BBB [12]
Sorry for typo
~Happy reading~
Situasinya mendadak semakin canggung. Untung saja ada panggilan dari Hani—penulis yang naskahnya sedang aku tangani, novel Bye-bye, Black! dengan genre semi militer—sudah seperempat jalan aku perbaiki, tinggal beberapa chapter lagi, sebelum aku mematikan ponselku sepenuhnya.
"Ya, ada apa, Hani?" tanyaku, memulai percakapan.
"Mbak, bisa kah, jika kita langsung melakukan risetnya saja? Karena masa tenggat waktunya yang masih panjang. Saya kira, saya perlu merevisi beberapa bagian lagi agar lebih dapat feel-nya."
Seenak saja! Makiku dalam hati. Aku mencibir Hani, meskipun dia bukan tipe penulis yang rempong dan ceriwis, tapi tidak bisa main seenaknya ganti alur cerita dong!
Mentang-mentang dia sepupunya Pak Arkan—Partner Raka di AR Media yang sekarang sedang berlibur di benua Eropa, katanya.
Duh, sultan mah, bebas ya?
"Bagaimana, Mbak? Saya tahu, Mbak juga anak dari Mayjen Husein. Beliau sahabat Ayah saya." Penjelasan dari Hani membuatku semakin mengelus dada. Sabar!
Aku menetralkan amarahku dulu, bagaimanapun juga, aku adalah bawahan Pak Arkan. Bisa-bisa aku ditendang dari pekerjaan ini, hanya karena berbuat tidak baik pada sepupunya.
Aduuuhh!
Akhirnya aku mengalah. Biarkan saja Hani yang menanggung resikonya, aku sih bodoamat. "Baik, Hani. Silahkan saja, apabila kamu mau riset lagi."
Aku mendengar sorak girang darinya. Mau tak mau, aku ikut melengkungkan senyuman. Ikut merasakan bahagia, tapi tidak tertutupi rasa kesalku terhadapnya. "Baik, Mbak! Terima kasih, untuk persetujuannya! Dengan ini, kita bisa sama-sama untuk meriset secara langsung. Untuk urusan perizinan, sudah aku tangangi lewat Ayahku, kita tinggal datang aja ke Batujajar."
Aku tahu, mungkin karena otakku sibuk memikirkan kejelekan orang lain yang bisa aku hujat, aku sampai hilang fokus pada arah pembicaraan ini. "Hm, bagaimana?"
Aku berharap, Hani dapat menjelaskannya kembali tanpa aku jelaskan lebih gamblang lagi.
Dan beruntungnya aku, Hani mau mengulangi penjelasannya tentang naskah yang aku tangani. "Jadi gini, Mbak. Berhubung Ayah saya sama Mayjen Husein dan beberapa perwira berpangkat tinggi di sana punya koneksi yang kuat, saya dan Mbak diizinkan untuk melakukan riset di sana selama masa pendidikan yang akhir bulan ini akan di lakukan.
"Untuk masalah perlengkapan, perizinan dari perusahaan dan lainnya, Mbak tenang saja. Semua itu sudah saya atur. Mbak hanya perlu menemani saya, memberikan revisi ataupun memberi saran dan kritik secara langsung saat saya melakukan riset di sana nantinya."
Bagaikan laptop yang ada kata loading saat mengakses sebuah situs website yang sinyalnya kurang bagus, aku berpikir keras untuk mengerti kalimatnya barusan. Tidak sampai lima menit, mataku membola. Aku menatap ponselku dengan tercengang. "LO—KAMU SERIUS?!" Aku tahu, berlebihan memang, jika menanggapi ini dengan intonasi suara yang agak tinggi.
Tapi, aku sangat panik!
Mendatangi pelatihan militer bersama Hani, sepertinya bukan pilihan yang bagus untuk memenuhinya daftar kegiatanku di awal tahun.
Benar-benar merepotkan sekali!
"Saya serius, Mbak. Nanti saya kabari lagi kalau saya akan berangkat ke Batujajar. Nanti kita berangkatnya bersamaan."
"Tapi saya sudah ada di Batujajar," jawabku cepat. Seketika, aku menyesali jawabanku.
"Seriusan, Mbak, di Batujajar?! Jadi gosip tentang Mbak yang dipindahkan oleh Pak Raka, benar? Saya kira bohong. Tapi baguslah, kita tak perlu repot-repot lagi cari tempat untuk tinggal sementara." Dari nada suaranya, aku tahu kalau Hani sangat senang dan serius dengan rencananya.
Aku menghela napas, mungkin ini bisa menjadi pengalihanku dari kejadian-kejadian tadi, setidaknya aku harus mencoba dan membantunya. Lagian, aku ini adalah editornya, bukan?
"Iya," sahutku singkat.
Lalu selang beberapa menit, dia izin pamit padaku. Ada persiapan yang harus dia persiapkan untuk datang ke Batujajar, tiga hari lagi. Katanya begitu.
Bip.
Panggilan tersebut, dia akhiri sebelah pihak. Lengkap dengan kalimat pamit yang menggelikan. Aku sendiri masih sungkan untuk mengakhiri panggilan jika panggilan itu berasal dari orang,-orang penting, seperti dia contohnya.
Setelah menyimpan ponsel pada saku, aku masuk dan duduk di samping Ayah yang sedang serius membahas sesuatu yang tidak aku mengerti.
Melihat aku yang diam saja, Ayah menegurku. "Naura, kamu kenapa? Ayah panggil, hanya diam saja."
Sebelum menjawab, aku melirik sekilas pada Arusha yang menatapku dengan sebelah alisnya yang terangkat, seolah bertanya, kenapa?
"Naura hanya kepikiran soal pendapat orang lain terhadap Naura," jujurku.
Di usianya yang sudah masuk kepala empat, kerutan pada dahi Ayah semakin kentara saat ini. "Memangnya kenapa? Tumben sekali kamu mimikirkan hal ini kembali. Apakah ada orang lain yang kembali memaki kamu hanya karena fisik?"
IYA, YAH! ITU SERING BANGET! Tapi aku tidak mungkin menjawab demikian, sehingga yang aku lakukan hanya menggeleng dan menjelaskan secara lebih manusiawi lagi perlakukan tidak senonoh yang mereka lakukan padaku "Bukan itu, Yah. Tapi banyak orang-orang yang nyangka Naura itu ... perempuan yang gak baik karena belum mengetahui latar belakang keluarga Naura," ujarku hati-hati. Aku juga tidak mau jika Ayah mengetahui permasalahanku yang sebenarnya dengan ibu-ibu persit yang baru di sini.
Ayahku tersenyum tipis, mungkin baginya ini masalah sepele, andai saja beliau tahu jika anaknya d cemooh sebagai bukan anak gadis lagi, entah bagaimana reaksinya nanti.
"Buat apa kamu memusingkan pikiran orang lain terhadapmu? Apa kamu telah melakukan hal 'miring' seperti yang dikatakan oleh orang-orang itu?" Aku menggeleng. Boro-boro melakukannya, aku bahkan sudah jijik duluan.
"Nah, itu. Selagi kamu tidak melakukan kesalahan, buat apa membebankan pikiranmu untuk masalah yang seharusnya tidak perlu kamu pikirkan?" sambung Ayahku lagi.
Jawaban dari Ayah memanglah benar. Meskipun hal itu sangat menohok hati, tapi aku memang harus ditampar dulu oleh kenyataan agar dapat sebuah pencerahan. Meskipun tidak semua masalah akan selalu berakhir seperti ini.
Lalu terjadi hening beberapa saat. Waktu juga bergulir sangat cepat, hingga Ayah menyatakan sebuah kalimat yang membuatku semakin gemas pada Hani.
"Naura .... tadi Ayah dapat panggilan dari sahabat Ayah, Pak Hartono dan kami sudah menyetujui keinginan putrinya. Kamu dan Hani akan berada dalam pengawasan Kapten Arusha saat masa pendidikan nanti, karena Ayah tidak bisa selama itu untuk berada di sana," jelas Ayahku.
"Kamu dan temanmu akan menjadi tanggung jawab saya di sana. Harap kerjasamanya dan tidak bertindak ceroboh," peringat Arusha.
Oh, GOD! Apalagi dengan ini?!!!
Jika Lala sudah dewasa nanti, aku harap adik tiriku itu tidak pernah mendapatkan permasalahan yang sama denganku ataupun yang lebih buruk. Cukup aku saja! Aku benar-benar gemas dan juga salut dengan tindakan cepat yang dibuat oleh Hani.
Aku pergi ke kamar mandi dan segera membasuh wajahku dengan air mengalir. Berharap api amarah yang berkobar dalam hati, secepatnya menghilang. Rasanya hari ini aku menghadapi banyak permasalahan. Sungguh, dunia orang dewasa itu lebih rumit daripada dunianya anak kecil ataupun sewaktu remaja.
~tbc~
©06 Agustus 2020
Revisi : 22/10/20
Terima kasih telah membaca
Bye-bye, black!💚
.
.
.
Mohon dukungannya berupa klik 🌟 di sudut pojok dan tinggalkan komentar (bisa berupa reaksi kalian saat membaca cerita ini, maupun kesan dan pesannya untuk cerita ini)😍
.
.
Salam hangat,
Fe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top