Bab 12. Chase

“Gue udah bilang, kan, urusan kita belum selesai,” papar Gery sambil melempar-lempar bola basket di kedua tangan. Dari pakaian khas tim basket yang sudah ia kenakan, sepertinya cowok itu akan latihan sore ini.

Setelah menangkap basah Fara dan Digma di gang belakang sekolah, Gery dan gengnya menyuruh mereka berdua berlutut di pinggir gedung. Gang belakang memang terkenal sangat sepi dan tak ada rumah warga di sekitarnya. Hanya ada area belakang pabrik yang tertutup dan beberapa pohon. Membuat Gery dapat dengan leluasa melakukan hal apapun sesuka hati.

Digma menatap cemas gadis di sebelahnya. Bibir Fara sangatlah pucat dan matanya mulai sayu. Ia khawatir jika Gery tetap menahan mereka, Fara bisa-bisa pingsan di tempat ini.

Tangan Digma mengepal kuat. Jantungnya tak akan berdebar kencang jika Fara tak ada di sebelahnya. Ia sudah terbiasa dengan amukan Gery, namun gadis itu sama sekali tak pernah berada di situasi berbahaya ini.

Belum sempat Digma menemukan cara untuk kabur, tangan kasar Gery sudah memegang dagu cewek itu. Ia sedikit berlutut agar pandangan mereka sejajar.

“Tadi lo berani banget sama gue, kenapa sekarang kicep?” tanya Gery penuh tatapan intimidasi. “Apa mulut lo perlu gue cium dulu biar berani kayak tad–” Ucapan Gery terpotong saat Digma tiba-tiba bangkit dan segera menyingkirkan tangan Gery. 

“Nggak usah bawa-bawa dia.” Digma berdiri dengan tangguh di antara mereka. “Urusan lo cuma sama gue.” Suara beratnya mulai membuat beberapa dari mereka berhenti tertawa. Bahkan Gery pun sedikit terkejut dengan hunusan tajam mata Digma yang yang ditujukan jntuknya. Jika tatapan itu sebuah pisau, mungkin ia sudah terbunuh saat itu juga.  

Gery membuang muka tak terima disela seperti tadi. Ia tertawa sinis lalu melihat bergantian Fara dan Digma. Ada yang mencurigakan di antara mereka. Ia meletakan kedua tangannya di pinggang, sebelum kaki kirinya menendang perut cowok itu dengan kasar. 

“Diem, Bangsat! Gue nggak ngomong sama lo!” umpat Gery yang kemudian mendekati wajah Fara kembali.

Kini tangannya lebih agresif mengusap rambut gadis itu hingga membuat Fara memejamkan mata dan berusaha membuang muka. Sebelah ujung bibir Gery terangkat, terbayang ide jahat.

“Gue liat-liat, lo cantik juga, Ra. Apalagi bibir lo,” goda Gery yang disambut cekikikan teman-temannya. Tak lama dari itu, wajah Gery perlahan maju mengikis jarak dengan Fara. 

Melihat hal itu, rahang Digma mengatup keras. Wajahnya memerah padam disertai bara api di dadanya. Hal jahat apapun dapat ia terima tapi tidak dengan melecehkan wanita. 

Sambil menahan nyeri di bagian perutnya, Digma berusaha bangkit dan hendak melawan cowok itu. Namun, sebuah suara sirine mobil polisi yang tiba-tiba menggema di sekitar mereka membuat Digma mengurungkan niat. Bahkan Gery kini sudah menjauh dan berdiri sambil menengok kanan dan kirinya.

“Brengsek! Siapa yang lapor polisi?!” panik Gery masih melihat sekitar berkali-kali. Teman-temannya yang lain pun tak kalah kaget. 

Sadar perundung-perundung itu sedang kebingungan, Digma dengan cepat menghampiri Fara yang masih bergetar takut.

“Ra, Fara, liat gue,” tukas Digma menyadarkan gadis itu. Ia sedikit mengguncang kedua bahu Fara.

Fara membuka matanya. Mata hitamnya langsung beradu dengan mata teduh Digma. Di tengah kekacauan itu, Fara tak dapat mendengar dengan jelas apa yang Digma katakan, namun lewat mata Digma, Fara tahu dirinya akan aman.

Dengan cepat Digma menggenggam tangan Fara dan mengajak gadis itu agar berlari dari sana. Fara pun segera menguatkan lututnya yang kebas dan dengan sisa tenaga ia mengayuhkan langkah cepat meninggalkan tempat itu.

“Kalian mau kemana, Njing!” teriak Gery sambil mengajak teman-temannya untuk mengejar.

Digma hanya menoleh singkat kebelakang lalu menaikan kecepatan lari sambil memperbaiki genggaman tangannya dengan Fara. Untuk sekarang, hanya keselamatan gadis itulah yang ada dipikiran cowok itu.

“Ra, persimpangan kedua belok kanan,” perintah Digma disela deru napasnya yang memburu akibat terlalu lama berlari. Fara hanya mengangguk, ia sudah tak punya tenaga untuk menjawab.

Tepat setelah mereka berbelok, di sebelah kanan jalan, seseorang dengan wajah tak asing berdiri di dekat pintu belakang sebuah restaurant. Cowok itu melambaikan tangan santai dan memberi kode untuk Digma agar segera mengikutinya ke dalam sebuah ruangan. Tak perlu berpikir dua kali bagi Digma untuk masuk dengan membawa Fara ke lorong sempit restaurant itu.

Pintu akhirnya tertutup setelah cowok itu memastikan Fara dan Digma sudah masuk dengan aman. Ia hanya menyender di pintu sekilas lalu menatap Fara dan Digma bergantian.

“Bagus juga selera lo, Bang!” timpal cowok itu tiba-tiba ditengah kegentingan yang ada.

Sontak Digma melempar tatapan malas. “Masih sempet-sempetnya lo becanda!”

Cowok itu tertawa renyah. “Baru kali ini gue liat lo ketakutan, Bang! Ternyata lo bisa takut juga.”

Digma mengalihkan pandangan. Paling malas jika cowok itu sudah mengejeknya. Tak sadar, ia jadi melihat Fara. Gadis itu kini sedang mengatur laju napasnya yang sejak tadi tak beraturan. Keringat membasahi dahi gadis itu.

“Lo nggak apa-apa?” tanya Digma perlahan. Ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada cewek itu.

Fara mendongak. Ia hanya balas mengangguk kecil. Sepertinya ia masih sedikit terkejut mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Gery tadi.

Tangan Digma mengepal kuat. Ia menahan emosinya yang mulai meluap. Saat Fara hampir dilecehkan seperti itu, ia bahkan tak bisa melakukan apapun untuk menolong Fara demi misi balas dendamnya. Untung saja ada Aldino, cowok itu muncul di waktu yang sangat tepat.

“Dapat info dari mana lo?” tanya Digma penasaran dengan kemunculan cowok itu.

Aldino mengangkat layar ponselnya. Menampilkan pesan chat dari Atha. Dengan cepat, Digma mengamankan smartphone cowok itu agar tak terbaca oleh Fara.


Dilihat dari display picture cowok itu, jelas sekali itu adalah Atha. Apalagi gambar yang pengirim itu kirim, tak ada yang dapat mengakses kamera pengintai itu kecuali cowok itu. Sepertinya Atha masih memantau dirinya dari CCTV beberapa jam lalu.

“Lo punya rencana apaan, Bang, sama tuh anak?” tanya Aldino langsung keintinya. Sejak ia menemukan pelaku atas komanya Abian, ia tahu Digma mungkin dapat bertindak lebih jauh. Apalagi ditambah fakta bahwa cowok itu kini pindah sekolah.

Mendengar pertanyaan tanpa basa basi Aldino, membuat cowok itu langsung melirik Fara. Gadis itu juga menatap balik dirinya bingung. Dari matahya ia seperti menunggu penjelasan cowok itu.

“Nanti gue jelasin semuanya, Ra,” ucapnya seraya menarik sebuah kursi untuk Fara. “Gue mau keluar sebentar, lo tunggu sini ya.”

Setelah mendapat anggukan dari gadis itu, Digma langsung mengecek keadaan di luar pintu dan segera membawa Aldino ikut keluar.

Di luar Digma terdiam cukup lama sambil memandang jalanan depan yang sepi. “Gue emang punya rencana,” ujarnya memecah keheningan.

Aldino menoleh, sebelah sudut bibirnya terangkat. “Jadi ini maksud dari omongan lo waktu itu? Bikin bukti sendiri?”

Digma mengangguk singkat. Yang langsung dibalas tepukan tangan puas oleh Aldino.

“Gue nggak nyangka lo bisa segila ini, Bang!” puji Aldino yang kini mengerti maksud dari CCTV yang diperlihatkan Atha. “Tapi kenapa lo nggak nyuruh gue aja buat masang tuh kamera pengintai?”

“Duit gue menolak buat dikuras lo.”

“Hahaha. Namanya juga bisnis, Bang.”

“Lebih tepatnya, gue nggak mau melibatkan banyak orang untuk rencana gue.”

“Tapi tanpa lo sadar, lo udah melibatkan tuh cewek, Bang.”

Digma kembali menoleh belakang. Di balik pintu, ada seorang gadis yang hampir dilecehkan gara-gara misinya itu.

Author note:

Aldino tuh lama-lama kek palugada deh, apa lu minta gue ada.

Untung, muncul di waktu yg tepat, kalo ga pasti atha minta pengembalian dana.

Kira-kira setelah kabur, apa bener mereka bener-bener udah bebas?

Stay tune buat tau kelanjutannya! Jangan lupa like dan komen ya! See u, Beb!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top