BBB [3]
Sorry for typo
~Happy reading~
Aku sudah sampai di rumah, dengan keadaan canggung. Karena bagaimanapun juga, berdua dengan Papa di rumah bukan lah opsi yang baik. Ibu sedang mengikuti rapat di universitas tempat Kafka kuliah—kakakku yang memasuki semester tujuh—di Universitas Indonesia.
Papa memang orang yang baik, sehingga Ibu saja sampai jatuh cinta pad beliau. Tidak ada riwayat kejahatan selama hidupnya. Tapi karena aku suka melihat drama-drama Indonesia dan sedikit terkontaminasi dengan pemikirannya. Aku merasa takut jika sedang berada dalam kondisi berduaan dengan Papa akan berakhir mengerikan seperti yang selalu diberitakan di telivisi.
Seorang ayah yang mencabuli anaknya sendiri
Sialnya pikiran itu selalu bercocok pada otakku ini. Meskipun aku sudah mengsugestikan diri sekuat yang aku mampu. Apalagi di umurku yang sudah memasuki usia dua puluh tahunan, aku masih saja parno sendiri. Sehingga, pilihan terakhir yang aku pilih saat terjebak dalam situasi yang tidak aku inginkan, aku memilih mengurung diri di kamar. Setidaknya sampai aku tahy kedatangan Ibu atau Kafka yang sudah berada di rumah, aku akan keluar dari kamar ini.
Sayang sekali karena ketidakhadiran Lala di sini semakin membuat pikiranku kalut. Lala memang anak Papa dari istri pertamanya yang sekarang dititipkan ke Mbah Putri di Kota Kembang karena kesibukan Ibu dan Papa dalam urusan bisnisnya.
Meskipun sekarang pria yang menjadi suami Ibu merupakan Papaku, tapi itu hanya berlaku dan tertulis di atas kertas saja. Kami benar-benar tidak memiliki hubungan sedarah. Dia adalah Papa yang masih bisa aku hormati keberadaannya. Tapi bukan sebagai Ayah, melainkan sebagai suami dari Ibu. Makanya, tidak ada darahnya yang mengalir padaku. Sehingga kami masih sangat canggung untuk berinteraksi, layaknya orang asing.
Lain ceritanya saat aku benar-benar ingim ke toilet untuk menyelesaikan urusan dengan sistem pencernaanku. Tapi hal yang paling menyebalkannya adalah letak kamar mandi yang tidak ada di dalam kamarku, tapi di dekat dapur dan aku harus melewati ruang tamu—letak teritorial Papa—yang selalu menjadi tempat duduk beliau saat weekend, sambil menonton televisi ataupun membaca koran.
"Masa iya, harus aku tahan terus sih," gerutuku sambil mondar-mandir di kamar. Ingin keluar, tapi takut bertemu dengan Papa. Jika tidak keluar, aku berpotensi menimbulkan penyakit karena menahan sesuatu yang harus segera dikeluarkan.
"Ah, biarin deh. Keluar aja lah!"
Tanganku sudah bersiap menyentuh kenop pintu, tapi aku mengurungkan niat untuk membukanya.
Kembali lagi, aku menggigit satu jariku. "Buka tidak ya .... "
Dengan ragu, aku terpaksa membuka pintu, sangat pelan. Karena takut terdengar oleh Papa, meskipun aku tahu, jarak antara kamarku dengan ruang tamu lumayan jauh.
Ceklek
Saat pintu kamarku sudah terbuka sepenuhnya, aku melongokkan kepala ke arah ruang tamu yang bisa terlihat dari kamarku. Tidak ada.
Akhirnya aku bisa bernapas lega, kemungkinan Papa sedang keluar rumah atau ada di ruang kerjanya. Aku pun melangkahkan kakiku.
Satu langkah, aman.
Tiga langkah, agak ragu.
Dan dilangkah kelima, aku menemukan ketakutanku.
"Naura?" Suara itu membuatku kaget. Jantungku berpacu kencang.
Karena baru saja keluar dari kamar, aku sudah dikejutkan oleh ketakutanku. "AAAAAA!" teriakku, lalu membalikkan badan dan dengan sekuat tenaga, aku menutup pintu.
BRAK!
Aku berdiri bersandar pada pintu sambil mengusap dadaku. Terdengar detakan yang cepat dari jantungku. Aku tidak tahu jika akan sekaget ini dalam waktu singkat. Aku mendengar Papa yang kembali memanggilku. Kudengar suara cemas darinya. Tapi aku tetap takut menghadapinya.
"Naura? Kamu tidak kenapa-napa?" ulangnya.
Aku menahan suaraku agar tidak bergetar saat merapalkan kalimat nantinya, setelah yakin, aku berujar, "Aku tidak apa-apa, Pa."
Tidak terdengar suara hingga di menit kelima. "Kalau butuh sesuatu beritahu Papa ya!" pesannya.
Aku hanya mampu membalas ucapannya dengan kata, "Iya." Karena lidahku masih saja kelu jika harus berhadapan dengannya.
Ini adalah tahun kedua peresmian pernikahan Papa dan Ibu. Tapi aku belum cukup berani untuk sekedar menghabiskan waktuku bersama Papa.
•×•×•×•
Sejam kemudian, Kafka sudah sampai di rumah bersama Ibu sambil menenteng dua buah kresek putih besar berlogo salah satu supermarket. Melihatnya saja membuat mataku berbinar. Maka pikiranku terus menyuarakan, kopi capuccino! Kopi capuccino! Kopi capuccino!
Mungkin mataku yang terlalu ekspresif sehingga Kafka dengan senang hati langsung mengangsurkan dua renceng kopi capuccino kesukaanku. Aku menerimanya dengan senang hati. Berjingkrak girang sambil memeluk leher Kafka dan mengecup sebelah pipinya. Kebiasaanku sejak dulu, jika Kafka memberikanku hadiah.
"Makasih lho," ucapku dengan riang.
Kafka tersenyum sambil membelai suraiku. "Anytime for you."
Ibu dan Papa tersenyum geli saat melihat interaksi kami. Aku mendengar mereka tertawa pelan. Aku jadi malu, karena masih bertingkah manja seperti ini pada Kafka. Salahkan saja Kafka yang dari dulu terus saja memanjakan aku sebagai adik perempuannya, tentunya setelah Lala.
"Permisi."
Suara itu mengintruksikan kami untuk menoleh pada pintu yang terbuka. Aku membulatkan mataku saat melihat Santi berdiri di sana. Senyumnya mengembang ke arah ..... aku tidak tahu pasti. Tapi dia tampak senang datang ke sini.
Untuk apa dia ke sini? Apa untuk menjelekkanku di depan keluargaku sendiri? Aku tidak bisa menerka maksud kedatangan Santi di rumah ini. Tapi aku merasa ada hal buruk yang seolah-olah baru saja akan dilimpahkan padaku.
Dia melepaskan sepatunya dan berjalan ke aran kami. Aku masih termangu saat dia tersenyum ramah dan pada Papa. Bahkan Ibu pun sepertinya menyambutnya dengan baik. Aku melirik pada Kafka yang terlihat tegang. Dia kenapa?
Saat Ibu menuntun Santi berdiri di depanku, sehingga kami dapat berhadapan satu sama lainnya. Ibu mengucapkan kalimat yang sama sekali tidak aku sangka-sangka.
"Naura, kenalkan, ini Santi." Aku juga udah tahu mah! Tapi kenapa mamah bisa kenal?! gerutuku dalam hati.
Lidahku masih kaku untuk sekedar protes, aku menunggu Ibu menyelesaikan perkataannya. Sambil memandang Santi yang sedang menatap meremehkan ke arahku. Ini sebenarnya kenapa?!
"Dia ini anaknya Papa kamu dari istrinya dulu, Kakaknya Lala."
Sebenarnya aku menahan diriku agar tidak melotot ke arahnya, karena itu terlihat sangat tidak sopan di depan Ibu. Pernyataan yang baru saja dicetuskan ole Ibu sangat mengguncang batinku. Aku menatap culas pada Santi yang sudah diam-diam tersenyum miring di balik bibir merah menyalanya itu.
Santi menyodorkan tangannya di depanku. Layaknya orang yang baru pertama kali berkenalan. "Senang bertemu denganmu, Naura." Aku berdecih dalam hati, melihat tingkah manis dari Santi yang memuakkan untukku.
Aku hanya mengangguk dan saat kedua orang tuaku pergi ke kamarnya, Santi berbisik padaku. "Mana kata selamat darimu untukku, Papua?"
Aku mengepalkan lenganku berniat meninju wajahnya yang berlapis make up tebal, jika saja aku tidak ingat bahwa masih ada Kafka yang memerhatikan interaksi kami.
Dia menatapku dengan pandangan ngeri, tapi aku tidak peduli lagi.
"Jangan galak-galak padaku, Papua, Sayang." Santi kembali membisikan lagi kalimat bernada mengejek padaku.
Aku semakin menggeram frustasi, setidaknya aku harus bertahan di rumah ini selama tiga hari lagi. Karena setelah itu .... adalah jadwalku pergi ke batalyon sesuai janjiku dengan Ayah.
Semoga saja aku bisa bertahan.
~tbc~
©260420 tanialsyifa
Note : Thank's for reading~
Nanti ya, ketemu sama kacang ijonya di next chapter 😜
Revisi : 18/10/20
.
.
Terimakasih telah membaca cerita Bye-bye, Black!💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 , komentar dan kalian juga bisa share cerita ini kepada teman-teman kalian. See you 😂
.
.
Salam literasi,
Fe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top