BBB [4]

Sorry for typo
~Happy reading~


2018.

"Kak, kenapa sih, lo harus milih kerja di penerbit buku, gitu? Bukannya repot ya? Lo juga pasti semakin kebatas, buat bikin karya sendiri karena sibuk mengurusi karya orang lain," komentar Elin. Anak tetanggaku yang kebetulan menjadi salah satu penggemar karya-karya tulisanku di salah satu platform cerita.

Untuk anak remaja seusianya, aku tahu dia belum tahu pasti bagaimana suka dukanya menjadi orang dewasa. Ketepatan memilih keputusan untuk masa depan sangat diperlukan. Aku mengukir senyum, mengacak-acak rambutnya layaknya adik sendiri.

"Karena bagi Kakak, menjadi bagian dari staf penerbit buku, apalagi jadi editor itu adalah yang paling menyenangkan. Sama seperti Elin yang suka melukis karena sebuah kesukaan, kan?"

Aku melihat Elin menganggukkan kepalanya antusias. Gadis remaja yang memiliki rambut keriting yang menggemaskan itu, kembali bertanya, "Emang hal apa yang menurut Kakak menyenangkan itu?"

Aku terkekeh pelan, merasa seperti sedang diwawancara oleh seorang wartawan saja. Mataku kembali menatap ke arah taman komplek yang sedang ramai oleh pedagang keliling maupun penjual asongan yang ramai di kunjungi oleh pembelinya.

"Karena membaca dan bekerja dengan orang-orang yang mampu merangkai idenya lewat suatu karya tulis adalah kesenangan buat Kakak, maka keuntungan ini akan jadi nilai plus yang sulit terganti," jelasku panjang lebar.

"Emang Kakak dibolehin gitu milih pekerjaan Kakak sendiri? Kak April aja di tentuin sama Mama pekerjaannya."

Ah, April, aku jadi teringat tentang dia. Aku dan April adalah teman sewaktu SMA dulu. Rumah kami pun dulunya tidak sedekat ini, tapi saat April mulai kuliah, dia dan keluarganya mendadak pindah dan menjadi tetanggaku. Sampai saat ini.

Gadis yang masih mengenakan seragam putih biru dihadapanku ini, setahuku, dari cerita yang April sampaikan saat tengah malam, dulu. Saat April datang dengan tiba-tiba dan berada di balkon kamarku, memberikanku banyak sekali peralatan melukis yang membuatku terheran.

"Tolong jaga ini, Elin mungkin akan lebih sering ke sini kalo dia mau melukis dan rahasiakan ini dari nyokap sama bokap gue."

Aku yang sudah didik menjadi anak penurut dan dalam keadaan setengah sadar karena mengantuk, hanya bisa mengiyakan permintaan April tanpa menanyakan lebih. Hingga saat ini, akhirnya aku tahu bahwa Elin sangat di tentang keras oleh orang tuanya dalam hobinya.

Miris sekali.

Aku kembali menatap Elin yang sepertinya menantikan jawaban dariku. "Menghormati orang tua itu penting, karena pastinya orang tua itu akan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Tapi kembali ke kamu, jika kamu sudah dewasa nantinya, hidup ini sepenuhnya milik kamu. Karena yang menjalani dan menerima akibatnya ... ya, kamu sendiri.

"Kamu juga harus yakin dulu sama keinginan kamu dan tetap menimbang kembali pilihan orang tua. Karena, tidak sedikit orang yang sukses karena menuruti keinginan orang tua—entah terpaksa atau tidak—dan ada juga sebagian orang yang sukses dengan caranya sendiri, tapi mereka tetap menghormati orang tua mereka meskipun pada akhirnya, orang tua mereka bangga terhadap anaknya. Meskipun beda pendapat."

Elin kembali tersenyum cerah padaku, aku merasa hatiku menghangat melihat senyumnya. "Baik, kalau gitu! Elin akan semangat buat nunjukin ke Mama dan Papa kalau Elin juga bisa sukses!"

Aku merasa gemas dengan tingkahnya yang mengepalkan lengan dan mengacungkannya tinggi dengan menekuk sikunya. "Semangat!" ujarku.

•×•×•×•

2020.

Graha Kencana merupakan perumahan yang terdiri dari beberapa cluster. Pada setiap cluster memiliki masing-masing fasilitas, yaitu playground anak dan taman dengan konsep one gate system yang bisa membantuku untuk me-refreshing diri dari penatnya pekerjaan. Untuk fasilitas ibadah, sedang dibangun Masjid yang berada di luar masing-masing cluster, sehingga aku pun tidak akan merasa kesulitan nantinya saat akan beribadah.

Intinya tempat itu sesuai dengan perumahan yang aku impikan karena selain dekat dengan Ayah, suasananya yang tentram juga membuatku betah berlama-lama tinggal di sana.

Aku tinggal di salah satu unik di Graha Kencana untuk beberapa bulan yang telah aku sewa sebelumnya. Karena pemindahan tugasku yang mendadak oleh Pimpinan Manager Editorial, Raka—mantanku di masa kuliahan—yang sialnya menjadi Bos-ku di AR Media sekarang ini.

Sepertinya dia punya dendam kesumat padaku, hingga memindahtugaskan aku ke kantor cabang AR Media di daerah Batujajar, yang berlokasi di salah satu komplek Graha Kencana sebagai anak cabang dari penerbit indie. 

Tapi itu juga bisa aku syukuri, karena jarak kantor sekaligus daerah tempatku tinggal, dekat dengan asrama Ayahku. Tiap pagi sebelum melaksanakan tugas-tugas yang aku bawa ke rumah, aku mampir ke batalyon. Untuk memberikan Ayah masakanku—sebagai obat rindunya terhadap keluarga kecilnya dulu— atau sekedar membersihkan rumah dinasnya yang dulunya ditinggali oleh kami—aku, Ibu, Ayah dan Kafka—sepertinya masa-masa seperti sulit untuk terulang kembali.

Sekarang sudah beda, jadi ... lupakan saja.

Tidak banyak yang aku berbuat di sini, mengingat Ayah maniak kebersihan, jadi tidak perlu cemas tentang kebersihan rumah dinasnya. Aku paling-paling cuma membersihkan sisa-sisa debu yang tertinggalnya saja, selagi beliau pergi dinas.

Tanganku terulur, menyentuh sebuah pigura berukuran setengah meter yang masih terpajang rapi sejak kejadian itu. "Ayah orangnya setia, Ibu juga baik, mereka beneran gak bisa kembali ya?" Aku menatap sendu foto Ayah yang sedang memakai baju dinas lengkap beserta atribut dan topi merahnya, di samping berdiri Ibu dengan aku yang menggunakan pakaian toga, sambil mengacungkan pada kamera sebuah piala yang aku dapatkan.

Semuanya tersenyum, termasuk aku yang jika dilihat, paling bahagia ketika foto tersebut di ambil. Hanya Kafka yang tidak ada di sana karena dia sedang melakukan study-nya diluar daerah dan sulit mendapatkan izin dari dosennya.

Setelah selesai dengan urusan kebersihan tempat yang tidak seberapa, aku menyajikan makanan yang tadi sudah aku masak di rumah. Tinggal menunggu kepulangan Ayah saja. Hingga beberapa menit penantianku, aku mendengar ada orang yang sepertinya hendak bertamu pada Ayahku.

"Assalamu'alaikum, permisi!" serunya.

Aku menjawab salamnya dalam hati, lalu berjalan menghampiri pintu. Aku sempat tertegun saat melihatnya. Rasanya seperti dejavu, tapi entah di mana.

Aku sepertinya pernah melihat pria dengan t-shirt abu-abu yang melekat pas pada tubuhnya yang kekar dengan celana loreng masih terpasang rapi. Pria di depanku ini, menyunggingkan senyum. Lesung pada sebelah pipinya semakin membuatku termenung beberapa saat.

Sebelum kesadaranku kembali karena kepergok sedang melamun di depannya. "Permisi, ada Mayjen Husein?"

Aku mengerjap bingung, tidak tahu harus bicara apa. Karena setahuku, Ayah berkata akan pergi dinas. Tidak menjelaskannya secara rinci. Rahasia katanya.

"Ah ... beliau sedang  pergi dinas."

Pria itu menganggukkan kepala, sepertinya mengerti dengan maksudku. "Terima kasih, saya ijin pamit."

Aku mengikuti gayanya yang hanya menganggukkan kepala. Jujur saja, aku seperti pernah mengenal atau paling tidak melihatnya di suatu tempat.

Pria itu berbalik badan dan pergi. Hingga punggungnya yang terlihat kokoh itu, menghilang dari pandanganku. Aku masih berdiri diambang pintu sambil menerka-nerka kejadian mana dalam kehidupanku yang membuatnya terlihat bukan seperti orang asing yang pernah aku temui.

Tapi sampai menit ke-30 aku berusaha mengingatnya, namun nihil. Aku tidak bisa membenarkan apa yang hatiku katakan, bahwa aku pernah melihatnya sebelumnya.

~tbc~
Revisi : 18/10/20
.
Terimakasih telah membaca cerita Bye-bye, Black!💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟, tinggalkan komentar dan juga share cerita ini ya🤗
.
.
Salam hangat,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top