BBB [6]
Sorry for typo
~Happy reading~
Seperti yang Ayah bilang, bahwa pemuda yang tempo lalu mampir ke sini akan datang kembali. Hal itu memang terjadi. Sebenarnya yang Ayah khawatirkan dari sifatku ketika menyambut tamu adalah jika tamu tersebut memiliki kelebihan—dalam artian memiliki warna kulit yang lebih terang dariku—aku akan sering memberinya kalimat pedas.
Sensi gitu kalau ketemu orang yang kaya gitu, karena aku punya pengalaman buruk sewaktu sekolah dengan orang-orang dari ras kulit terang. Sehingga mau tak mau, aku bersikap antipati pada mereka.
Sebenarnya aku sih bakalan bersikap biasa saja pada setiap tamu, tidak membeda-bedakan. Namun karena sudah terbiasa dengan pengalaman buruk, membuatku terkadang menilai seseorang dengan paradigma yang buruk juga. Karena ada istilah don't judge by cover, kan?
Di dunia ini, tidak ada yang bisa dipercaya selain diri sendiri. Makanya aku akan berdiri sendiri, tanpa harus melibatkan banyak orang. Setidaknya, jangan membuat orang lain mempunyai trauma. Kalian bahkan tidak tahu hal sepele saja dapat berakibat mengerikan bagi sebagian orang. Karena pertahanan dalam setiap orang itu berbeda-beda, bukan?
Laki-laki yang aku ketahui berpangkat Kolonel ini, sedang berbincang dengan Ayah. Aku tidak tahu yang perkara apa yang mereka bahas, tapi dari yang aku dengar adalah 'tentang pelatihan pusdiklatpassus yang akan segera dilaksanakan' dan segala keperluan mengenai pelatihan yang tidak aku mengerti itu.
Aku hanya bertugas menyajikan minuman dan makanan kecil-kecilan sebagai cemilan mereka. Aku juga sudah di wanti-wanti oleh ayah untuk tidak di sekitar ruangan, di mana Ayah dan perwira itu sedang berdiskusi.
"Ingat pesan Ayah, kembali ke kamar kamu setelah kamu selesai menyambut tamu nantinya!"
Untuk itu, saat aku akan masuk ke kamar, tanpa sengaja tatapan kami bertemu untuk waktu yang cukup singkat. Hanya pada detik 6,2 saja tatapan kami terputus. Tapi aku merasa, tatapan itu menyiratkan banyak hal. Ini benar-benar menggelikan, tapi perasaan asing itulah yang aku rasakan.
Aku membiarkan kejadian itu berlalu dibenakku dan langsung masuk ke kamar. Bergelung di kasur dengan tangan yang sibuk memainkan ponsel. Terbesit dalam pikiranku untuk mencari namanya di sosial media sejuta umat : Instagram. Tapi niatku teralihkan saat melihat salah satu nama dari pemilik akun Instagram yang masih aku ikuti.
Raka Keitaro Nararya
Ponsel canggih ini ternyata cukup lihai untuk menemukan sebuah akun yang sudah mendapatkan centang biru dengan pengikut melebihi ratusan puluhan ribu. Aku mendengkus karena masih saja bersikap diam-diam seperti ini.
Aku telusuri postingan-nya yang sudah menyentuh 500+ dan hanya mengikuti akun tertentu saja. Postingan-nya masih sama dengan terakhir kali aku melihatnya, seminggu yang lalu, mungkin?
Tapi sudah ada yang berbeda pada bio-nya. Selain segala jenis deskripsi singkat tentang dirinya, aku melihat sebuah nama yang membuat ubun-ubun kepalaku mendidih. Pasokan udara disekitarku terasa panas, lebih tepatnya panas hati! Dengan kesal, aku melemparkan ponsel ke sisi kananku.
TRAANG!
Suara itu membuat aku membulatkan mata. "Ya ampun, ponsel gueee!" pekikku sambil mencari keberadaan ponsel yang entah sudah bagaimana nasibnya.
"Ku mohon jangan rusak, jangan rusak. Itu baru aku beli dua bulan yang lalu." Aku berharap bahwa ponsel android merek Samsung itu dapat tahan banting, karena itu baru saja menjadi ponsel baruku setelah dua bulan yang lalu aku membelinya.
Ketika melihat ponselku dalam keadaan terlungkup di atas kasur, aku merasa lega. Tapi yang membuatku menjadi khawatir adalah ponselku terbentur oleh benda yang kuat, mungkin terpental mengenai tembok. Aku meraih ponsel tersebut dan memeriksanya dengan seksama.
"Ah, leganya. Untung saja kau tak kenapa-napa," ucapku bahagia.
Setidaknya aku harus pandai-pandai mengatur emosi dan tidak merugikan diri sendiri hanya karena luapan emosi yang tidak stabil dari masa datang bulanku.
"Dasar Mak Lampir, Santi!" desisku tajam. Kesal karena mengingat namanya yang tercantum pada bio Raka, mengartikan bahwa sekarang pemilik nama lengkap Santi Nayshi Atmaja itu, kini berstatus sebagai kekasihnya Raka.
Aku terduduk di ujung ranjang. Mengacak-acak rambutku sendiri dan memaki Santi dalam hati. "Aghhh ... pasti dia makin gencar buat jahilin gue!"
Rasanya gondok sekali, melihat kedua musuh kita bersatu dan kemungkinan akan membuatku tambah menderita nantinya.
"Semoga saja aku bisa cakar-cakar wajah munafiknya itu!"
•×•×•×•
Sebagai anak gadis yang baru saja menginjak usia dua puluhan, tentu sudah sepantasnya aku mengetahui duduk permasalahan keluargaku sendiri, kan? Termasuk alasan orang tuaku memilih berpisah saat orang lain sendiri berasumsi bahwa keluarga kami adalah keluarga bahagia.
Setelah kepergian Arusha—perwira dengan lesung pipi—dari kediaman Ayah, aku menghampiri Ayah yang sedang duduk santai sambil melihat siaran televisi yang menayangkan iklan sebuah produk pencuci piring.
"Ayah ...." panggilanku membuat Ayah menoleh sepenuhnya padaku. Aku tahu, mungkin ini akan membuat Ayah kembali merasakan luka lama yang terbuka kembali.
Tapi aku juga ingin mengetahuinya. Supaya ke depannya nanti, saat aku sudah dewasa dan berumahtangga, aku tidak melakukan tindakan yang akan membuat aku menyesalinya. Terutama perasaan yang kelak akan dirasakan oleh anakku. Duh, mikirinya kejauhan banget sih, doi aja belum punya!
Bagaimanapun juga, darah Ibu dan Ayah mengalir dalam tubuhku. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan melakukan tindakan yang sama, kan? Aku tidak mau, anakku nantinya merasakan mempunyai dua keluarga yang repotnya seperti yang aku rasakan kini.
Ayah mempersilahkan aku untuk duduk, aku pun berdehem terlebih dahulu.
"Apa yang ingin kamu tahu?" tebak Ayah mendadak sekali, tepat sasaran.
Aku awalnya terlonjak kaget, Ayah memang laki-laki baik dan memiliki tingkat kepekaan yang harus aku waspadai. "Naura tahu, mungkin ini akan menyakiti Ayah lagi, tapi setelah tadi Naura melihat sebuah artikel tentang perasaan anak yang menjadi perceraian orang tua, Naura jadi takut."
"Takut kenapa?"
Aku menundukkan kepalaku, tidak berani untuk menatap balik mata Ayah. "Takut jika Naura melakukan hal sama pada anak Naura nanti dan nantinya mereka merasakan hal yang tidak nyaman seperti yang Naura rasakan."
Aku dapat merasakan sebuah tangan besar yang mengusap kepalaku. Aku memberanikan diri untuk melihat Ayah yang tersenyum hangat padaku. "Itu semua karena Ayah yang terlalu mencintai negara ini, hingga melupakan Ibumu yang masih rentan jika Ayah tinggalkan untuk menjalani misi."
Aku membalas menggenggam tangan Ayah yang lebih bisa dari tanganku yang terlihat mungil. "Tapi bukannya Ayah tahu, bahwa Ibu juga sama mencintaimu dengan tulus?"
Ayah memberikanku senyuman yang sungguh aku rasa menyiratkan lara yang teramat dalam. "Ibumu memang menyayangimu dan Kafka dengan tulus. Tapi tidak sebesar itu untuk dapat menyayangi Ayah."
Ayah menarikku dalam pelukannya. Hangatnya membuat aku mengerti perihal cinta pertama seorang anak gadis adalah ayahnya sendiri. Sosok Ayah, memang laki-laki hebat yang sangat aku sayangi sampai kapanpun. Terlepas dari kepelikan keluarga yang tidak bisa aku benci. Sebab mereka berpisah dengan baik-baik dan dengan cara yang baik juga. Tak ada alasan bagiku untuk membenci salah satu dari keduanya. Ataupun tidak menyukai kehadiran Papa sekali pun, tidak bisa aku lakukan.
Hingga mataku terlelap karena merasa lelah ataupun pelukan Ayah terlalu nyaman, samar-samar aku mendengar puluhan kata maaf yang Ayah ucapkan. Bahkan dengan kalimat yang tidak aku sangka-sangka akan keluar dari mulut seorang prajurit seperti Ayah.
"Maaf karena Ayah terlalu egois dan membuat hidupmu menjadi rumit. Maafkan atas ketidakberdayaan Ayah dalam memilih mempertahankan keluarga. Sebab, melindungi negara juga, itu berarti Ayah dapat memaksimalkan diri untuk dapat melindungi keluarga kesayangan Ayah. Terima kasih telah menjadi anak gadis kebanggaan Ayah."
~tbc~
©06 Agustus 2020
Revisi : 19 Oktober 2020
.
Terimakasih telah membaca cerita Bye-bye, Black! 💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟, komentar dan share cerita ini ya🤗
.
.
Salam hangat,
Fe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top