BBB [2]
Sorry for typo
~Happy reading~
Aku mengambil napas dengan banyak. Bukan tanpa alasan aku melakukan ini, tapi karena lima naskah fiksi remaja yang dilimpahkan padaku pada hari dan dengan deadline yang sama. Sangat mengerikan! Padahal ada rekan kerjaku yang memiliki jam kerja yang bebas, Santi contohnya. Ah, penyalahan jabatan namanya!
Tapi aku tidak punya cukup waktu untuk mengeluh, naskah-naskah ini sudah harus selesai sesuai deadline jika aku tidak mau kena tegur dan ingin bertahan lebih lama di sini. Tak masalah, hidupku pernah jauh lebih rumit daripada pekerjaan ini. Semangat!
Aku memfokuskan pikiranku pada layar monitor yang menampilkan puluhan ribu kata yang harus seleksi, agar menjadi novel yang layak dibaca dan tidak membuat orang yang membacanya merasa sakit mata. Saking berantakannya naskah-naskah ini, perut yang belum aku isi semenjak siang tadi, mulai mengeluarkan suara yang sangat menganggu pendengaranku.
Aku melirik kubikel tempat teman-temanku, hanya tersisa lima orang lagi dari sepuluh orang yang satu ruangan denganku. Santi sudah pergi sejak jam empat sore tadi. Sementara aku dan orang-orang baru harus mendekam lebih lama, bahkan sampai melembur mungkin? Aku meregangkan otot-otot tangan, melenturkan leher dan mencoba senam kecil untuk merilekskan tubuhku. Selama tiga jam ini, aku berhasil menuntaskan satu novel yang tidak perlu banyak penyuntingan kata, aku bersyukur pada penulisnya yang tidak membebankan naskahnya kepada editor yang menangani naskahnya.
Senyumku terbit seketika, merasa puas dengan kinerjaku hari ini. “Penulis yang pengertian,” pujiku.
Aku berjalan menuju dapur lantai sepuluh yang berada di ujung ruangan lantai ini. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai gedung, menggema. Padahal masih ada beberapa orang lagi yang belum pulang, tapi aku merasa berada di ruangan asing, sendirian.
Untungnya di dapur aku bertemu dengan salah satu anggota HDR yang sedang istirahat. Rista.
Rista menyunggingkan senyumnya saat melihatku datang. "Sore, Ra!" Aku membalas senyumnya dan balik menyapanya. "Sore juga, Ta."
Aku mengambil serbuk kopi, cream, gula dan mulai meraciknya sesuai dengan takaran kopi kesukanku. Saat aku sedang menuangkan air panas pada mug yang berlogo salah satu merk kopi ternama, aku mendengar Rista menggumamkan kata Santi. Aku dan Rista memang beda selisih umur dua tahun saja, dengan Rista yang lebih tua dariku dan sangat enggan dipanggil dengan embelan Mbak, Kak, atau apapun yang memperlihatkan perbandingan umurnya yang jauh di atasku. Terlihat tua dan kuno, katanya, tempo lalu.
"Ta, mau aku buatkan kopi?" kataku sambil mengaduk-aduk satu kopi khusus untukku.
Rista terlihat menimbang, lalu berujar, "Boleh, jangan terlalu banyak gulanya ya," pesan Rista yang aku ingat.
Tak butuh lama untuk membuat kopi itu segera jadi, kini kami sudah duduk saling berhadapan dengan mangkok bekas makanan yang Rista disimpan di sisi meja. Aku menghirup aroma kopi yang menyeruak dari mug yang masih mengepul, kebiasaanku sebelum meneguk kopi.
Mencium aromanya saja sudah membuatku merasa lebih rileks, percayalah.
"Kamu tahu orang bernama Santi, itu?" tanya Rista tiba-tiba sambil menunjukan layar ponselnya. Dalam salah satu media sosialnya, terlihat foto postingan Santi dengan pria berpakaian rapi di sebuah restoran mewah bergaya Italia yang baru di upload-nya di menit yang lalu.
"Kenal ... eh, tapi bukannya ... bukan sama cowok ini ya, yang waktu itu datang ke tempat kerja?" komentarku.
Memang kejadiannya sudah seminggu lalu, saat kantor divisi fiksi di hebohkan oleh kedatangan pria tinggi dengan tubuh tegap dan hidung mancungnya yang mampu menghipnotis perempuan yang dia lalui.
Pria itu menghampiri meja Santi dan memberikan Santi sebungkus makanan dari salah satu restoran ternama, bahkan tanpa diminta, dia langsung pergi setelah menyimpan makanan yang dibawanya.
Benar-benar tipikal pria bucin!
Rista menjentikkan jarinya, membuatku sedikit terlonjak kaget. "Nah, itu maksudku!" ucapnya menggebu.
Lalu Rista kembali membuatku menoleh pada ponselnya yang menyala. “Dan pria ini ...,” tunjuk Rista. “Adalah mantanku, Naura!" ujarnya gemas.
Ouw, aku tahu sekarang. Rupanya Rista masih belum mengikhlaskan mantan kekasih itu. Aku terkikik geli dalam hati. Karena keasikan berbincang, aku sampai lupa waktu. Padahal masih ada empat naskah yang harus aku selesaikan.
Aku berpamitan pada Rista karena harus menyelesaikan naskahku, Rista menganggut, dia tersenyum ke arahku sambil berujar, "Senang berbincang denganmu, semoga harimu menyenangkan."
Ah, rasanya aku sudah lama tidak mendengarkan kalimat itu dari seseorang. Maka saat mendengarkan kalimat perpisahan dari Rista, hatiku mendesir hangat. Senyuman tak mampu aku sembunyikan. Aku mengayunkan kakiku dengan riang menuju kubikelku.
Matahari yang sudah beranjak dari atas kepala dan meninggalkan semburat jingga yang menghiasi langit sore. Aku masih berada di kantor saat jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Aku bergegas membersihkan meja tempatku bekerja, terutama membuang sisa kertas yang tadi sangat menumpuk di atas mejaku.
"Akhirnya, selesai juga." Aku tersenyum puas saat kubikelku sudah rapi dan bersih.
Aku segera menenteng tasku dan berjalan menuju lift. Terdengar suara ting di depan lift tertutup. Aku harus menunggu lebih sabar karena suara tadi pertanda bahwa ada orang yang hendak berurusan di lantai sepuluh dan aku tidak begitu peduli. Atensiku masih mengarah pada ponsel yang baru saja aku aktifkan mode data selulernya. Karena sejak pagi tadi, aku sama sekali belum menyentuh ponselku.
Banyak notifikasi yang membanjiri pop-up pada ponselku, baik dari segi iklan, pesan dari sosial media maupun pemberitahuan mengenai masa tenggang kartuku.
Ah, aku hampir lupa tidak memperpanjang kartu perdanaku yang satunya. Aku menghela napas, berjanji pada diriku sendiri, saat pulang nanti, akan mampir dulu ke konter untuk memperpanjang kartu perdana.
"Naura, kan?"
Panggilan dengan nada mengejek sontak mengagetkanku. Aku mendengkus karena kenal dengan suaranya tanpa harus menatap balik matanya. Aku menyimpan ponselku pada saku celana, menatap malas orang yang kini sedang melihatku dengan pandangan menilai dari atas sampai bawah. Itu sangat mengganguku!
Aku mencoba menghormatinya sebagai atasanku, tersenyum samar sambil sedikit membungkukkan badan. "Permisi, Pak," ujarku dan berjalan menuju lift yang terbuka.
Rupanya dia tak membiarkan aku bernapas lega. Dia mencengkeram lenganku, hingga langkahku terhenti. Aku melirik lenganku yang dicengkram olehnya dengan jijik. "Tolong lepas," ucapku dingin, sambil meronta-ronta. Namun cengkramannya semakin kuat hingga membuatku mengaduh.
"Lepas!" ucapku kembali.
Dia akhirnya melepaskannya, aku melihat pergelangan tanganku yang sudah memerah. Mentang-mentang dia atasanku dan tidak ada yang melihat kami, bukan berarti dia bisa berlaku seenaknya padaku.
Aku mendongakkan kepala, membalas tatapan manik matanya yang tajam. "Tolong berlaku profesional ya, seperti yang Anda minta waktu itu," tegasku.
Jika dia ingin menindasku, lupakanlah niatnya itu. Aku sama sekali tidak gentar!
Walaupun harus aku akui bahwa kakiku sempat gemetar, tak lama kok.
Dia seperti biasa, menatap lawan bicaranya dengan tatapan meremehkan. "Jadi sekarang, Blacky ini udah mulai berani ya?" godanya.
Rahangku mengeras karena menahan amarah. Aku sudah mengepalkan lenganku, berjaga-jaga jika dia bertindak keterlaluan. Aku tak akan segan menghadiahi bogeman keras padanya.
"Kalo iya kenapa?" tantangku.
Lupakan tentang sopan santun dan tata krama sebentar. Dia jika dibiarkan akan semakin melunjak.
Dia semakin melangkah mendekatiku yang otomatis membuat aku memundurkan langkahku. Sepertinya novel picisan yang biasa aku tangani, harus aku alami sekarang.
“Benar-benar menyebalkan!” kesalku dalam hati.
Seperti saat tokoh wanita membentur tembok dan tidak bisa melangkah mundur karena tokoh pria terus semakin mendekati tokoh wanita.
"Bagus kalo gitu, gue jadi lebih merasa tertarik untuk membuat permainan baru," ujarnya sambil menyeringai kepadaku.
Ingin sekali aku mencakar wajahnya itu. Tapi sayangnya, kemarin kuku-kukuku baru saja aku potong. Dan sekarang, aku menyesalinya.
"Bagaimana, apakah kamu tertarik?" tawarnya.
Tentu saja aku menolak, bernegosiasi dengannya hanya akan membuat rugi pihak lain.
~tbc~
©260420 tanialsyifa
Note Thank's for reading~
Revisi : 18/10/20
.
.
Terimakasih karena telah membaca cerita Bye-bye, Black!💚
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa klik 🌟 di sudut dan komentarnya ditunggu ya😂
.
.
Salam hangat,
Fe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top