Prolog


Aku memandang cermin dengan lengkungan garis senyum ke bawah. Berharap bahwa apa yang aku lihat sekarang adalah ilusi semata. Tidak nyata dan bukan kenyataan yang harus aku hadapi setiap saatnya. Akhirnya aku hanya bisa tertunduk lesu dan menghembuskan napas pelan.

Percuma saja menyesalinya, toh sekuat apapun aku berusaha, kulit yang memasuki umur dua puluhan ini, tak akan pernah berubah warna. Kulit kecoklatan yang aku miliki, sudah seperti warna kopi cappuccinoyang biasa aku seduh saat rasa kantuk mulai bersarang—ketika aku mengerjakan bertumpuk-tumpuk naskah yang aku bawa ke rumah untuk dapat mengejar deadline yang sudah ada di depan mata.

Tidak banyak waktu luang yang aku punya, hingga mengakibatkan wajahku terbiasa kuyu seperti sekarang.

"Ah, sepertinya aku memang ditakdirkan seperti ini," gerutuku ke arah cermin yang menampilkan pantulan diriku yang hanya memakai kaos oblong dengan wajah yang sudah tidak berseri layaknya sayur-mayur yang sudah layu.

Aku memilih untuk membasuh wajahku, berupaya menjernihkan pikiranku yang semrawut. Air dingin yang membasahi kulit wajah, terasa sejuk. Mungkin karena iklim di sini tidak separah Jakarta, pikirku.

Meskipun demikian, tak ayal pula, secercah pengharapan timbul dalam sanubari. Mengharapkan bahwa kulit kecoklatan yang sering mendapatkan diskriminasi dari kebanyakan orang, segera mendapat sedikit warna kuning langsatnya. Sedikit saja.

Tentu saja, itu mustahil terjadi. Apalagi dalam waktu sekejap. Bahkan bila aku menggunakan pemutih sekalipun, wajah ini, kulit ini, tidak akan pernah mengubah apapun hidupku. Karena itu, aku harus berusaha mencintai diri dan menerima takdir yang telah digariskan Tuhan untukku.

Setidaknya, aku harus berusaha, bukan?

Dari arah kamar mandi, aku dapat mendengar suara seruan seorang laki-laki yang sangat aku kenali. Dengan tergesa, aku mengayunkan kaki menuju pintu depan, ke arah sumber suara tadi.

Setelah aku menemukan orang yang tadi berseru, hingga suaranya sampai terdengar ke kamar mandi, dia menatapku dalam. Sambil melepaskan sepatu PDL-nya, dia tersenyum manis kepadaku. Tangannya yang selalu melindungiku itu, mengusap kepalaku dengan lembut.

Aku merasa bahagia karena bisa melihatnya kembali tersenyum setelah perpisahannya dengan istrinya lima tahun silam. Euforia ku menyusut kala aku mengingatnya, yang sempat kehilangan senyumannya. Dia juga tidak pernah bisa aku hubungi dan selalu berdalih sibuk dengan pekerjaannya. Meskipun harus aku akui, pekerjaannya tidak pernah segampang yang kelihatannya.

"Bagaimana apel upacara penurunan benderanya, berjalan lancar, kah?" tanyaku sekedar basa-basi.

Dia menyimpan topi baret merah di tempat yang dikhususkan untuk menyimpan perlengkapannya, seperti topi baret, lencana-lencana, dan lainnya. Tangannya yang terlihat kokoh itu, menyugar rambutnya yang sedikit berantakan sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. "Ya, sebentar lagi juga akan diadakan pusdiklatpassus," jelasnya.

Aku hanya menganggut mengerti, meskipun dalam hati menggerutu karena tidak sepenuhnya paham dengan perkataannya. Lalu aku mengambil alih sepatu PDL-nya yang mengkilat dan menyimpannya di dekat jajaran khusus rak sepatu, dekat dapur.

Dia berjalan mengikutiku menuju dapur. Kebiasaannya saat pulang sore adalah mencari makanan berkarbohidrat tinggi yang dapat memuaskan rasa laparnya. Setelah selesai menyimpan sepatu, aku mengeluarkan tiga buah mangkok yang berisi sambal kentang yang aku goreng membentuk kotak-kotak kecil, lalu ada sayur jagung dan ayam suwir yang aku baru selesai dipanaskan.

"Makanan kamu sangat sama persis seperti masakan Ibumu," pujinya terhadap masakan yang aku sajikan.

Aku tersenyum sekilas, sangat paham dengan maksud tersirat dari perkataannya. Dia sedang rindu dengan Ibu.

Masakanku pasti beda tipis dari masakan ibuku, meskipun aku sudah belajar darinya bertahun-tahun. Tahun ini, aku sudah memasuki tahun ke-4 aku belajar masak dengan serius dari beliau.

Seperti wanita pada umumnya yang menantikan sebuah kritik atau ulasan dari hasil masakannya, aku juga sedang merasakan hal yang sama. Rasanya sungguh mendebarkan. Aku bahkan memegang dadaku yang berdetak kencang, hingga akhirnya dia buka suara lagi. "Masakan kamu memang selalu enak," pujinya untuk kedua kali.

Lagi-lagi aku tak bisa menahan riak wajahku untuk tidak mematut senyum terbaikku. Perjuanganku membuat masakan ini, ternyata tidak berakhir sia-sia. Walaupun awalnya aku sudah mencicipi makanan ini sebelumnya dan sudah menduga cita rasa yang disukai pria yang sedang menyantap makanan buatanku dengan lahap.

"Ayah harap, kamu mau tinggal dengan Ayah lebih lama lagi. Sebelum  kembali tinggal dengan Ibumu di Jakarta," ujarnya sambil berlalu ke arah wastafel.

Aku tertunduk lemas, merasa iba dengan kehidupan ayahku. Beliau mempunyai dua anak, tapi kedua anaknya malah memilih tinggal dengan ibu mereka daripada dengan pria paruh baya ini.

Aku menghela napas kuat-kuat. Kehidupanku tidak jauh dari Jakarta–Batujajar. Selalu seperti itu, berganti minggu, berganti pula tempat aku tinggal.

Memang tidak sedikit orang yang bilang, bahwa sulit menjadi anak broken home. Tapi menurutku, itu tidak selalu buruk. Setidaknya, aku jadi mendapatkan tambahan keluarga.

~tbc~
©240420 tanialsyifa
Revisi 07/10/20

Note : Pusdiklatpassus ; Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus atau disingkat (Pusdiklatpassus) adalah sekolah awal (Kawah Candradimuka) untuk melatih Pasukan Para Komando, khususnya yang akan bergabung ke Kopassus.

Ini adalah cerita yang aku buat berdasarkan riset kecil-kecilan, jika ada kesalahan, saran/kritikan, silahkan sampaikan agar aku dapat menjadikan tulisan ini bermanfaat bagi banyak orang.

Teruntuk kamu yang sedang patah,
Kumohon bertahanlah.

Tiada hari untuk kau mengeluh,
Teruslah bermimpi dan melangkah.

Biarkan masa lalumu berlalu indah,

Agar kamu tidak selalu bersedih,

Dan terus kembali melangkah,
Dengan hati yang tidak gelisah.

Terima kasih telah membaca cerita Bye-bye, Black!🤗
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 🌟
See you~
.
.

Salam literasi,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top