BBB [18]

Sorry for typo
~Happy reading~

Ternyata apa yang dibicarakan Arusha memang benar adanya. Setelah persiapan singkat yang kami lakukan, kami telah sampai di Citatah, Bandung, siang tadi. Cuaca kota Kembang saat kami datang sedang kelabu, tapi tidak menunjukkan tanda-tanda hendak hujan.

Hani sudah merengek ke seratus kali padaku, jika aku salah hitung. Karena sunscreen dengan SPF dan VA yang tingginya, tertinggal di Batujajar. Apalagi kami datang ke sini menggunakan kendaraan yang sama dengan kendaraan para perwira lainnya. Sehingga mobil Ferarri milik Hani tertinggal— dengan sengaja—di Batujajar.

"Huaaa, Mbak. Ini gimana dong? Kalo kulit aku nanti mengelupas atau kering gimana!" rengek Hani seperti anak kecil. Bahkan aku pastikan, bahwa Elin saja tidak akan rempong seperti Hani. Ras pemilik kulit terang memang serumit itu, ya menjaga kulitnya. Positif thinking saja, mungkin itu cara mereka mensyukuri pemberian dari Maha Kuasa.

Aku masih dalam keadaan sabar saat mendengarkan keluh kesahnya atas ketertinggalan benda yang katanya wajib dia bawa kemana-mana.

Hani mengorek-ngorek ranselnya kembali. "Tetep gak ada .... Huaaaa, nanti kalau kulit aku hitam, bagaimana, Mbak? Anter yuk ke Mas Arusha supaya kita kembali dulu ke Batujajar," bujuknya.

Aku tetap menggeleng. "Tidak Hani, sudahlah. Kau bisa membelinya lagi nanti, atau untuk saat ini ... tolong tidak boleh merepotkan Arusha," ujarku tanpa ada embel-embelan Kapten ataupun panggilan Mas untuk Arusha. Aku rasa kami sepantaran sih.

"Tapi, Mbak. Aku takut kulitku hitam dan kurang nutrisinya tahuuu, Huaaaa... Mbak, mana tahu galaunya aku kalau kulitku lebih gelap," rengeknya lagi.

Kali ini ada kalimatnya yang menohok perasaanku. Aku tersenyum kecut pada Hani. Aku sudah berniat meninggalkannya saat ini juga. "Sudahlah, Hani ... terserah kau saja."

Saat aku meninggalkan Hani yang masih merengek-rengek ingin kembali dan berusaha mencari Arusha atau siapapun yang sudah dia kenal, aku sudah tidak peduli lagi. Ada sudut dihatiku yang terluka oleh kalimatnya.

Emangnya dia siapa sih sampai bisa berbicara seperti itu?

Aku menyeka sudut mataku yang sedikit berair. "Aku tak boleh menangis!" Aku terus mengsugestikan diri dan terus berusaha untuk tetap tegar. Aku melangkah menjauhi kerumunan tadi, hingga akhirnya aku sampai di sebuah sungai. Airnya sangat jernih.

Aku duduk di salah satu batu di sana. Pohon-pohon rindang di sekitar sini, membuat udara di sekitar terasa sejuk. "Ah, leganya." Aku menghirup udara segar di sini sebanyak yang aku bisa, walaupun sudah menjelang malam.

Suara binatang khas hutan yang saling bersahutan membuatku tidak merasa terganggu sama sekali. Aku masih asik bermain air sungai, sendirian. Berusaha melupakan rasa sakit yang—entah di sengaja atau tidak—diucapkan oleh Hani.

"Naura?"

Suara bariton itu membuatku otomatis menoleh pada sumber suara. Wajah terkejutku tak mampu aku sembunyikan saat dia datang dan duduk di sebelahku. Mengikutiku yang sedang duduk berselonjoran.

"Saya kira kamu kemana, tahunya di sini. Untung dekat dan kamu tidak ke sasar. Saya takut kamu kenapa-napa lagi," ucapnya lagi.

Aku masih diam. Berusaha mencerna penjelasannya. "Memangnya kalau aku kenapa-napa, bagaimana?"

Arusha tampak terkejut dengan ucapan randomku tapi dia tetap menjawab, "Saya pasti akan kena tegur Mayjen, Naura!"

Ah, iya. Aku baru ingat kalau Arusha mempunyai tanggung jawab berat atasku karena amanat dari Ayah.  Kalau

Aku kembali termenung, seperti melupakan kehadiran Arusha di sampingku.

"Kenapa kamu selalu terlihat bersedih?" tanyanya.

Aku kembali tersadarkan, lalu mengerjapkan mata dan meliriknya. "Karena punya beban?" ucapku tak yakin.

Arusha melihat ke arah air sungai yang mengalir sambil membawa sebagian patahan dari ranting-ranting pohon. "Saya tadi dengar pertengkaranmu dengan Hani," tuturnya.

Aku menatap Arusha. Sangat terkejut dengan penuturannya yang satu ini. Kok, bisa! Tapi yang keluar dari mulutku, sangatlah berbeda. "Oh ...."

Lalu terjadi hening di antara kami. Aku sendiri malas untuk berbicara padanya. Apalagi ketika dia kembali menyinggung kata Hani dan itu mengingatkanku akan luka pada di hatiku yang baru saja Hani torehkan, walaupun tidak sengaja sekalipun.

Aku mendengar suara napas Arusha yang sedikit kencang, entah kenapa, aku malah meliriknya. "Kalau kamu mendengar ucapannya dari satu sisi, mungkin kamu bisa salah paham. Entah saya mengerti atas perasaan kamu atau tidak, tapi saya punya saudara yang sangat mirip denganmu," ujar Arusha tiba-tiba.

Aku sedikit tertarik dengan pembicaraannya kali ini. Dengan menurunkan sedikit gengsi, aku bertanya, "Lalu bagaimana ceritanya?"

Arusha terlihat menerawang ke arah langit. "Dia sama sepertimu, sangat mirip malah. Saya saja sampai pangling waktu melihat kamu," kata Arusha sambil melihat padaku.

"Dari tingkah hingga fisik pun, kalian sama. Hanya satu yang berbeda."

"Fisik? Maksudmu tinggi badan? Warna kulit? Atau berat badan? Karena wanita paling sensitif kalau ditanya tentang itu."

Arusha menampilkan lesung pipinya kembali. Aku semakin gemas, rasanya kempotnya itu semakin dalam saja.

"Semuanya, Naura. Semuanya."

Aku tertegun sejenak.

Pandangan Arusha tiba-tiba menjadi sendu. Binar matanya menunjukkan kerinduan dan kesedihan yang mendalam. Aku tak tahu bagaimana perasaan Arusha saat ini, tapi melihatnya dalam keadaan seperti ini, aku merasa ikut lebih sedih.

"Tapi yang membedakan itu ... kamu masih dapat menghirup udara bebas di sini, dan dia sudah berada di alam yang berbeda dengan kita," terang Arusha.

Penjelasannya membuatku sedikit bersalah padanya. Aku tidak bermaksud menyinggung tentang ini, pasti sangat sulit baginya. Apalagi harus bercerita pada orang sepertiku.

"Maaf .... aku tak bermaksud menyinggung," cicitku sambil menundukkan kepala. Memilin kedua tanganku.

"Hey .... jangan merasa bersalah." Arusha membuatku mendongakkan kepala agar wajah kami dapat bertatapan kembali.

Masih dengan jari tangannya yang berada di daguku, dia berujar, "Saya sengaja berbicara seperti ini supaya saya tidak menyesal nantinya."

Aku melihat Arusha tepat pada manik matanya yang hitam kelam. Memabukkan sekaligus membuatku terbius dan terlena saat melihatnya yang hanya tertuju padaku. "Jika yang kamu tahu, pria akan menilai wanitanya hanya karena fisik, itu salah. Tidak semua pria akan bersikap demikian. Kami, akan selektif untuk memilih pendamping hidup. Jika fisik bisa diubah, maka yang saya butuhkan hanyalah hati yang baik," ucapnya tanpa jeda.

Saat aku ingin menyela, dia kembali berbicara, "Sebab kecantikan hati yang sesungguhnya lah yang membuat wanita itu semakin menarik di mata pria seperti saya."

Ingatkan aku untuk bernapas! Karena Arusha mengatakan itu tanpa ragu dan di depanku. Seolah kalimat itu memang tertuju padaku, APA BENAR?!!!

Selama Arusha mengatakan kalimat yang-entah-bagaimana bisa membuat aku kesulitan untuk mengambil napas. Jadi selama posisi kita berdekatan seperti ini, aku menahan napas. Baru lah, ketika Arusha memberi jarak di antara kita, aku bisa bernapas dengan lega.

"Sori," Arusha meringis. Dari tingkahnya juga, aku lihat Arusha salah tingkah kalau tidak salah. Karena Arusha langsung berdiri secara mendadak mengusap belakang lehernya.

Dalam hati, aku terhibur dengan sikapnya. Aku ikut berdiri di samping Arusha yang sudah berjalan agak menjauhiku.

"Ternyata dia bisa semenggemaskan ini kalau salting," batinku.

Saat aku sudah berjalan bersisian dengannya, Arusha menoleh sekilas lalu kembali tersenyum. "Mari pulang,  hari sudah mulai gelap."

Aku hanya mengangguk. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa semenjak perjalanan pulang menuju kamp, tangan Arusha terus menggandeng tanganku. Baru saat kami sampai di kamp tempatku beristirahat, Arusha melepaskan genggamannya. Dia menyusupkan tangannya pada saku celana.

Terbesit rasa kecewa dan kehilangan saat tangan Arusha terlepas menggenggam tanganku. Tapi aku mencoba menyembunyikan raut kecewaku. "Sekali lagi, terima kasih dan maaf ya," ujarku.

Arusha mengangguk. Tak selang beberapa lama, dia pamit padaku untuk melanjutkan tugasnya. Tapi sebelum benar-benar pergi, Arusha membuatku kesulitan bernapas lagi dengan tingkahnya yang mengusap kepalaku sambil tersenyum, kembali memamerkan lesung pipinya yang selalu membuatku iri pada pesonanya.

"Istirahat ya, saya tahu ini pasti berat untuk kamu. Tapi saya juga yakin, bahwa kamu pasti kuat menghadapinya. Jangan sungkan bercerita pada saya. Saya pamit dulu, Naura."

Lalu setelahnya, Arusha menghilang dari pandanganku. Tapi sama sekali tidak menghilangkan perasaan yang menyenangkan dalam dada.

~tbc~
©06082020

Revisi : 29/10/20

Terimakasih telah membaca
Bye-bye, black!💚
.
.
.
Jangan lupa partisipasi kalian dengan mengklik tanda 🌟 di sudut ya😂
.
.
Salam hangat,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top