BBB [24]

Sorry for typo
~Happy reading~



Aku sama sekali tidak membahas tentang permasalahan Hani dengan Anza. Biarkan Hani sendiri yang bercerita karena aku tidak ingin memaksanya. Hani yang biasanya akan antusias keluar dari tenda sejak pagi sekali mendadak menjadi sangat enggan untuk keluar dari tenda saja. Apalagi Hani berusaha menutupi mata sembabnya yang sudah aku ketahui sejak dia pulang ke tenda kemarin malam.

Aku tahu, mungkin permasalahannya sangat rumit sehingga Hani menjadi pendiam seperti sekarang. "Han, aku duluan ya?" pamitku yang hanya dibalas oleh anggukan dari Hani saja.

Aku bertekad bahwa setelah urusan penasaranku selesai, aku akan bicara dengan Anza!

Aku menemui Arusha terlebih dahulu. Mereka masih melaksanakan olahraga pagi ternyata, batinku saat melihat para calon anggota kopassus yang sedang melakukan olahraga ringan seperti push up, sit up dan lainnya.

Arusha yang sedang melakukan gerakan push up dengan tangan yang terkepal menjadi acuannya, terhenti karena melihatku yang berdiri di dekatnya.

Aku mencibir dalam hati karena Arusha yang sepertinya sedang pamer otot-otot tangannya itu—yang sialnya— sangat ingin aku peluk detik itu juga.

Otot-otot penggoda iman, dasar!

"Sudah mendingan?" tanyanya.

Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Setelahnya, Arusha berdiri sambil membersihkan bagian pakaiannya yang kotor.

"Boleh aku ikut lihat pelatihan kali ini?"

Dahinya yang semula mengerut, menjadi datar kembali. "Dengan keadaanmu seperti ini?"

Pertanyaannya seperti meremehkan aku saja. Padahal aku cuma sakit biasa, bukan penyakit serius seperti jantungan!

"Ck, ayolah. Ini pun demi naskah yang sedang aku tangani Arushaaa!" ujarku dengan gemas. Dengan alasan itu juga bisa membantuku untuk menyelesaikan rasa penasaranku ini.

Gelengan dari kepalanya membuatku kecewa, bahkan tanpa aku sadari, aku menggumamkan kalimat yang sepertinya berhasil membuat Arusha mengubah pikirannya. "Mungkin kalau tadi aku minta ijin kepada Alvin atau setidaknya pada Anza, pasti mereka memberikanku ijin."

Padahal suaraku sangat pelan, tapi nyatanya berhasil membuat Arusha mengubah keputusannya.

"Tapi kamu harus berjanji selalu ada di dekat saya! Ini pun demi kebaikan kamu yang selalu bertingkah ceroboh," tegasnya.

Tapi aku bisa menerimanya walaupun dengan setengah kekesalan. Bagaimanapun juga aku sudah berhasil mendapatkan izinnya, kan?

YESSS!

•×•×•×•

Mungkin seharusnya aku mendengarkan perkataan Hani waktu itu, sehingga rasa tidak nyaman pada perutku yang terus melilit tidak akan aku alami.

Kamu tahu, rasa sakit semasa datang bulan hari pertama? Duh, sakitnya tuh terasa seperti aku ingin sekali menyimpan bagian tubuh dari pusar sampai ke kaki di satu tempat dan menyisakan bagian tubuh lainnya untuk melakukan aktivitas.

Kebayang gak sih ribetnya kaya gimana? Sungguh menyiksa!


Tenang kepelikan yang aku rasakan pada perutku, aku mendengar Arusha yang menyampaikan intruksi kepada para taruna.

"Kalian harus berenang melintasi selat dari Cilacap ke Nusakambanga,n dan paling lambat pukul sepuluh malam sudah harus sampai di titik yang sudah ditentukan," jelas Arusha.

Para prajurit yang awalnya diam menyimak, langsung berseru lantang, "SIAAAAP!" seru mereka dengan serempak.

Wajah para taruna itu masih sama dengan wajah saat mereka pertama kali dilatih : coreng-coreng dengan pakaian khas tentara yang melekat sempurna pada tubuh mereka.

Sekarang aku sedang berada di samping Arusha, berbekal dengan note kecil yang aku bawa sebagai catatan tambahan bila perlu.

"Kalian harus mengikuti peraturan yang tadi telah saya sebutkan! Jangan manja dan banyak mengeluh. Jika kalian tidak lolos dalam pelatihan ini, maka kalian akan langsung dipulangkan!" tegas Arusha kembali.

Lalu ada Anza yang menambahkan, "Kalian hanya perlu bertahan, jika tekad kalian memang sepenuhnya untuk NKRI. SIAPP?!!"

Seruan dari Anza di sambut oleh gema suara dari para prajurit yang dengan lantangnya menyanggupi apa yang telah diarahkan oleh Arusha sebelumnya.

"SIAAAP!" ucap mereka bersamaan.

Tapi satu hal yang menjadi fokusku saat ini adalah senyum menyeringai dari Arusha, Anza dan bahkan Alvin yang tadinya masih memasang tampang wajah yang sangar pun tiba-tiba semuanya tersenyum miring!

Aku dapat merasakan firasat buruk dari arti senyum mereka. Dan itu semua bercampur aduk dengan gejolak rasa sakit dalam perutku!

Setelah aku melihat para calon prajurit komando dilepas pagi hari tanpa bekal, mereka juga diharuskan menerapkan materi yang telah diberikan. Seperti meliputi navigasi laut, survival laut, pelolosan, renang ponco dan pendaratan menggunakan perahu karet.

Dalam pertengahan perjalanan menuju lokasi tertentu, aku menoleh pada Arusha, hendak bertanya, tapi aku mengurungkan niatku. Ragu, jika Arusha akan menjawab pertanyaanku. Terlebih lagi, aku sedang dalam fase sensitif akibat datang bulan ini.

"Kenapa?" tanya Arusha lebih dulu.

Ah, peka sekali tentara satu ini! Akhirnya aku bisa mengungkapkan apa yang ingin aku tanyakan tanpa perlu rasa takut akibat ditolak ataupun diabaikan pertanyaannya oleh Arusha.

"Apa kalian tidak terlalu kejam pada para prajurit itu? Maksudku, pasti setelah ini mereka akan mendapatkan suatu yang lebih buruk, kan?" tanyaku, menyuarakan asumsi negatif padanya.

"Dari mana kamu bisa berasumsi seperti demikian?"

Aku yang ditanya seperti itu mendadak jadi kikuk, menggaruk carukku yang tidak gatal. "Cuma feeling sih."

Tapi siapa sangka karena jawabanku itu juga, Arusha jadi tersenyum! Dia akhirnya menampilkan lagi lesung pipinya yang sudah lama tidak aku lihat.

"Tenang saja, selama masa ‘pelolosan’ nanti, calon prajurit hanya harus menghindari segala macam rintangan alam maupun tembakan dari musuh yang mengejar."

Aku menatap sangsi pada Arusha yang sudah tersenyum seperti sekarang. Ini seperti bukan senyum ikhlas! "Kalau misalkan nantinya calon prajurit itu sampai tertangkap?" pancingku. Sengaja untuk mendapatkan informasi lebih banyak lagi.

"Maka itu berarti neraka baginya," celetuk Anza dari belakang Arusha.

Arusha sepertinya tidak senang dengan jawaban Anza, tapi aku tidak peduli. Aku lebih butuh informasi sekarang ini. Aku melewati Arusha yang terus saja menatap awas ke arahku. Meskipun risih, aku berusaha untuk bersikap bodoamat.

"Lalu apa yang terjadi, Za?" tanyaku memancing Anza untuk menjelaskan lebih detail lagi.

"Bila calon prajurit Kopassus tertangkap, dia akan diinterogasi layaknya tawanan dalam perang. Kami—para pelatih—yang akan berperan sebagai musuh, menyiksa para prajurit yang malang itu untuk mendapatkan informasi," jelas Anza dengan enteng.

Aku semakin tertarik dengan pembicaraan ini, sedikit melupakan rasa sakit pada perutku yang melilit.

Mataku berbinar cerah, seolah berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan. "Setahuku dalam Konvensi Jenewa, tawanan perang dilarang disiksa, kan?"

Arusha tiba-tiba menyela pembicaraanku, "Memang. Namun, para calon prajurit komando itu dilatih untuk menghadapi hal terburuk di medan operasi. Sehingga bila suatu saat seorang prajurit komando di perlakukan tidak manusiawi oleh musuh yang melanggar Konvensi Jenewa, mereka sudah siap menghadapinya."

Penjelasannya membuatku menoleh pada Arusha yang sudah berdiri di sampingku.

Aku yang sekarang seperti sedang diapit oleh dua orang kesatria yang saling memberikan tatapan membunuh pada lawan bicaranya.

Duh, jadi bingung!

Demi menghilangkan rasa canggung dan risih akibat Anza dan Arusha yang tiba-tiba saling menyahuti pertanyaan dariku, aku berdeham singkat untuk mengalihkan perhatian mereka.

"Hm ... anu ... sebaiknya kita—"

Tawa dari Anza sedikit membuatku terheran. Aku menoleh padanya. Anza kembali melirik ke arahku dan Arusha secara bergantian, lalu berhenti saat menoleh padaku lagi. "Oke-oke, saya paham. Kayanya kamu bisa tanyakan lebih lanjutnya dengan Arusha, dia pasti tahu banyak informasi yang kamu butuhkan."

Aku melirik Arusha dengan sangsi. "Benarkah? Bukannya tadi dia menolak menjawab pertanyaanku, ya?" cibirku.

Anza tergelak walaupun tidak terlalu kentara. Dia menormalkan mimik wajahnya dulu. Laku berbisik pelan padaku, "Tapi dengan kamu menanyakannya pada Arusha, dia tidak akan benar-benar menggantungkan temannya di kamp penyiksaan nanti."

Aku tahu, perkataan Anza hanya seloroh yang dia gunakan karena Arusha tak hentinya memberikan pelototan tajam padanya. Aku menghela napas, tidak kebayang jika dugaanku benar. Pasti yang menjadi istri Arusha kelak, akan kerepotan jika mengetahui bahwa suaminya adalah pencemburu akut.

LALU APA HUBUNGANNYA AKU DENGAN MEMIKIRKAN ITU SEMUA?!!

Duh tiba-tiba aku merasa sangat bodoh sekali dengan perasaan yang aneh ini.

~tbc~

Revisi : 29/10/20

Terima kasih telah membaca
Bye-bye, black!💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 tinggalkan komentar dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya 😂
.
.
Salam hangat,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top