BBB [23]

Sorry for typo
~Happy reading~

Beberapa bulan di sini ternyata cukup membuat daya tahan tubuhku melemah. Aku memang jarang sakit, tapi sekalinya sakit pun tidak separah dulu. Ini hanya demam biasa karena akhir-akhir ini aku lebih sering tidur malam dan banyak makan angin sepertinya.

Untuk itu, aku akan mendapatkan update terbaru tentang pendidikan ini melalui Hani, karena baik Arusha maupun Anza tidak pernah berbagi cerita padaku, seolah itu menjadi hal yang haram mereka bicarakan jika membesukku di pleton kesehatan.

Saat menyendiri seperti ini, saat banyaknya para anggota calon Kopassus yang belum berhenti di didik, aku terdiam sendu. Merasa kasian sekaligus iba dengan penderitaan yang dialami oleh para prajurit ini. Mereka yang dengan setianya membela dan mengabdi pada negara, bahkan saat belum benar-benar menjadi prajurit sejati saja sudah di didik keras seperti sekarang.

Demi membuat kita—para warga negara—dapat hidup aman dan tentram. Sedangkan mereka—para tentara—dengan jiwa dan raganya telah rela berkorban sejauh ini. Hidup matinya hanya untuk negara. Bahkan mereka diajarkan untuk tidak pernah takut akan kematian demi membela tanah air.

Aku mengintip dari celah tempatku duduk sekarang, para calon anggota yang di siksa dengan berat. Bahkan masih menerima pendidikan saat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Sebelum tidur, Hani seperti biasanya bercerita padaku, "Latihan di Nusakambangan ini ternyata merupakan latihan tahap akhir, Mbak. Oleh karena itu, ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka. Sumpah, ngeri banget sih denger namanya aja udah serem."

Ucapan Hani memang terdengar sedikit seram. Aku mengibaskan selimut yang menutupi setengah tubuhku dan melilitkannya hingga separuh tubuhku sudah tertutup oleh selimut. Kecuali pada bagian wajah.

Istilah Hell Week ini seketika membuatku merinding, bahkan untuk sekedar membayangkannya saja aku tidak sanggup. "Terus Han, gimana lagi?" desakku pada Hani, menuntut cerita lebih banyak darinya.

Dengan semangatnya, Hani kembali bercerita padaku. Dia bahkan tak segan-segan untuk berekspresi pada setiap hal yang membuatnya ngeri, merinding, takut atau bahkan tidak suka. Hani menurutku, terlalu jujur karena dengan ekspresinya saja, orang-orang akan tahu bahwa dia sedang berkata jujur atau tidaknya.

"Kata orang-orang yang aku wawancara sih yang paling berat itu materi latihan ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’ Mbak,” ujar Hani.

Aku terdiam, agak sedikit tidak mengerti dengan istilah yang Hani sebutkan, seperti layaknya pada film-film perperangan saja, bukan?

"Bukannya ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’ itu terlalu mirip sama istilah saat perang, bukan sih?" tanyaku dengan mengutip kata 'pelolosan' dan 'kamp tawanan' dengan dua jari; jari telunjuk dan jari tengah.

Hani dengan cepat menjentikkan jarinya di depan wajahku. Aku sedikit terkejut dengannya, hampir saja terjengkang saking kagetnya. "Tepat sekali!" ujarnya semangat.

"Pokoknya Mbak, pusing kepala aku karena kengerian lihat insiden tadi. Gila pokoknya, mereka gak tanggung-tanggung nyiksa anggota sendiri layaknya para tawanan perang, padahal setahuku tawanan perang tidak boleh disiksa, kan?" Hani sudah memijit pelipisnya, mungkin saking pusingnya terhadap permasalahan yang dihadapi oleh para taruna itu.

"Aku jadi beneran penasaran buat tahu sekejam apa sih pelatihan itu," tantangku pada diri sendiri dengan suara pelan.

Tapi sepertinya Hanj mendengarkan perkataanku, sehingga dia melotot tidak suka kepadaku. "WAH, JANGAN DEH, MBAK!" pekiknya.

Aku dengan reflek menutup telingaku. "Berisik Hani!" tegurku yang tidak digubris sama sekali oleh Hani.

Dia membetulkan duduknya, kembali menghadap ke arahku dengan wajah tak sukanya. "Aku rasa itu pilihan buruk, Mbak. Aku saranin mendingan Mbak jangan ikut deh, kepala aku aja sampai pusing kalau mengingat kejadian tadi."

Justru perkataan Hani yang membuat jiwa penasaranku memuncak. "Han, kamu harus tanggung jawab karena sudah buat anak orang penasaran," desisku tajam.

Kata-kata itulah yang selalu aku kecamkan pada orang-orang yang sudah membuat aku penasaran, tapi tidak mau membantuku untuk mengetahui hal yang membuatku penasaran itu.

Salahkan saja mereka yang telah membuat jiwa keras kepalaku muncul kepermukaan!

Akhirnya Hani mengalah, dia bilang tidak akan ikut perjalanan besok karena mau mengistirahatkan diri. "Besok kalau Mbak emang ngotot mau tahu, silahkan aja. Aku gak bakalan larang deh, sekarang aku mau melancarkan aksi diam-diamku!" ujar Hani kembali semangat.

Aku yang tidak tahu maksud dari perkataan Hani bertanya, "Aksi diam-diam apa yang kamu maksud?"

Hani tiba-tiba saja sudah memasang cengiran lebarnya, bertutur dengan sangat girang serta menggebu-gebu padaku. "Aku akan mendekati Kapten Alvin!" Kelakarnya yang sukses membuat aku tertawa hebat.

Aku sampai harus memegangi perutku saking banyaknya tertawa. "Aduh Hani ... kamu ada-ada sih guyonannya. Bukannya kamu dekat dengan Anza, kan?"

Hani menggeleng. "Bukan Mas Anza, Mbak..." ujarnya dengan gemas.

Aku yang sangsi dengan perkataannya memicingkan mata dengan senyum geli. "Yakin, hm ... bukan sama Anza, nih? Serius dong, Hani. Jangan bercanda mulu."

Hani merenggut, dia mengerucutkan bibirnya karena kesal. "Ah, Mbak. Aku gak lagi ngelucu, ini serius!" protesnya.

Aku hanya bisa ternganga. "Ha?"

"Iya, Mbak. Dua rius malahan," ucap Hani sambil mengacungkan jari berbetuk huruf V ke arahku.

"Gimana-gimana Han?"

Hani berdehem, suaranya sedikit memelan karena mungkin tidak ingin diketahui oleh banyak orang. "Sebenernya aku hanya ingin dekat dengan Mas Anza karena aku mengincar Mas Alvin," cicitnya sambil menekankan kata Alvin.

Aku pun syok. "Jadi kamu cuma manfaatin Anza?!" Suaraku tiba-tiba meninggi. Orang awam saja tahu bahwa Anza terlihat begitu menaruh perasaan pada wanita ini.

"Stttth .... Mbak jangan keras-keras dong," omelnya.

"Bisa iya, bisa juga gak sih, Mbak. Soalnya Mas Anza baik banget. Jadi gak tega kalau disebut memanfaatkannya deh," ujar Hani yang sekian kalinya membuat aku terdiam, mencerna kalimatnya.

"Han ..." panggilku.

Hani menoleh padaku dengan wajah yang dimiringkan. "Hati-hati sama namanya penyesalan," sahutku tiba-tiba.

Saat Hani hendak protes, tenda kami ternyata kedatangan dua tamu. Mereka adalah Arusha dan Anza.

Dalam hati, aku mengutuk Hani karena bercerita di saat yang tidak tepat.

Dengan ragu, aku melirik pada Arusha. Dia masih menatap aneh padaku, sedangkan Anza?

Aku mengikuti arah pandang Kapten Anza yang bertuju pada Hani. Dilihatnya saja, aku tahu bahwa mereka kemungkinan besar sudah mendengar percakapan kami.

Mampus Hani! Aku juga mendadak kesal karena Hani tidak jadi ship dengan Anza, Aishh!

Tatapan tajam dan dingin dari Anza membuat suasana di tenda kami terasa canggung dan mencengkam.

"Hani, kita perlu bicara." Seruan dari Anza membuat Hani sedang bergelut dengan pikirannya, mengerjap.

"Sekarang?" cicitnya.

Aku pun memaki Hani dalam hati karena kepolosannya.

Jika biasanya Hani dan Anza akan terlihat saling melemparkan candaan, kini yang ada mereka tidak lebih dari sekedar orang asing yang punya permasalahan yang memang harus segera diselesaikan.

Hanya satu kata yang terkesan begitu irit, keluar dari mulut Anza, "Iya." Padahal biasanya laki-laki itu lebih ceriwis dari biasanya.

Aduh, semoga Hani baik-baik saja setelah berbicara dengan Anza, harapku.

Hani pun beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti Anza yang keluar dari pleton kesehatan. Meninggalkan aku dan Arusha dalam keadaan yang sama canggung.

Shit, Hani!

Karena bergaul dengan Hani, lama kelamaan frekuensi dan kefasihanku untuk mengumpati seseorang selain makhluk titisan setan seperti Raka, mantanku yang sampai saat ini keberadaannya sudah hampir saja aku lupakan.

~tbc~

Revisi : 29/10/20

Terima kasih telah membaca
Bye-bye black!💚
.
.
.
Jangan lupa untuk klik 🌟 diujung kiri ya😂
.
.
Salam hangat,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top