BBB [13]
Sorry for typo
~Happy reading~
Mimpi yang dihindarinya akhirnya datang juga. Ketika Hani sudah berada di depan perumku dan mengatakan strateginya dengan semangat untuk meriset kegiatan para perwira yang sedang melaksanakan kamp pelatihan. Hal yang membuatku muak dengan tingkah Hani adalah sifatnya yang terlalu perfeksionis dalam segala hal. Apalagi tentang perlindungan kulitnya yang termasuk ke dalam ras kulit terang.
Aku jadi minder sendiri, diibaratkan kalau aku adalah malam yang gelap dan kelam sedangkan Hani adalah siang yang cerah dan bersinar terang. Hal itu sedikit menyentil hatiku, rasa iri atas kehalusan kulitnya yang sangat mulus dan warna kuning langsat yang sangat diidam-idamkan oleh kaum hawa sepertiku.
Pagi ini, kami sepakat—Hani memaksaku dan aku yang mengalah—menggunakan mobil Ferarri-nya yang berwarna hitam, sebagai transportasi kita ke Pusat Pendidikan Pelatihan Khusus Kopassus di Batujajar, Bandung, Jawa Barat.
Aku tidak tahu pasti, bagaimana kondisi Hani saat pertama kali kakinya menginjak pada gerbang utama Pusdiklatpassus, tapi yang aku rasakan adalah rasa gugup, jantungku berdetak kencang. Bukan tanpa alasan hingga membuatku sulit untuk menelan saliva sendiri, tapi karena suara teriakan tegas yang saling bersahutan, menggema.
Aku tahu dari cerita Ayah, bahwa katanya, pendidikan di sini adalah pendidikan yang menggembleng para Taruna hingga batas kemampuan manusia. Tapi mendengar ....
"CEPAT! JANGAN LELET!"
Suara tegas yang mampu aku artikan sebagai bentakan itu membuat para calon anggota kopassus berlarian menuju pusat suara.
Aku ngeri sendiri, padahal mereka sudah kepayahan berlari-lari sambil membawa sebuah ransel pada punggungnya—lengkap dengan baju loreng mereka—yang terlihat penuh dan berat itu. Tapi hal itu masih memancing ledakan suara orang yang berada di dekat microphone.
"DASAR MANJA! CEPATTT LARI!"
Teriakan itu seolah-seolah menamparku karena kami hanya berlari kecil menuju salah satu seseorang yang aku yakini menjadi pelatih di Pusdiklatpassus.
"PULANG SAJA KALIAN KALAU LARI SAJA LAMBAT!!!"
Rupanya teriakan itu masih saja berlaku—saat aku dan Hani—yang wajahnya sudah pucat, semakin pucat saja. Kami masih berusaha mencari keberadaan Arusha yang dikabarkan menjadi salah satu pelatih di sini.
Saat kami melewati gerbang utama, aku membaca sebuah slogan yang terpampang dengan gamblang dalam hati. "Anda Ragu-Ragu Kembali Sekarang Juga." Begitu bunyi slogan di gerbang utama Pusat Pendidikan Pasukan Khusus.
Kembali, aku menelan ludah susah payah. Tak lama kemudian, kami melihat barisan para taruna sudah rapi. Mereka terus saja diberitahukan untuk segera pulang jika tidak memiliki persiapan mental dan fisik yang kuat. Setelah ucapan selamat datang diucapkan oleh seseorang yang menggunakan topi baret merah, lengkap dengan brevet komando, dengan name tag yang bertuliskan 'Alvin Milan Pratistha' kalau tidak salah, karena mataku langsung buram saat melihatnya yang berdiri membelakangi matahari.
Kami masih mencari-cari Arusha sampai suara tendangan membuat perhatian kami teralihkan pada pelatih yang menendang salah satu anggota taruna.
BUGH
Tak hanya satu atau dua saja, suara mengerikan dari degam-degum itu membuat aku meringis ngilu, kala seorang berperawakan tegap menendang punggung beberapa taruna lainnya, hingga membuatnya terjungkal.
"LEMAHH!"
Teriakan laki-laki tersebut membuat Hani yang berada di sampingku memekik girang.
"Ya ampunnn, Mbak. Lihat deh, Mas-mas itu tegas, tapi ganteng bangettt deh!" Rengekannya membuatku muak. Aku memutar bola mata, sambil terus memperhatikan pria tegap yang menggunakan seragam yang sama dengan para pelatih lainnya.
Wajahnya belum terlalu jelas aku lihat, karena lagi-lagi sinar matahari, menghalau pandanganku. "BARU SEGITU SAJA KALIAN SUDAH LEMAH, BAGAIMANA JIKA NANTI!!" teriaknya kembali terdengar.
Pria lain yang berada di ujung lapangan ikut menyahut dengan lantang, "PULANG SELAGI BISA!"
Para taruna yang aku lihat, terdiam. Suara lainnya yang terdengar tak kalah tegas ikut menimpali, "INGAT BAIK-BAIK SLOGAN YANG KALIAN BACA! JIKA ANDA RAGU-RAGU KEMBALI SEKARANG JUGA!"
Rasanya kakiku sudah seperti jeli saja, meciut ketakutan. Aku memaki diri karena terlalu lemah pada suara bentakan nyaring seperti itu. Aku sampai merinding jika membayangkan mempunyai kekasih atau paling tidak pasangan hidup seperti salah satu pelatih di sini, membuatku menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Jangan mikir yang aneh-aneh, Naura!" gumamku pelan.
Selang beberapa lama, suara tegas yang lainnya terdengar dan membuyarkan lamunanku. "PULANG!"
"SIAP, TIDAK!" jawab para taruna dengan serempak.
"PULAAANG!" titah Komandan Alvin pada mereka. Aku sendiri merasa merinding mendengar suaranya.
"SIAP, TIDAK!"
"LATIHAN YANG BENAR!"
"SIAAAP!"
Lalu upacara pembukaan dilaksanakan di Lapangan Hitam Pusdikpassus. Upacara tersebut dipimpin oleh Komandan Pusdikpassus Kolonel Infanteri Arusha Alaric Z. — orang yang kami tunggu—ternyata bertindak sebagai Inspektur Upacara.
Aku mendengkus geli saat melihatnya yang terlihat begitu tegas dan karismatik saat berada di lapangan upacara. Aura ketegasan serta kepemimpinan tercerminkan lewat caranya melihat ke satu titik fokus dan berjalan dengan langkah pasti dan tegap.
Upacara berjalan khidmat, pelaksanaan upacara militer diiringi korps musik Kodam Siliwangi Jawa Barat. Aku melihat Ayah dari kejauhan yang berdiri sebagai pembina upacara—julukan yang aku ingat ketika sekolah dulu—saat seorang yang ditugaskan untuk memberikan amanat pada saat upacara.
Pada saat pembukaan latihan, aku melihat Ayah—Mayjen Husein— memberikan sebuah tanda penyematan bagi peserta latihan kepada perwakilan taruna dan pengucapan janji peserta di Lapangan Hitam Pusdiklatpassus Batujajar.
Dalam amanatnya terakhirnya, aku mendengar bahwa Ayah mengatakan hal yang membuatku ikut merasa bangga dan terharu karena telah menjadi putrinya.
"Hilangkan keraguan serta berkonsentrasi penuh selama menempuh pendidikan. Ikuti aturan yang berlaku, laksanakan setiap prosedur dan petunjuk pelatih, tanyakan apabila ada hal-hal yang belum jelas."
Saat upacara telah usai, kami dihampiri oleh seseorang yang bername tag 'Anza W. Ashwaghosh' aku sendiri berlepotan melafalkan ujung namanya, rasanya lidahku terbelit saja.
Hani yang masih terpana dengan ketampanan orang yang aku lihat seperti oppa-oppa Korea dengan kulit putih bersih serta hidung mancung dan bibir merahnya yang berisi itu hampir saja membuatku menggilainya.
"Ganteng banget ya, Mbak...." Suara Hani memang sangat pelan, tapi aku tahu bahwa suaranya cukup jelas untuk sampai ke telinga Anza-Anza ini.
Anza tersenyum canggung pada kami. "Mari Nona, saya antarkan ke kamp kalian," tuturnya begitu halus.
Padahal dua jam yang lalu, dia merupakan salah satu orang yang tadi sempat menyuruh para taruna untuk segera pulang. Tapi lihatlah, sekarang. Dia tampak begitu sopan sekali.
Oh, ya, jangan lupakan bagian di mana dia dengan sopannya menunjukkan kepada kami, cara bertahan di Pelatihan ini. Walaupun dengan nada tegas.
"Jangan sungkan bila ada hal yang ingin dipertanyakan."
Lalu Anza pergi meninggalkan kami. Aku pun langsung mengumpat karena banyaknya peraturan yang dia beberkan.
DASAR COWOK NYEBELIN!!! LAKNAT KAU!!
Aku mengatur napasku agar tidak terlalu kentara bahwa aku sedang menahan amarah. Aku melirik pada Hani yang masih senyum-senyum sambil melihat punggung Anza yang telah pergi menjauh. Aku mendengus. "Bucin, dasar," gerutuku yang ternyata masih bisa terdengar oleh Hani.
Hani menoleh padaku sambil memberengut. "Gak apa-apa, Mbak. Asalkan bucin itu harus ada objeknya, jadi gak keliatan miris."
Entah kenapa ucapannya itu menyentil sisi egoku. Aku meringis kala mendengarnya. "Sabar, Naura. Gak boleh ngehujat orang terlalu banyak. Nanti dosanya tambah banyak, sabar," kataku.
Hani yang mendengar perkataanku tertawa kecil. Sekali lagi, aku menguatkan diri untuk tidak menghujat orang lain lagi, meskipun sangat ingin.
~tbc~
©06 Agustus 2020
Revisi : 22/10/20
.
.
.
Terima kasih telah membaca
Bye-bye, black!💚
.
.
.
Jangan lupa klik 🌟 dan tinggalkan komentar dan share cerita ini ya 🤗
.
.
Salam hangat,
Fe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top