BBB [16]
Sorry for typo
~Happy reading~
Pertanyaan yang aku lontarkan hanya dijawab oleh angin semata. Sebab Kapten Alvin mendapatkan panggilan dari temannya untuk segera memulai pelatihan dasar teknik menembak. Kami mengikuti Kapten Alvin karena penasaran dengan latihan menembak yang dimaksud, sampai-sampai aku dan Hani dipersilahkan berdiri di pinggiran tempat latihan menembak. Tak jauh dari sana, terdengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Aku dan Hani spontan saling menutup kuping kami masing-masing.
"Duh, keras banget suaranya kalau di dekat sini, Mbak. Bagaimana jika kita menepi di dekat moshola saja?" ajak Hani dengan suara yang agak lantang.
Aku mengangguk setuju. Kami berjalan beriringan menuju ke pelataran mushola. Ada Arusha yang wajahnya masih basah oleh bekas air wudhu, baru saja keluar dari mushola.
"Masyaa Allah ...." gumamku tanpa sadar, terpana oleh wajah Arusha yang tiba-tiba seperti bersinar saja, padahal di sini sedang panas terik-teriknya.
Hani yang mendengar celotehanku, langsung menoleh kepada objek yang sekarang ini sedang berjalan menuju kami. Aku segera memalingkan muka.
"Mas Arusha, kok bisa ganteng banget sih, aku jadi kagum," ucap Hani yang mampu aku dengar.
Gila, parah! Spontan banget itu mulut, lemeees... Aku melihat Arusha yang tertawa pelan, mengacak-acak rambut Hani dan memberikan senyum manisnya. "Lain kali jangan bilang gitu, Hani," ucapnya dengan lembut.
Aku mencibir dalam hati. Emang ya, laki-laki itu kalau udah tahu yang bening aja, kelakukannya jadi beda.
Giliran ke aku aja nano-nano, giliran ke golongan kaum terang mah adem banget, cih!
"Ish! Jangan diberantakin, Mas! Tadi aku udah capek-capek benerinnya tahu," omel Hani pada Arusha.
Aku mendadak jadi penonton yang menyaksikan kedekatan mereka. Tiba-tiba saja suasana di sini membuatku gerah. Aku berdiri dan membuat dua sejoli itu menoleh padaku bersamaan. "Apa?" tanyaku galak.
Arusha menggeleng, lalu memakai sepatu PDL-nya. Hani kembali sibuk menuliskan sesuatu pada note kecil yang selalu dibawanya.
Karena tidak mendapatkan respon dari kedua orang itu, aku memilih untuk mendekati Kapten Anza yang sedang mengawasi para taruna di samping Kapten Alvin yang sedang memberikan instruksi agar para taruna membidikkan senapannya pada sasaran yang ditunjuk.
TUUSSS
Aku terlonjak kaget saat sebuah peluru melewati wajahku dan sedikit menggores telingaku, hanya sedikit. Tapi aku masih membeku di tempat. Bahkan aku merasa detak jantung yang berpacu tiga kali lipat dan aku pun kesulitan bernapas.
Aku masih sempat mendengar Kapten Alvin yang menegur taruna yang pelurunya meleset padaku. "KAMU AKAN MEMBUNUH ORANG LAIN, HUH!"
"LATIHAN YANG BENAR! ANZA, BANTU NAURA!" titahnya dengan lantang. Dari kejauhan, aku masih dapat melihat bahwa Kapten Alvin memukul keras punggung taruna tadi dan membuatnya terjerembap. Aku meringis ngilu. Entah karena masih syok atau karena ngeri saat melihat tindakan yang dilakukan oleh Kapten Alvin pada taruna itu.
"NAURA, KAMU DENGAR SAYA!" Suara dari Anza hanya berdengung ditelingaku.
Aku masih dapat menoleh padanya, wajahnya sangat kentara cemas. Aku ingin sekali tersenyum melihatnya, tapi wajahku mendadak sulit digerakkan, kaku.
Aku juga dapat melihat pakaian kemejaku yang awalnya berwarna coklat susu, pada bahu kiri terlihat ada bercak darah yang mengotorinya. "Ah, darah ya...." gumamku pelan, sebelah tanganku menyentuh darah segar yang masih mengalir.
Di lihatnya telapak tanganku yang sudah terlumuri darah, tanganku langsung bergetar seiring kepalaku yang merasa pening. Rasanya dunia ini sedang berputar-putar saja.
Saat kesadaranku mulai menipis, aku tahu bahwa Anza mengendongku menuju suatu tempat, tapi sempat terhenti karena pekikan kaget dari Hani dan suara bass yang aku kenali adalah suara dari Arusha.
"YA AMPUN, MBAK NAURA! MBAK NAURA GAK KENAPA-NAPA, KAN? MBAK, BISA DENGAR HANI?"
Andai tidak dalam kondisi lemah seperti ini, akan aku pastikan untuk menyumpal mulut Hani dengan kaos kaki salah satu taruna di sini. Cerewet banget!
"Sini, Za. Biar saya saja," ujar Arusha.
Aku masih mendengar suara napas Anza yang belum teratur, mungkin karena aku yang terlalu berat kali ya?
Anza menolak usulan Arusha, walaupun Arusha sudah menjelaskan bahwa dirinya adalah penanggung jawab atas keadaanku.
Aku tidak tahu kapan perdebatan itu selesai, karena baru sekarang ini aku dapat merasakan perih yang menjalari ke seluruh tubuhku.
Aku mengerang tak nyaman, membuat langkah orang yang menggendongku jadi dipercepat, sangat peka.
Katanya aku pingsan selama sepuluh menit dan tiga jam sisanya adalah tertidur pulas. Padahal tidak memakai bius ataupun alat pengurang rasa sakit. Aku jadi malu, saat terbangun dan sudah berada di Pusat Kesehatan Pusdiklatpassus.
"Terima kasih, Mbak," ujarku, pada seorang perawat perempuan yang kata Hani menolongku.
Aku membungkukkan sedikit badanku, dibantu oleh Hani yang memapahku menuju tenda kami. "Kalau Mbak mau istirahat, mendingan di sini aja. Gak apa-apa kalau aku sendiri di tenda juga," saran Hani yang sudah aku tolak untuk kedua kalinya.
Aku sedikit menggeram, rasa sakitnya belum sepenuhnya hilang, tapi Hani masih saja mengoceh. Aku kesal jadinya. "Sudahlah Hani, lagian aku sudah cukup sehat sekarang. Kamu saja yang terlalu berlebihan karena memapahku seperti ini," keluhku.
Bukannya merasa bersalah, Hani malah memilih duduk karena dia khawatir aku terlalu capek berjalan dan gengsi untuk mengakuinya, pede sekali dia! Tapi tidak sepenuhnya salah, sih.
Hani dan aku duduk di teras sambil melihat para taruna yang lagi-lagi kena teguran oleh para pelatihnya. Bahkan hanya karena kesalahan sedikit pun, mereka dihukum dengan hukuman yang berat. Aku ngeri sendiri lihatnya.
"Mbak, tentara emang pada keras gitu ya? Kita aja yang tamu di sini masih kadang menerima kelakuan layaknya tentara."
Aku menyetujuinya, bahkan beberapa kali kami kena tegur oleh para pelatih. Katanya kami di sini bukan hanya berdiam sebagai tamu saja, tapi katanya kami juga harus mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik saat tinggal di sini.
Saat kami sedang berbincang, Arusha dan Anza menghampiri kami.
"Bagaimana kondisimu?"
"Kamu baik-baik saja?"
Aku menengok pada Hani yang malah terbengong. Dua pertanyaan yang terlontar dari dua orang yang berbeda.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala saja. Hani mencolek lenganku dan membisikan kalimat yang sangat ganjil menurutku. "Aku rasa, mereka perhatian sama, Mbak."
Aku mengedikkan bahu. Tidak mau berpikiran yang berat-berat dulu. Apalagi soal percintaan. Aku hanya membiarkan Hani dan dua orang yang menghampiri kami—Arusha dan Anza—terlibat perbincangan yang mampu membuatku tersenyum samar kala mendengarnya.
Tapi meskipun aku tidak mengamati wajah mereka satu persatu, aku dapat merasakan beberapa pasang mata melirik diam-diam ke arahku. Awalnya aku mencoba bersikap biasa saja, seolah hal itu tidak menggangguku sama sekali. Namun tidak bisa, aku menoleh pada salah satu orang yang ternyata aku tangkap basah sedang memerhatikan dengan lamat-lamat. Aku terdiam sejenak, matanya seolah-olah menembus ke dalam mataku untuk dia telusuri lebih jauh perihal perasaanku. Dan aku paling tidak suka dengan keadaan seperti ini!
~tbc~
©06 Agustus 2020
Revisi : 23/10/20
.
.
.
Terima kasih telah membaca
Bye-bye, Black!💚
.
.
Jangan lupa klik 🌟 ramaikan kolom komentar dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya😂
.
Salam hangat,
Fe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top