 terlihat meyakinkan untuk dibuka. Namun gagal, pintu itu masih tergembok rapi. Digma tak menyerah sampai di situ, ia terus berjalan dengan hati-hati hingga menemukan beberapa buah bangku tak terpakai dibiarkan menggunung di area yang memang tak terjangkau siswa.

Dengan lincah, ia menyusun beberapa kursi menjadikannya tangga agar dapat membantunya memanjat tembok setinggi dua meter itu. Setelah berhasil melewati tembok semen tersebut, Digma lantas berlari kembali ke tempat pertemuannya dengan Aldino tadi.

Di sana, Aldino sudah tiba. Ia sedang asik merokok sambil menyilangkan sebelah kakinya yang menumpu di atas paha.

Napas Digma terengah setibanya di sana. Ia melepas topi dan mengusap rambut hitamnya kebelakang, mengelap sedikit keringat yang ada. “Apa yang lo dapet?” tanya Digma to the point.

Aldino melirik sekilas lalu kembali mengisap ujung rokok. “Gery Delano,” jawabnya setelah menyemburkan asap.

Melihat raut Digma yang mulai tak nyaman, membuat cowok itu akhirnya mengakhiri sesi merokoknya. Ia lalu berdiri. Menatap penuh wajah Digma.

“Yang udah bikin Abian gue yang lemah terbaring di rumah sakit itu Gery, Bang,” terang Aldino, menatap langsung kedua mata Digma. Hening sebentar di antara mereka. Hanya terdengar suara desing motor dan mobil yang berlalu lalang.

Nama itu sangat tidak asing di telinga Digma. Ia yakin, pelakunya adalah cowok kurang ajar tadi yang ia temui di depan gerbang. Saat hendak berlari untuk menghajar Gery, Aldino menghentikan Digma. “Lo mau kemana, Bang? Mau hajar dia?” 

Langkah Digma terhenti, ia menoleh perlahan. Sepertinya ada yang hendak dikatakan cowok itu.

“Ternyata nggak ada yang bisa kita lakuin sekarang, Bang.”


Author note:

Sus banget si Gery tuh!

Kok Aldino bisa secepat itu tau ya? Emang udah pasti bener?

Kalian pernah nggak punya temen sus banget?

Apapun yang dia lakukan sangat mencurigakan. Biasanya sih vibes-nya negatif banget kalo di dekat dia. Hati-hati sama tipe orang kaya gitu ya!

See u next part, Beb!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top