BBB [1]

Sorry for typo
~Happy reading~


Sinar matahari menyambutku yang masih bergelung di kamar. Dengan setengah kesadaran yang tersisa, aku beranjak dari kasur dan menyibakkan gorden. Membiarkan sinar matahari masuk melalui celah jendela, membiarkannya menerangi sudut kamar. Aku segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor. Walaupun rasa malas tidak bisa aku hindari. Aku mendengus kasar,  saking sebalnya karena tidak mendapatkan gairah sama sekali untuk memulai hari dengan bekerja.

Bayangkan saja, aku baru beristirahat pukul empat dini hari dan harus kembali bekerja pada pukul enam! Itupun dengan jarak tempuh satu jam perjalanan dari arah rumah menuju kantor yang berada Jalan Kemang. Mungkin suatu saat nanti, aku harus benar-benar mengambil jatah cuti yang selalu aku abaikan.

Tidak perlu pusing lagi, setelah aku menyelesaikan rutinitas mandi dan memakai pakaian khas kerja, aku sedikit memoleskan produk skin care agar tetap menutrisi wajahku yang cenderung kering.

Not bad,” komentarku.

Setidaknya pagi ini, aku terlihat lebih segar. Berbeda dengan waktu sore hari nanti, ah membayangkannya saja sudah membuatku muak! Aku bergidik ngeri. Setelah menenteng tote bag hijau army, aku menuruni anak tangga dan menghampiri keluarga kecilku yang sedang berkumpul di meja makan, dekat kamarku.

Aku tergerak mencium sebelah pipi ibu dan mencubit gemas pipi gembil milik adik perempuanku yang sudah berusia lebih dari sepuluh tahun ini.

"Pagi," sapaku.

Ibu dan Lala—adikku—kontan tersenyum simpul padaku. Sampai acara makan dimulai, aku sama sekali tidak melihat kehadiran papa yang biasanya tidak pernah absen saat sarapan pagi.

Ibu yang seakan mengerti keheranan dalam benakku menjelaskan, “Papa masih di ruang kantor, katanya masih ada hal yang harus dia urus.”

Aku hanya ber-oh-ria sambil kembali melanjutkan sarapanku yang tertunda. Lala yang sarapannya tinggal setengah, mendadak mengulurkan sebelah tangannya di depanku.

“Mana, Kak, tiketnya?” tagihnya.

Aku tersedak makanan, buru-buru ibu memberikan aku air dan langsung aku teguk. Lupa! Alarm bawah sadarku mengintruksikan bahwa aku harus pandai-pandai memanipulasi kecemasan. Karena bagaimanapun juga, mempunyai adik seperti Lala yang termasuk tipikal orang yang mudah merajuk saat keinginannya tidak terpenuhi, itu benar-benar merepotkan!

Aku berdeham singkat sebelum menjawab, “Hm ... Kakak coba cari tiket Pasar Malamnya minggu nanti ya? Tambah makan es krim, ya?” ujarku, sekaligus membujuknya.

Lala benar-benar merajuk. Dia mengerucutkan bibirnya, lalu menyendokkan makanan dengan porsi besar-besar, hingga menimbulkan dentingan suara sendok yang beradu dengan piring yang cukup nyaring.

"Kakak mah suka janji-janji mulu, ujungnya juga gitu lagi. PHP!"

Adikku ini masih cemberut rupanya. Aku tertawa kecil melihatnya, mengingat janjiku padanya yang belum terlaksana karena aku terlalu sibuk mengurusi deadline pekerjaan yang menumpuk.

“Iya, Lala. Nanti minggu depan, Kakak usahain biar kita bisa weekend bareng, ya?” bujukku sambil membelai surainya yang sudah mencapai sebahu.

“GPL, pokoknya!”

Aku tergelak. Untuk anak sekolah dasar yang masih duduk di kelas lima ini, ternyata adikku sudah mengenal kata-kata gaul yang bahkan aku saja baru tahu ada saat berseragam putih abu. "Ya ampun, La, tahu dari mana kata itu?"

"Tahu, ah!"

Ibu melerai pertengkaran kami dengan sabarnya. Dia memintaku untuk secepatnya berangkat. Ah, aku  selalu lupa waktu, jika sedang berbincang dengan adik kecilku ini. Setelah beberapa sendok makanan yang tersisa, masuk ke tenggorokan, aku langsung meneguk habis air minum—supaya makanan itu secepatnya sampai ke perutku—dan aku segera mendapatkan energi kembali.

"Aku berangkat dulu, ya!" ujarku sambil menyalimi ibu yang sudah berdiri menungguku di ambang pintu.

"Gak mau bareng sama Papa? Kebetulan Papamu itu berangkat pagi juga lho," tawar ibu.

Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban, walaupun dapat samar aku lihat raut kecewa yang ibu tutupi. Aku

memang tidak memiliki hubungan ayah-anak yang baik. Hubungan kami memang tidak terlalu dekat, tapi aku tetap menghormatinya sebagai kepala keluarga serta orang tuaku.

“Gak dulu, Bu. Lagian, kita beda arah, kok,” alibiku.

Ibu mengalah dalam membujukku. Beliau tersenyum dan menasehatiku dengan kalimat yang sering aku dengar. "Ya sudah kalau gitu, hati-hati, ya! Jangan lupa selalu tersenyum!"

Aku mengayunkan langkahku menuju motor sport CBR hijau. Setelah menyalakan mesinnya, aku bunyikan klakson beberapa kali, tanda bahwa aku akan berangkat.

Seperti pagi biasanya, saat aku telah mendapatkan mandat untuk selalu tersenyum dari ibu, beliau akan senantiasa menjagaku dengan caranya. Termasuk menjadi pendengar yang tahu kisah hidupku selama ini hingga menginjak usia dewasa. Aku memang sering berbagi semua pengalaman suka-dukaku kepada beliau.

Tapi semenjak beranjak dewasa, aku yang terlalu sibuk serta merasa sungkan untuk kembali berbagi ceritaku, memutuskan untuk memendamnya sesekali. Meskipun begitu, ibu tetap perhatian dan selalu memberikan motivasi padaku tanpa diminta. Ibu selalu peka terhadap keadaanku, meskipun aku tidak bercerita padanya.

Pagi ini, bukan pertama kalinya aku menggunakan Saila—nama yang aku berikan pada motor sport—yang merupakan kado dari Papa sewaktu kuliah.

Ah, ngomong-ngomong soal kuliah, aku jadi parno sendiri. Bagaimana tidak? Ada beberapa dari teman sejawatku sewaktu kuliah dulu, suka bersikap semau mereka, merisak dan mendiskriminasi orang lain. Bahkan sampai sekarang pun masih sama. Seperti yang dilakukan Santi. Sebagai salah satu teman satu kuliah dan satu tempat pekerjaan denganku, bahkan kami berada pada divisi fiksi umum yang sama.

Perempuan yang selalu terlihat modis dengan pakaian bergaya kebarat-baratan itu, menyambut kedatanganku dengan memamerkan senyum jumawa—ralat sengaja menungguku—di pintu depan menuju lift. Bibir merah menyalanya membuat aku mendesah dalam hati.
Pasti dia akan berbicara pedas lagi.

"Ternyata kamu cukup semangat, ya?" Dia memandangku dengan tatapan jijik, seperti biasa. "Ew~ selera pakaianmu masih sangat rendah ya, Naura," komentarnya yang sudah biasa aku dengar.

Aku hanya perlu mengelus dada berkali-kali, demi menahan emosiku. Jika aku meladeninya, pasti tidak akan berakhir cepat. Santi selalu berlaku sesukanya padaku. Bukannya aku membiarkannya. Hanya saja, aku sangat malas jika harus berdebat dengannya. Apalagi ini masih pagi!

Maka, saat aku berada dalam satu kotak besi yang membawa kami ke lantai sepuluh, aku membiarkannya mengoceh tentang tanggapannya mengenaiku. Sedangkan aku memilih menyumpal telinga dengan earphone daripada harus menanggapinya.

Santi terlihat semakin kesal karena tidak aku acuhkan. "Dasar, Papua! Sok kalem banget sih!" Dia terus saja mengejekku, sampai kami harus berpisah di lantai sepuluh.

Karena aku masih memiliki waktu untuk mengurusi urusanku yang lain,  sebelum kembali sibuk dengan naskah-naskah yang harus aku tangani. Aku melirik melalui ekor mataku, Santi berdecak kesal. Dia juga terus menghentakkan kakinya yang berbalut sepatu pentopel yang selalu terlihat berkilau itu.

Ah, lupakan soal Santi dan segala kenangan burukku di masa lalu. Aku harus move on, kan?

Aku menghampiri Bu Susi selaku pihak yang akan menangani hasil editan para editor. Lalu hasil koreksi dari Bu Susi akan diberikan pada pihak designer buku untuk segera menyuntingnya menjadi naskah yang utuh, beserta layout cover yang akan didiskusikan dengan penulisnya.

"Pagi, Bu Susi," sapaku.

Wanita yang masih cantik di usianya yang menginjak ukur tiga puluhan itu, terlihat masih membenahi meja kerjanya saat menolehkan pandangannya kepadaku. Jangan lupakan perilakunya yang selalu menurunkan letak kacamatanya, saat melihat orang yang ada didepannya.

Sekedar memastikan bahwa penglihatannya tidak salah, itu yang selalu beliau katakan saat aku tanyai mengenai alasannya menurunkan letak kacamatanya hingga melorot ke bawah.

"Oh, Naura. Ada yang bisa saya bantu?"

Bu Susi memang tipikal orang yang tidak mengenal senioritas, walaupun jabatannya sudah jauh di atasku. Orang-orang yang baru sepertiku, akan merasa nyaman jika berdiskusi ataupun bercakap-cakap dengan Bu Susi.  Beliau memang memperlakukan kami layaknya adiknya sendiri. Bahkan, beliau tak segan-segan untuk mentraktir kami—orang baru yang posisinya berada di bawahnya—untuk makan siang, sebagai apresiasinya terhadap kinerja kami yang memuaskannya.

Beda lagi dengan Bu Dita. Bagiku, dia hampir sebelah dua belas lah sama Santi!

"Itu, Bu. Naskah yang aku kirimkan lewat email kemarin malam, apakah Ibu sudah mengeceknya kembali?"

Kerutan pada wajahnya yang sudah berumur itu,  tidak melunturkan jiwa ramahnya. "Aduh, maaf, ya. Kemarin saya tidur awal. Belum sempat cek email dan sebagainya. Nanti saya beritahu lagi, Naura."

Aku mengangguk-angguk, mulutku membulat membentuk huruf o dan tersenyum kecil. "Baik, Bu. Terima kasih sebelumnya, saya pamit dulu kalau gitu."

Setelah mendapatkan persetujuan dari Bu Susi, aku segera melangkahkan kaki menuju divisi fiksi. Tempat yang menaungiku menjadi editor naskah selama dua tahun belakangan ini.

Aku menghela napas terlebih dahulu. Hari ini mungkin akan terasa berat dan aku pun belum tahu hal apa saja yang akan menimpaku.

“Aku harap, hari ini berjalan dengan lancar tanpa ada kendala,” pintaku dalam hati.

Namun rupanya keberuntungan akan hari yang damai, tidak aku dapatkan. Tepat saat aku menuju ke arah meja yang terletak di ujung kubikel sebelah kiri, dekat dengan jendela. Aku lihat mejaku penuh dengan kertas-kertas yang berserakan. Bahkan tempat sampah yang ada di kolong mejaku pun ikut penuh dengan kertas-kertas yang tidak aku tahu datangnya dari mana.

Padahal aku selalu membersihkan dan membuang sampah-sampah di mejaku seusai pulang kerja. Aku menggeram dalam hati. Ingin mengamuk pun, rasanya percuma. Aku tidak bisa. Saat itu aku menemukan sebuah note dengan tulisan tangan yang aku kenali, tanganku reflek mengepal kuat.

Selamat menjalani hari penuh penyiksaan, Blacky!

Andai saja ada undang-undang yang memperbolehkan para korban penindasan membunuh orang yang terus mengolok-oloknya, sudah pasti aku lakukan semenjak dulu!

Ternyata dia telah kembali. Setelah kejadian satu tahun yang lalu. Dia ... Orang di masa laluku, kembali datang tanpa di minta.

~tbc~
©250420 tanialsyifa
Note : Thank's for reading~

Revisi 17/10/2020

Jangan lupa klik 🌟 komen share juga ya 😂
.
.
.
Terima kasih telah membaca cerita ini💚
.
.
Bye-bye! ✌🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top