BBB [17]

Sorry for typo
~Happy reading~

Insiden yang tidak sengaja membuat telinga kiriku terluka, terjadi beberapa bulan yang lalu. Kini kami sudah terbiasa dengan didikan keras dari para pelatih kepada calon anggota Kopassus. Aku dan Hani juga saling bergantian menulis ataupun sekedar merekam kegiatan mereka dari jarak yang aman. Tentu saja Arusha—penanggung jawab kami— terus saja mewanti-wanti kami agar tetap berada dalam jarak aman. Tidak ceroboh seperti kejadian yang tempo lalu.

Dia menghinaku secara tidak langsung. Sungguh, Aku sangat kesal padanya!

Aku melihat ke arah lapangan, di mana para taruna sedang mendapatkan siksaan oleh para pelatih mereka. Sangat kejam. Tapi waktu itu Arusha pernah bilang, "Itu adalah salah satu mendidik mental mereka agar tidak lemah. Bukannya memiliki fisik yang bugar saja, tapi juga memiliki mental sekuat baja."

"TIARAAAP!" teriak Arusha dengan lantang.

Para taruna lain pun langsung mengikuti perintahnya. Awalnya mereka sedang latihan lari, tapi seperkian detik setelah seruan dari Arusha, mete langsung memposisikan diri untuk tiarap. Belum selesai dengan posisi tiarap, aba-aba lain datang mengintruksi.

"BERDIRIII!" Teriakan lantang yang berasal dari Anza yang menyahuti mereka.

Aku melihat sambil menyipitkan mata, Arusha yang sekarang aku lihat, kelihatan lebih sangar dari biasanya. Tatapannya setajam elang, seolah bisa menerkam mangsanya melalui tatapannya itu. Beberapa saat aku terpaku melihatnya.

Arusha kembali berteriak. "FOKUS! INGAT, KOMANDO KALIAN ADA DI SIAPA!!!" bentaknya pada para taruna yang mengikuti instruksi dari Anza.

"TIARAP LAGIII!" Titahnya.

Belum cukup dengan badan yang menyentuh tanah, mereka kembali di suruh untuk berdiri.

Menyebalkan.

Aku berdecak kesal, hingga membuat perhatian Hani teralihkan padaku. "Kenapa, Mbak?" tanyanya.

"Itu tuh, nyebelin banget. Udah di suruh berdiri, eh langsung di suruh tiarap. Belum selesai tiarap, malah di suruh berdiri. Kesel aku jadinya!" ucapku menggebu-gebu.

Hani yang duduk di sebelahku, terkekeh geli. "Ya emang udah gitu kali, Mbak. Lagian para Pelatih gak sembarangan ngasih titah kalo gak ada peraturannya sih," respon Hani.

Aku menyetujui ucapannya, lalu kembali berujar, "Iya juga sih, malah kata Ayahku, para pelatih Komando ini telah lulus seleksi dan pendidikan Komando, jadi mereka itu udah punya pengalaman di Satuan Operasional dan di daerah operasi, serta sudah mengikuti Kursus Pelatih (Sustih) Komando. Jadi mereka tahu betul bagaimana cara latihan Komando," jelasku panjang lebar.

Aku menghela napas dengan panjang. "Tapi tetep aja, meskipun aku udah tahu teori tentang latihan ini, melihatnya secara langsung seperti ini, membuatku kesal tahu," omelku lagi.

"Mbak mah aneh, udah tahu kok masih tetep kesel," cibir Hani yang aku anggap guyonan semata.

Setelah selesai dengan latihan, hingga menjelang malam. Akhirnya aku bisa kembali berinteraksi lagi dengan Arusha.

Hani sudah pamit untuk mewawancarai Kapten Alvin—lagi. Aku rasa dia tidak punya rasa kapok dalam hidupnya.

"Gimana?" tanya Arusha.

Pertanyaan Arusha cukup ambigu, hingga membuatku tak mengerti maksud pertanyaannya. "Apanya yang gimana?" tanyaku balik.

Arusha masih menggunakan pakaian loreng—yang entah sudah pakaian yang ke berapa—menoleh sekilas padaku. "Pengalamanmu di sini."

Aku manggut-manggut paham atas maksud dari pertanyaannya. "Nggg .... biasa aja sih," ucapku tenang.

Aku lihat Arusha tampaknya terkejut dengan ucapanku, terlihat dari mata minimnya yang melotot padaku dan  badannya sudah seratus delapan puluh derajat menoleh sepenuhnya padaku.

"Kenapa emangnya?" ulangku.

"Seriusan biasa aja? Gak berkesan gitu?"

Aku dibuat geli dengan reaksi terkejutnya yang sedikit lucu. Aku tertawa pelan. "Kalau bagian telinga yang hampir putus karena terkena peluru salah sasaran, I mean, this is amazing!" ucapku dengan setengah girang.


"Kamu wanita aneh kalau gitu."

Dari nadanya saja, aku tahu bahwa Arusha sedang kesal, atau setidaknya pura-pura marah padaku. Padahal aku hanya berniat menggodanya saja. Kejadian itu sudah benar-benar aku anggap sebagai salah satu pengalamanku. Walaupun masih membekas dalam ingatan.

"Jika itu memang benar, aku tidak bisa mengelak." Aku mengangkat tanganku ke udara. Sebagai tanda menyerah.

Kami tertawa bersama, bahkan angin dingin yang menembus kulit pun, aku hiraukan.

Oh, ngomong-ngomong soal kulit, aku jadi semakin berbangga diri. Karena dengan banyaknya aktivitas di lapangan, membuat kulit pucat Arusha menjadi lebih kecoklatan.

1-0 untuk aku dan Arusha. Hebatnya lagi, saat berada di sini, aku tidak minder dengan warna kulitku. Bahkan aku lihat, ada taruna yang punya kulit lebih gelap lagi. Menjurus ke hitam malahan. Mungkin dia berasal dari daerah Indonesia paling timur. Tapi melihatnya yang selalu bersemangat saat mengikuti pelatihan, membuatku merasa iri karena semangat yang dimilikinya.

Selain itu, aku bersyukur karena di sini, aku bukan hanya diperlakukan sebagai tamu saja. Meskipun aku tahu, jika mereka pasti mengetahui identitasku, mereka tetap tegas kepadaku dan Hani. Seperti menerapkan peraturan larangan saat kami diperbolehkan hanya menggunakan alat komunikasi di saat tertentu saja.

Bahkan kami pun dilarang untuk menghubungi ataupun memposting apapun yang berkaitan dengan pendidikan ini ke media sosial. Sangat ketat!

Ancamannya pun tak main-main, apalagi jika harus berurusan dengan Ayahku. Aku angkat tangan saja lah.

"Kamu harus lebih hati-hati dari sekarang," ucap Arusha tiba-tiba.

Aku masih diam, membiarkan Arusha mengucapkan kalimatnya. "Karena mulai besok, kita bakalan pindah dari sini."

Keningku yang  awalnya datar, kini bergelombang karena tidak paham maksudnya. "Pergi ke mana?"

Sebelum menjawab, Arusha sepertinya menyembunyikan sesuatu. Dia malah tersenyum sekilas padaku, tapi efeknya SANGAT LUAR BIASA bagi jantungku.

"Kita akan ke Citatah, buat melaksanakan ujian tahap kedua."

Malamnya berlalu seperti malam-malam sebelumnya. Arusha pergi saat memastikan aku sudah terlelap di tenda. Tapi satu hal yang tidak Arusha ketahui, aku yang saat itu semakin tidak mengerti dengan tindakan dari Arusha, terus saja memikirkan laki-laki berlesung pipi itu hingga Arusha datang dalam mimpiku.

"Emangnya ada berapa tahap gitu?" tanyaku penasaran.

Aku kira Arusha akan menjelaskannya kepadaku, meskipun singkat seperti biasanya. Karena Arusha membuka mulutnya, tapi dia malah mengantupkan bibirnya lalu mengedipkan matanya.

"Lihat saja nanti," ucapnya dengan enteng.

Dia berdiri dari duduknya, merogoh sesuatu dari sakunya lalu menunjukkannya padaku.

Sebuah bravet komando. Aku menerimanya dengan kening yang semakin berlipat. "Ini punya siapa? Kenapa kamu kasih ke aku?"

Arusha ternyata memang cukup misterius, karena dia hanya mengatakan kalimat sepenggal saja dan membuatku semakin bertanya-tanya.

"Saya titipkan ini, tolong jaga baik-baik." Arusha pergi dari hadapanku setelah memberikanku hadiah—memberantakan rambutku.

Aku memegangi kedua pipiku yang terasa memanas. "Sial, kenapa ambyar sih!" Aku menggenggam erat brevet komando yang diberikan oleh Arusha.

~tbc~
©06 Agustus 2020
Revisi : 23/10/20
.
.
.
Terima kasih telah membaca
Bye-bye, Black!💚
.
.
Jangan lupa klik 🌟 ya teman-teman 😜
.
Salam hangat,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top