BBB [15]

Sorry for typo
~Happy reading~

Meskipun aku merupakan anak dari seorang Mayjen, pengetahuanku tentang tentara memang sangat minim, tapi aku gak bodoh-bodoh amat ya!

Aku lebih suka menghabiskan waktuku untuk belajar dan juga menghindari topik tentang tentara—karena dulu—sebelum aku dekat dengan Ayah, aku sangat tidak menyukai tentara. Bagiku, tentara hanya membuatku dan Ayah menjadi menjauh.

Ayah jarang sekali pulang. Sekalinya pulang pun masih suka berpergian mendadak, jika mendengar suara panggilan dari atasannya. Itu juga hal yang membuatku membenci ponsel Ayah. Bahkan waktu itu, aku sempat menyembunyikan ponsel Ayah di berbagai tempat. Karena pengetahuanku tentang teknologi, masih sedikit, jadi aku belum tahu bagaimana cara menghilangkan bunyi-bunyian ketika ponsel Ayah berdering.

Lagi-lagi ponsel yang aku sembunyikan dapat ditemukan oleh Ayah. Karena kesal, aku akhirnya menekan sembarangan tombol yang ada, hingga membuat ponselnya mati (read non-aktif). Karena merasa berhasil, aku tersenyum bangga atas pencapaianku dan kembali menyembunyikan ponsel Ayah.

Ternyata aku salah langkah lagi. Ponsel yang aku sembunyikan di bawah bantal, akhirnya dapat Ayah temukan lagi. Aku tersenyum kecut. Dulu, aku sama sekali belum terpikirkan mengenai Ayah yang begitu hebat dalam mengetahui segala tempat yang telah aku siapkan untuk menyembunyikan ponselnya.

Saat ini, aku tahu bahwa salah satu tugas dari tentara adalah sebagai intelegensi. Bakat-bakat seperti Detektif Conan yang komik-komiknya sering aku baca—walaupun dulu aku sering kali kesulitan membaca komik—bingung baca awalnya dari mana, bagian mana dulu, dan untung saja bodohnya aku gak bertahan lama kok.

Dulu, Ayah pernah bercerita kepadaku tentang Kopassus. Jadi gini ujaran beliau, "Kopassus merupakan bagian dari Komando Utama tempur yang dimiliki TNI Angkatan Darat," kata Ayah saat aku tanyai tentang apa arti  kopassus itu? Karena aku baru pertama kali mendengar kata itu, adalah pertanyaan anak gadis berusia dua belas tahun.

Ayah juga kembali menegaskan kepadaku bahwasanya, "Anggota Kopassus memiliki kualifikasi kemampuan khusus. Antara lain bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian dan anti-teror." Meskipun dulu aku belum sepenuhnya paham, tapi aku menganggukkan kepalaku saja. Sampai kepalaku terasa pusing—pusing karena gak paham-paham— penjelasan yang Ayah berikan. Terlalu banyak kata asing yang aku dengar.

Tapi semenjak aku dewasa, aku sedikit kurangnya paham. Gak terlalu bodoh kaya jaman jahiliah-ku dulu. Dan yang paling aku rasakan saat ini adalah ketika aku menanyakan, "Kenapa Ayah harus ikutan jadi Kopassus sih? Kenapa gak ikut bantu-bantu Bude aja buka Koperasi daripada Kops-kops itulah," pernyataan konyol memang. Wajar saja, usiaku masih dua belas tahun lebih tiga bulan kala menanyakan pekerjaan Ayah.

Masih aku ingat sampai sekarang, jawaban Ayah yang disertai senyuman hangatnya. "Nak, menjadi anggota Kopassus itu, merupakan kebanggaan setiap prajurit TNI AD. Pasalnya, untuk bergabung pasukan elite TNI AD itu bukan perkara mudah."

Aku tahu itu dan semakin yakin bahwa menjadi anggota Kopassus itu tidak mudah itu, ya ... sekarang! Kerasa banget, mau pulang, gak dibolehin. Tapi selalu aja dibentak-bentak di suruh pulang, giliran pulang beneran, malah diolok-olok, mungkin. Lagipula tugasku di sini hanya untuk mengawal anak kecil berusia tujuh belas tahunan belum sepenuhnya selesai.

Bisa-bisa selain di usir dari kantor, aku juga kemungkinan besar akan diomelin habis-habisan oleh Ayah, jika tidak menjaga Hani seperti yang diamanatkan itu. Hilih, sorry, ya ....

Aku kadang menyelingi hari-hariku dengan bertanya-tanya pada para taruna di sini bersama dengan Hani tentunya. Lama-lama dia ini seperti ekorku saja. Terus membuntutiku. Padahal sudah aku omelin terus-menerus.

"Hani, kita bagi-bagi tugas saja. Kamu jangan ikutan ngintilin aku terus. Nanti riset ini gak selesai-selesai lho," ucapku memberinya pengertian.

Hani malah mengerucutkan bibirnya, emang lucu apa?! Walaupun lucu juga, gue gak bakalan tertarik kali!

Aku tahu, keluarga Hani memang sangat menyayanginya secara berlebihan. Kasarnya itu, dia lebih manja daripada aku, woy!

"Nanti kalau aku tersesat gimana, Mbak?" pertanyaan retoris yang menguji iman kesabaran kita.

"Kan ada google maps, Sayang. Opsi lainnya, bisa kan, kamu menghubungi saya?"

Walaupun terbesit rasa bersalah karena kalimatku terdengar seperti pengusiran secara halus, namun
sudahlah. Biarkan saja untuk terbiasa hidup mandiri, seperti yang diamanatkan oleh Ayah : mendidik Hani agar tidak menjadi perempuan manja.

"Di sini, kan, sulit sinyal lho, Mbak," cicitnya.

Aku langsung menepuk jidatku sendiri. Oh, emjiii! Kenapa gue bisa lupa fakta itu sih!

Stay cool. Aku berdehem, walaupun itu tidak membuat rona merah pada pipiku yang kecoklatan ini tersembunyikan. Masih terlihat, walaupun samar-samar.

Di sini juga letak keberuntungan memiliki warna kulit yang sedikit gelap. Ketika wajahmu memerah karena malu atau tersipu, rona merahnya tak akan terlalu kentara sehingga membuatmu tidak terlalu khawatir.

"Ya sudahlah, mari kita lanjutkan wawancara singkat ini. Kita tak punya banyak waktu," ajakku, sekaligus mengalihkan topik pembicaraan.

Tema wawancara yang kini kami ambil adalah 'Kemampuan Standar Bagi Calon Anggota Kopassus' dengan narasumber kami yang ketiga, Kapten Alvin.

Wajahnya memang terlihat sangar, ditambah dengan tatapan tajamnya seolah-olah dapat membunuh lawan bicaranya saja. Kulit gelapnya—tentu saja beda tingkatan denganku, diibaratkan aku berada di level dua dan dia berada di level dewa!—tapi justru itulah membuatnya terlihat mempesona, menurut cerita Hani padaku.

"Laki-laki eksotis," pikirku.

Hani yang usianya berada jauh di bawahku dan sedang mengalami sindrom merah jambu karena lelaki eksotis itu, membuatnya sangat gugup dan segan untuk mewawancarai Kapten Alvin. Aku menghandlenya perannya sebagai juru bicara.

Dasar gadis, aku kutuk kau menjadi batu!

Ah, seandainya aku sudah diperbolehkan untuk mengutuk seseorang, sudah aku pastikan Hani lah yang menjadi sasaran pertamaku.

Hani memang sudah menjadi batu, bahkan sebelum aku kutuk dia dalam hati. Karena Hani yang diam saja, akhirnya aku juga yang melontarkan pertanyaan inti setelah melakukan pemanasan dengan berbicara ringan alias basa-basi ala kadarnya.

Karena tatapannya Kapten Alvin memang serem banget, aku sangat ingin mengakhiri wawancara ini secepatnya!

"Kapten Alvin, mohon maaf sebelumnya, boleh tolong jelaskan  pada kami, kiranya kemampuan standar apa yang harus dipenuhi oleh para calon anggota Kopasus ini?" Aku bersiap merekam perkataan Kapten Alvin karena Hani sama sekali tidak membantuku, masih dalam keadaan terpesona oleh sosok laki-laki dihadapannya.

"Baik terima kasih. Singkatnya, syarat standar bagi calon anggota Kopassus adalah kemampuan berlari hingga 2,4 kilometer dalam waktu 12 menit, 40 kali push up dalam semenit serta tidak takut ketinggian," tutur Kapten Alvin secara singkat padat dan jelas.

Oke, cukup!

Penjelasan itu membuat jantungku lari maraton karena ucapannya yang sangat terkejut. Bagaimana tidak? Standar miminalnya saja, belum tentu bisa aku lakukan untuk bertahan hidup selama masa pendidikan. Untung saja aku tidak menjadi salah satu taruna di sini.

"Terima kasih Kapten Alvin atas jawabannya, maaf mengganggu waktu Anda," ujarku sambil sedikit membungkukkan badan, tanda hormat.

Tiba-tiba suara Hani yang terdengar seperti cicitan tikus pun menyahut, "Pak, eh Kapten A–Alvin, bisakah Anda je–jelaskan sedikit... tentang pelatihan pertama pada kamp di sini?"

Kapten Alvin menganggukkan kepalanya, lalu menjawab, "Baik, di sini, calon prajurit Komando dilatih keterampilan dasar seperti menembak, teknik dan taktik tempur, operasi raid, perebutan cepat, serangan unit komando, navigasi darat dan berbagai keterampilan lainnya. Seperti yang kalian lihat sekarang ini."

Kapten Alvin menunjukkan pada sekumpulan taruna yang sedang dilatih oleh lima orang pelatih yang sama-sama memiliki ketegasan. Anza juga ada di antara mereka.

"Mereka sekarang sedang dilatih untuk menembak agar pada tahap selanjutnya, mereka dapat memanfaatkan kemampuan mereka tersebut," lanjut Kapten Alvin.

"Lalu, apabila mereka mati saat pelatihan bagaimana?"

Pertanyaan sensitif dari bibirku meluncur halus layaknya naik perosotan yang licin. Bukannya logis, kan, apabila terjadi kecelakaan berupa tewasnya salah satu peserta di saat latihan seperti ini?

Air muka Kapten Alvin mendadak berubah suram. Garis bibirnya pun mendadak melengkung ke bawah. Alarm bawah sadarku memperingatkan bahwa ini adalah situasi yang berbahan.

Meydey meydey!!

Aku hanya bisa menggerutu dalam hati karena telah bertanya, pertanyaan yang mungkin saja menyinggungnya. Tapi jangan salahkan aku juga yang ingin mengetahui kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di saat pendidikan Kopassus ini. Karena setiap sebab, pasti memiliki akibat, kan?

~tbc~
©06 Agustus 2020
Revisi : 23/10/20
.
.
.
Terima kasih telah membaca
Bye-bye, Black!💚
.
.
Jangan lupa klik 🌟 tinggalkan komentar dan share cerita ini ya 🤗
.
Salam hangat,
Fe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top