BBB [31]

Sorry for typo
~Happy reading~

Tugas dari seorang editor tak melulu soal mengedit dan membuat naskah semakin enak dibaca. Kami juga harus berjuang mencari naskah agar pihak penerbit memiliki naskah yang diterbitkan setiap bulannya. Banyak sekali naskah yang keluar-masuk dalam ranah fiksi.

Aku bahkan sering kali pulang malam saking banyaknya naskah yang aku tangani. Belum selesai dengan itu saja, naskah yang memenuhi syarat dan tidak melanggar etika umum tentu akan dipertimbangkan untuk diterbitkan.

Sebagai editor, kami tak boleh sampai kebobolan membiarkan naskah yang berbau SARA dan tak sesuai kaidah umum dikonsumsi publik.

"Naura, mau ke kantin bareng?" ajakan dari Mbak Rasti pun aku tolak karena banyaknya naskah yang harus segera diselesaikan.

Aku menggelengkan kepalaku. "Kayaknya gak dulu deh. Numpuk banget pekerjaanku."

"Jangan terlalu memforsir diri, kali-kali kamu juga butuh istirahat, Ra."

Aku mempertimbangkan saran dari Mbak Rasti, menoleh sekilas pada naskah yang masih butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Aku terdiam, jadi ragu dengan keputusanku. Tapi mendengarkan penawaran Mbak Rasti seperti ada benarnya.

"Baik, Ras. Bentar dulu, aku beres-beres dulu," ujarku.

Mbak Rasti mengangguk-angguk kepala. "Saya tunggu deket lift ya?"

Aku mengacungkan jempol pada Mbak Rasti dan membereskan dulu meja kerjaku yang penuh oleh bertumpuk-tumpuk berkas naskah yang harus segera aku selesaikan.

•×•×•×•

Ini sudah masuk tahun ketiga sejak lengsernya Raka dari jabatannya. Sekarang divisi fiksi dipimpin oleh Mbak Karla. Dia orang yang baik dan tidak pernah neko-neko pada bawahannya.

Bisa tegas tapi tetap ramah pada kami, jadi aku dapat bekerja lebih enjoy dari biasanya.

Karena aku sudah kembali ke kantor pusat di Kemang, sekarang aku dapat berinteraksi dengan teman-temanku yang dulu-minus Santi. Kata mamah, papah menyuruh Santi untuk kuliah di Yogya-karena dulu Santi pernah berhenti kuliah dikarenakan tertarik untuk bekerja di AR Media.

Kini Mbak Rasti memilihkan cafe Largo Bistrot sebagai tempat kami makan siang. Beberapa live music event yang sedang dipentaskan di cafe ini menjadi salah satu bagian menarik para pengunjung. Termasuk kami yang begitu menikmati sajian musik yang dipadukan dengan masakan barat sangat mendominasi di cafe ini.

"Gimana masakannya, enak?" tanya Mbak Rasti di saat kami sedang menikmati makanan.

Aku mengangguk antusias. "Banget, lain kali ke sini lagi aja lah. Bosen di kantin kantor mah itu-itu mulu," gerutuku.

Mbak Rasti tertawa pelan menanggapi ucapanku. "Boleh-boleh, lain kali juga ajak yang lain deh," usulnya aku setujui.

Setelah selesai dengan menu utama, kami melanjutkannya dengan istirahat sejenak.

Aku menyesap kopi capuccino yang baru saja aku pesan saat Mbak Rasti kembali mengajakku berbincang dengannya. "Gimana sama Santi dan Raka? Masih sering gangguin kamu?"

Aku sudah tidak kaget lagi jika Mbak Rasti membahas masalah ini, karena aku memang pernah menceritakannya. "Ya, gitu. Gak untuk tahun-tahun sekarang dan juga jangan sampe ke tahun-tahun depan lah."

"Syukurlah kalau gitu, setidaknya kamu tidak jadi generasi milenial yang dijodohkan," guraunya.

Untung saja aku tidak tersedak. "Main ledek aja sih!" gerutuku sebal.

Mbak Rasti memberikan kode damai padaku dan aku menyetujuinya dengan terpaksa. Tapi rupanya keusilan Mbak Rasti tidak sampai di situ. Kini dia kembali menarikku pada masa lalu yang sedang berusaha aku kubur dalam-dalam karena ketidakpastian akan janjinya.

"Lalu bagaimana sama orang berseragam loreng itu, Ra? Masih di PHP-in atau udah di halal-in?" godanya semakin menjadi.

Ibu dua anak ini semakin sombong saja apalagi ketika dirinya sudah menikah dan mempunyai anak kecil yang sangat menggemaskan. Selalu menggodaku karena sampai saat ini belum kunjung menikah.

"Apaan sih Mbak, bahasnya itu mulu."

Lihatlah, sekarang Mbak Rasti sama saja seperti mamah yang terus menodongku dengan pertanyaan yang sama. "Kapan sih kamu mau serius buat nikah, Ra? Umur kamu udah dewasa...." Bla bla bla. Selalu saja seperti itu.

Apa salahnya coba aku memilih menjadi wanita karir yang sukses dulu? Toh, hasilnya juga tidak akan merugikan orang tuaku, pikirku saat ini.

Aku sudah berusaha mengenyahkan Arusha dari pikiran dan hatiku karena ternyata berharap pada manusia memang tidak akan berakhir indah. Harus selalu menelan kekecewaan lagi.

Tapi kini Mbak Rasti malah membahasnya. Itu yang membuat kegalauanku sampai kepada aku yang menjelang tidur.

Pandanganku teralihkan pada brevet komando yang aku simpan di lemari tapi sekarang aku sedang menggenggamnya seolah lewatnya aku dapat menyalurkan perasaan rindu pada orang yang memberikan brevet ini padaku.

"Apa kamu baik-baik saja di sana, Sha? Atau jangan-jangan kamu sudah melupakan aku dan malah nikah sama orang lain kali ya?"

Mataku sudah berair. Aku coba sekuat tenaga untuk tidak menangis saat mengingatnya kembali. Tapi sangat sulit. Ini sungguh menyakitkan.

"Arusha... kamu udah bahagia ya? Bahkan sejak tiga tahun lalu kamu sama sekali memberikanku kabar. Seolah kamu hanyalah ilusi yang aku ciptakan sendiri."

Aku sudah terisak. Ku seka dengan sebelah tanganku air mata yang terus membasahi pipi. Berusaha tersenyum, walaupun yang aku berikan hanyalah senyum getir.

"Jika kamu bahagia, aku akan berusaha ikut bahagia untukmu."

Aku kembali memandangi sebuah amplop undangan pernikahan.

Beratasnamakan 'Arusha dan Santi' aku menyunggingkan senyum samar dibalik tangisku. Undangan itu tadi diberikan padaku oleh Mbak Rasti saat pulang dari makan siang kami.

Aku berusaha tegar untuk mengikhlaskannya. Mungkin ini yang terbaik. Untuk semuanya. Aku harus bisa bahagia walaupun bukan dia yang menjadi bahagiaku.

Harapku adalah dalam masa penyembuhan hati ini, aku bisa melihat dia dengan senyuman yang tulus tanpa harus menangis karena mengingatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top