BBB [5]
Sorry for typo
~Happy reading~
Aku sangat ingat waktu Kafka mengutarakan cita-citanya pada keluarganya—saat Ayah dan Ibu masih bersama—di meja makan, setelah kami selesai makan malam. Dia begitu bertekad untuk menjadi seperti Ayah, prajurit terbaik yang mengabdi pada negaranya. Bahkan, Kafka dengan bangganya, membeberkan bahwa jika dia berhasil menjadi tentara nantinya, dia akan selalu mengabdikan dirinya secara sukarela dan membuat kami bangga.
Tapi belum genap satu tahun sejak deklarasinya, tepatnya sepuluh bulan sejak kejadian itu, tiba-tiba saja dia datang diharapanku dan Ayah menggunakan jas hitam yang terlihat rapi, lengkap dengan dasi yang memiliki coretan garis diagonal. Kafka tersenyum cerah, yang sayangnya aku simpulkan sebagai senyum kaku yang dia paksakan.
Kafka menyalimi Ayah dan berkata, "Saya sudah menuruti saran dari Ibu dan akhirnya saya bisa seperti sekarang." Ucapan Kafka yang terdengar bahagia, tidak membuatku percaya akan sikapnya yang berbanding terbalik dengan ekspresi yang ditunjukkannya dihadapan kami.
Aku menengok ke belakang Kafka dan melihat Ibu yang sibuk dengan ponselnya sambil tersenyum sendiri. Seperti mengabaikan keberadaan kami. Dan itulah yang menjadi awal kecurigaanku terhadap tingkah laku Ibu.
Tahun silih berganti, hingga akhirnya kecurigaanku ternyata menjadi kenyataan. Saat Ibu dan Ayah resmi bercerai. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka, terutama untuk Ayah. Beliau sampai sekarang tidak pernah berniat untuk menikah kembali, padahal aku sudah menyarankannya.
Ayah bahkan lebih sering menceritakan kisah perjuangannya tentang baktinya terhadap negeri ini, daripada mengutarakan niatnya untuk membangun keluarga kecilnya kembali. Saking cintanya terhadap kesatuan prajuritnya dia bercerita.
"Tidak ada pasukan di Indonesia yang dapat menandingi kehebatan prajurit Kopassus. Kopassus hanya kalah dari Special Air Service (SAS) Inggris dan Mossad Israel pada tahun 2008.
"Awal kali Ayah mengikuti pelatihan pada tahun 1996, merupakan kehendak Ayah sendiri. Karena Ayah ingin menjadi bagian dari pasukan terbaik," katanya penuh percaya diri.
Aku bangga dengan ayahku, sekaligus merasa terharu dengan perjuangannya sampai saat ini. Dia adalah Ayah terbaikku yang aku punya. Hanya dia.
Aku terus menyimak baik-baik perkataannya. Setelah selesai makan, Ayah kembali bercerita padaku di ruang tengah. Aku menjadi pendengar terbaiknya saat ini, biasanya posisi ini adalah yang Ibu tempati dulu.
"Saking keukeuhnya Ayah jadi anggota Kopassus, Ayah bertekad jika tidak lulus dalam seleksi, Ayah tidak ingin beralih mengikuti pelatihan pasukan lainnya," jelas Ayah, lalu menyeruput kopi yang sudah lama aku siapkan.
Sebelum melanjutkan kalimatnya, Ayah terlihat tertawa kecil, lalu kembali berujar, "Ayah masih ingat, kata-kata yang dulu Ayah ucapkan pada diri sendiri waktu itu.
'jika ketika itu gagal, saya lebih memilih menjadi guru ketimbang ikut pelatihan pasukan selain Kopassus' Kalimat tersebut yang selalu Ayah katakan jika ada teman, sahabat, ataupun keluarga yang meragukan niat Ayah di profesi ini."
Aku ikut menimpali, "Memangnya kenapa mereka menyangsikan keberhasilan Ayah?" Sungguh, aku sangat penasaran. Melihat prestasi Ayah yang bagus dan membuatnya kini memiliki pangkat Mayor Jenderal, pasti butuh perjuangan keras.
Ayah menyugar rambutnya, aku merasa harus waspada. Karena biasanya Ayah hanya akan melakukan itu karena dua hal. Yaitu karena bercanda atau menyombongkan diri. Aku hapal sekali tabiat Ayah yang mirip sekali dengan Kafka. Meskipun demikian, aku tetap menyayangi keduanya.
"Karena dulunya Ayah itu anak nakal, boro-boro mengerjain PR, masuk sekolah aja jarang. Bahkan, sampai pernah hampir di drop out karena berkelahi dengan teman."
Aku membulatkan mata, menyangsikan perkataan Ayah. "Jangan bercanda deh, Yah. Beda banget sama sikap Ayah yang sekarang," bantahku.
Ayah mengedikan bahunya. Lalu terkekeh pelan. "Kalau kamu tidak percaya, silahkan saja hubungi teman Ayah. Dia waktu itu sampai di rawat sebulan di rumah sakit karena fraktur pada tangan kanannya saking syoknya mendengar Ayah lulus taruna dulu."
Lagi-lagi aku terbuat terperanjat oleh penuturan Ayah, mau tidak mau, aku akhirnya bertingkah mengangkat kedua tanganku. Tanda menyerah. "Baiklah, Ananda percaya," sahutku yang membuat kami tertawa bersama.
Setelah beberapa saat kami sibuk dengan pikiran masing-masing, karena Ayah belum kunjung mengeluarkan suara, aku berinisiatif dengan menanyakan perihal tamu yang datang ke tempatnya tempo lalu.
"Ayah, waktu itu ada pria datang ke sini. Kalau dilihat-lihat, umurnya gak jauh dari aku, tapi dia lebih tinggi dari aku."
Ayah menoleh kepalanya kepadaku. "Siapa?"
Aku menggeleng pelan. "Aku juga gak tahu, tapi dia sopan banget loh."
"Memangnya kamu pernah melihat ada prajurit yang tidak sopan?" Ah, pernyataannya sangat menohok sekali. Aku hanya meringis pelan sambil menggelengkan kepalaku.
Ayah berdiri dari duduknya, lalu tanpa menoleh padaku dia kembali mengatakan, "Sebentar lagi pasti dia akan datang, jangan bersikap yang aneh-aneh, Naura!" peringatnya, lalu pergi ke arah kamar mandi.
Aku memijat pelipisku, tidak pusing sih. Hanya saja, aku kepikiran dengan pria itu. Bukan karena wajahnya yang ... oke, lah. Dia memang menawan, tapi yang menjadi fokusku adalah kulitnya!
Kulitnya memang lebih kecoklatan dariku. Tipis sekali bedanya. Padahal aku kira, orang-orang yang tinggal di sini, memiliki kulit yang setidaknya dua sampai tiga tingkat lebih coklat daripada kulitku.
Kalian tahu kan, kegundahan seorang wanita ketika mengetahui ada seorang laki-laki yang memiliki tingkat kecerahan kulit yang hanya beda tipis?
Minder.
Aku tahu, bahwa aku lebih banyak menuruni fisik Ayah, ya ... warna kulitnya maksudku. Tapi, saat kamu punya teman atau saudara yang memiliki kulit lebih gelap daripada saudara atau temannya, percayalah. Ada rasa iri yang selalu tertanam dalam pikirannya.
Jangankan orang terdekat, bertemu dengan orang asing yang mempunyai warna kulit yang lebih cerah dari kulitku saja, aku sudah menanamkan rasa iri.
Andai saja ada pemutih singkat tanpa operasi yang cocok dengan kulit sensitifku.
~tbc~
Sebagian percakapan bersumber pada : perkataan Sertu Hariyanto Grup-1 Kopassus di https://kalsel.prokal.co/read/news/2808-mau-tahu-ini-suka-duka-menjadi-prajurit-kopassus
Revisi : 18/10/20
.
.
Terimakasih telah membaca cerita Bye-bye, Black!💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟, ramaikan kolom komentar dan sharr cerita ini apabila kalian berkenan ya🤗
.
.
Salam hangat,
Fe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top