BBB [7]
Sorry for typo
~Happy reading~
Sudah pernah aku bilang sebelumnya bahwa menjadi salah satu anak broken home —hasil perceraian orang tua—tidak selalu berakhir buruk. Aku tumbuh bukan menjadi anak pemberontak ataupun anak yang kekurangan kasih sayang. Aku juga beruntung karena tidak menjadi salah satu dari mereka.
Perlu kalian ketahui, bahwa kedua orang tua kandung dan keluarga baruku, menerima baik kehadiranku dan keluargaku. Tidak seperti yang ditayangkan di televisi. Meskipun memang, sebagian kelompok orang berbuat demikian. Keluargaku baik dari pihak Ayah, Ibu maupun Papa, semuanya melimpahkan kasih sayang mereka dengan tulus. Hingga aku sempat berpikir bahwa memang sangat menyenangkan mempunyai banyak saudara. Apalagi jika suatu hari nanti kamu sedang kesusahan dan memerlukan uluran bantuan, tangan-tangan saudaramu lah yang pasti akan menjangkaumu.
Aku merasa sangat beruntung, walaupun keberuntunganku tidak selalu berpihak. Seperti dalam keluargaku. Jika Kafka mewarisi sikap Ayah dan fisik—kita bahas tentang warna kulit—menurun pada Ibu. Sedangkan aku, mewarisi warna kulit Ayah dan sikap seperti Ibu. Kurasa waktu itu seharusnya aku yang lahir terlebih dahulu, baru Kafka. Agar aku tidak harus hidup dengan warna kulit yang kadang membuatku minder.
Seringkali orang-orang memanggilku dengan panggilan yang membuatku semakin insecure. Padahal seharusnya, aku belajar mencintai diri sendiri, bukan?. Seperti kalimat :
"Wah, Naura. Kamu makin hitam manis saja, ya? Sayangnya manisnya dimakan semut, hahaha ...."
Ejekan itu belum seberapa. Saat kamu dikelilingi oleh orang yang mempunyai warna kulit yang sangat kontras berbeda denganmu, itu sangatlah buruk. Apalagi saat kamu punya teman yang berbeda ras denganmu. Saat aku berjalan beriringan bersamanya, pasti ada yang bilang begini padaku :
"Eh, Naura kamu tidak malu apa berjalan dengan bidadari kaya dia?"
Atau saat aku melewati gerombolan laki-laki pentolan sekolah dulu, bersama sahabatku. Mereka akan semakin gencar memakiku dengan ejekan khas mereka.
"Tikus got jalannya barengan sama Tuan Putri," cibiran itu berasal dari Rama—adik sepupu Raka yang satu komplotan dengan Raka sewaktu aku kuliah.
Ada yang paling besar badannya, perutnya juga besar ke depan. Dia yang paling nyelekit kalau soal menghina orang lain. "Ra, kamu perlu skincare tidak? Mamah saya punya stok banyak tuh, siapa tahu kamu mau." Ejekannya membuat teman-teman yang lain selalu tertawa.
Aku berdecih dalam hati, apakah dia tidak tahu jika melakukan body shaming akan berdampak buruk pada seseorang?
Mereka—kelompok pentolan sekolah—berada di fakultas hukum, tapi tindakannya mencerminkan seperti pribadi yang kurang didikan, karena tidak belajar menghargai orang lain. Jika temannya saja tidak dihargai, bagaimana mereka menghargai dan menghadapi klien mereka nantinya?
Apakah dengan uang?
Bukan berarti segalanya bisa diselesaikan dengan uang, tapi memang banyak hal yang memerlukan uang. Benar, bukan?
Di lain kesempatan, di waktu malam yang senggang. Ketika Ayah sudah beristirahat dari kepulangan dinasnya, Ayah kembali melanjutkan penjelasannya mengenai alasan perceraiannya. Aku hanya diam menyimak. Bahkan televisi sudah seperti makhluk yang ikut menonton dan mendengarkan pembicaraan kami.
"Ibu kamu masih belum bisa menerima kenyataan, Naura. Saat Ayah tiba-tiba ditugaskan untuk menjalankan misi yang berisiko tinggi serta rahasia, membuat lokasi tugas Ayah tak diketahui Ibu."
Pandangan Ayah terlihat melayang jauh, tidak menatap ke arahku lagi. Tapi menatap kosong wajah Ibu yang berada satu frame dengannya. Aku tersenyum miris kala melihat gurat rindu yang tersirat dari matanya. "Bahkan kadang, para prajurit Kopassus sendiri baru diberi tahu jenis dan lokasi misi tempurnya, saat berada di pesawat terbang atau kapal laut yang mengangkutnya. Itu juga yang Ayah rasakan dulu, sewaktu Ayah masih menjabat sebagai Letkol Kolonel.
"Sewaktu dulu, Ayah pernah menjadi Unit Operasi Woyla—Hanya saja kalau melihat kondisi waktu itu—bisa dibayangkan repotnya menyiapkan satuan dadakan ini. Pasalnya saat bersamaan tengah berlangsung Latihan Gabungan ABRI di Timor Timur dan Halmahera, Maluku.
"Di samping operasi militer yang tengah digelar di Timor Timur sejak 1975. Dengan demikian berarti hampir semua kekuatan TNI tidak berada di Jakarta. Termasuk Ayah yang baru diberi tahu jenis dan lokasi misi tempurnya, saat berada di pesawat terbang," jelas Ayah panjang lebar.
Aku mengangguk-angguk mengerti, paham sebuah tabiat wanita yang sangat sensitif jika dibohongi oleh pasangannya sendiri. Mungkin itu juga yang membuat Ibu memilih pisah dengan Ayah.
"Lalu, apa alasan Ayah mengiyakan keputusan Ibu? Bukannya setahu Naura, Ayah itu cinta banget sama Ibu, kan?"
Aku melihat senyum Ayah kian melebar. Matanya yang sudah sayu namun tetap memancarkan semangat itu, kini ikut melengkung. "Justru karena Ayah paham, mental Ibumu saat itu sedang lemah. Sehingga Ayah tidak ingin memperparah keadaannya. Waktu itu juga bertepatan dengan tugas Ayah yang memungkinkan Ayah gugur pada misi."
"Tapi, Yah. Perempuan itu maunya dihentikan aksinya, bukan diturutin. Karena sebagian dari perkataan perempuan itu adalah kebalikan dari hatinya," kesalku. Aku juga perempuan, jelas saja aku mengerti—setidaknya sedikit—perasaan Ibu pada waktu itu.
Ayah tertawa mendengar ucapanku. Aku sendiri mengerutkan kening. "Berarti saat Ibu kamu bilang cinta sama Ayah, itu bohong dong?"
Aku yang kesal karena pertanyaan Ayah, mendengkus kasar. "Bukan gitu juga, Yah. Tergantung situasi. Kalau emang situasi itu menyakiti perasaannya, pasti kebanyakan wanita memilih keputusan yang bertolak-belakang dengan perasaannya."
Ayah tersenyum, sangat tipis. Hanya menarik kedua ujung bibirnya sekian nano detik saja. "Kalau Ayah tahu ini sekarang pun, toh, tidak merubah apapun, kan? Sudahlah Naura, kami sudah bahagia sebagai dua orang dewasa," putus Ayah.
"Bahagia walaupun ternyata Ayah masih mencintai Ibu dan terpisah darinya?" desakku. Sungguh, aku ingin Ayah jujur tentang perasaannya padaku.
"Ya."
Jawaban singkat darinya membuat sebagian dari diriku tersenyum senang. Tapi, ada sebagian lagi yang merasa sakit. "Kalau gitu, bagaimana denganku, Yah?"
"Percayalah, Nak. Jika suatu hari nanti kamu mempunyai pasangan seorang perwira seperti Ayah, kamu mungkin akan lebih mengerti posisi Ibu kamu."
Aku tersenyum malu-malu. Tingkahku ini layaknya remaja labil yang baru saja merasakan perasaan suka terhadap lawan jenis saja. "Kenapa Ayah berasumsi bahwa aku akan mendapatkan seorang perwira seperti Ayah?"
"Firasat seorang tentara tak boleh diragukan, Naura."
Aku tergelak. Mataku menerawang melihat ke arah foto-foto keluargaku yang masih Ayah pajang di sekeliling rumah dinasnya. "Aku rasa laki-laki itu akan mendapatkan seleksi yang ketat dari Ayah," gurauku, setengah serius.
Sungguh, niatku memang setengah bergurau sih. Soalnya dapat orang yang berani mengungkapkan perasaannya padaku saja, aku pasti sujud syukur karena dia tidak mempermasalahkan fisikku. Meskipun demikian, laki-laki itu tetap saja makhluk visual. Sehingga, kalau pun dia sudah berhasil menerima kekuranganku, dia juga harus siap menghadapi Ayah. Benar-benar kasihan sekali nasibnya itu.
"Tentu saja akan Ayah seleksi. Sehebat apapun dan setinggi apapun jabatannya. Jika dia tidak memuliakan perempuan, apalagi Ibunya, Ayah tak segan-segan untuk langsung mem-blacklist dia dari daftar calon menantu idaman."
Duh, aku yang mendengarkan penuturan Ayahku saja sudah membuat aku tersipu sekaligus tegang, karena apa iya, akan ada laki-laki yang menerima kekuranganku dan lolos dari seleksi Ayah?
Jika memang ada, mudah-mudahan dia sama sekali tidak mengecewakanku.
~tbc~
©06 Agustus 2020
Revisi : 19/10/20
.
.
.
Terima kasih telah membaca
Bye-bye, Black!💚
.
.
Beri dukungan kalian berupa klik 🌟 meramaikan kolom komentar juga share cerita ini ya, terimakasih 🤗
.
.
Salam literasi,
Fe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top