SATU-BYAKTA FAMILY

SATU

"Mami, papi kok belum keliatan?"

"Sebentar lagi, sayang. Duduk dulu."

"Ochi mau papi, sekarang!" Mata Ochi telah berkaca-kaca karena sudah lelah menunggu tetapi orang yang ditunggunya belum datang juga.

"Ochi, sebentar lagi papi datang, jangan nangis."

Laqueta memangku anak bungsunya itu dan mengusap punggung kecilnya untuk menenangkan.

"Ochi cengeng, padahal sebentar lagi papa datang, malah nangis kayak gitu."

"Papi!" ralat Ochi karena kesal, dia tidak suka jika ada yang memanggil papa, pokoknya harus papi.

"Ayah bentar lagi datang." Kakak tertuanya malah ikut-ikutan menjahili Ochi untuk membuat adiknya itu kesal.

"Papi!"

Ochi kembali menangis membuat Laqueta kewalahan, Ochi adalah anaknya yang paling cengeng, mudah sekali membuatnya menangis. Laqueta yang pada dasarnya memang tidak suka dengan tangisan anak kecil membuatnya mudah merasa pusing, jika tidak ingat bahwa Ochi adalah anak yang sudah dikandungnya selama Sembilan bulan, sudah pasti Laqueta akan meninggalkannya di sini.

"Ojwala, Ogya, jangan ganggu Ochi lagi," tegur Laqueta pada anak pertama dan saudara kembar Ochi.

"Iya, Ma."

"Mami!" Lagi-lagi Ochi meralat perkataan kakak-kakaknya yang tidak memanggil Laqueta dengan sebutan mami.

"Mami atau mama, itu sama saja, sayang," ucap Laqueta mencoba memberi pengertian, meskipun sudah berulang kali menjelaskannya, Ochi tetap saja tidak mau mengerti.

"Pokoknya harus Mami, yang manggil mama itu Risha. Nggak boleh sama!" Ochi tetap kekeh pada ucapannya dan membawa nama teman sekelasnya yang memanggil orang tuanya dengan sebutan mama dan papa.

"Iya-iya." Laqueta mengalah saja, tidak baik berdebat dengan Ochi karena anaknya itu pasti akan membalas ucapannya lagi dan berakhir dengan Ochi yang merajuk.

"Papi!" seru Ojwala dengan semangat lalu menghampiri Meesam yang sedang berjalan mendekati mereka.

"Hallo, Boy!"

Meesam berhenti berjalan dan memeluk putra sulungnya itu dengan penuh kasih sayang lalu tak lupa meninggalkan kecupan singkat di pelipisnya.

"Papi," rengek Ochi karena anak itu ingin digendong.

Meesam terkekeh lalu mengangkat tubuh mungil anaknya itu ke dalam gendongannya.

"Kenapa nangis, hm?" Meesam mengusap punggung kecil Ochi dan memeluk Ogya, dia tidak mau anak-anaknya merasa tidak adil dan merasa dirinya pilih kasih terhadap anak-anaknya, memiliki anak kembar membuat Meesam lebih berhati-hati dalam bersikap meskipun Ochi memang lebih manja daripada kedua saudaranya yang lain.

"Kangen Papi," gumam Ochi.

Dapat Meesam lihat mata Ogya juga berkaca-kaca ketika menatapnya, entah anaknya itu rindu dengannya atau karena ikatan batin dengan Ochi yang merupakan saudara kembarnya.

"Yaudah, ayo pulang." Laqueta mengambil alih, dia sudah risih diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya karena keributan kecil yang tercipta karena rasa rindu anak-anaknya.

Meesam mengangguk lalu berdiri dan mengecup pipi Laqueta sekilas. "Biar kamu nggak iri sama anak-anak."

Laqueta yang malu langsung mengalihkan wajahnya, suaminya itu benar-benar membuatnya sangat malu, ini di tempat umum dan Meesam ... ah sudahlah.

🌸🌸🌸

"Papi bawa oleh-oleh, nggak?"

Itu adalah pertanyaan yang wajib ditanyakan oleh Ojwala ketika Meesam baru pulang dari luar kota ataupun luar negeri, dia memang rindu dengan papinya, tetapi Ojwala juga rindu dengan oleh-olehnya. Jika bisa keduanya, kenapa harus salah satu, itu yang dipikirkan Ojwala.

"Bawa dong, sebelum Papi pergi kalian juga udah nitip," balas Meesam.

"Selama Papi pergi siapa yang nakal?"

"Ochi." Ojwala dan Ogya yang menjawab.

"Abang sama Ogya." Nah, kalau ini baru Ochi yang menjawab.

Karena jawabannya berbeda, Meesam tidak langsung memberikan oleh-oleh untuk anak-anaknya itu, dia lebih memilih untuk mendengarkan cerita mereka terlebih dahulu.

"Ochi nakal kenapa?"

"Kemarin mobil-mobilan Ogya dimasukkan ke akuarium sama Ochi, jadi rusak deh," adu Ogya.

Ochi langsung menjulurkan lidahnya karena kembarannya itu mengadu.

"Kemarin Ochi buang seragam aku ke taman, jadinya nggak sekolah karena seragamnya kotor." Kali ini Ojwala yang mengadu.

"Loh, seragam kamu masing-masing dua, untuk cadangan," balas Meesam, seingatnya anak-anaknya memang memiliki dua pasang seragam untuk masing-masing hari, hanya untuk cadangan jika hal-hal seperti ini terjadi.

"Yang satu lagi nggak tau kemana."

Ini yang membuat Meesam heran dengan anak-anaknya, barang-barangnya sering hilang, padahal isi rumah ini hanya ada delapan orang, dan yang jahil cuma Ochi dan sesekali Ogya juga ikut-ikutan. Apa iya mereka tidak bisa mengawasi pergerakan keduanya.

"Laqueta, kenapa seragamnya Ojwala nggak ada?" tanya Meesam pada istrinya. Pria itu memang tidak galak pada anak-anaknya, tetapi jika menyangkut urusan pendidikan, dia tidak akan main-main.

"Aku simpan seragamnya di lemari, nggak tau kenapa hilang."

Laqueta membela diri, meskipun Meesam adalah suaminya, wanita itu tetap saja takut pada Meesam.

"Ochi, kamu yang sembunyiin seragam Abang?"

Bukan ingin menuduh, tetapi Ochi yang berpotensi untuk melakukannya.

"Enggak! enggak!" bantah Ochi tetapi tangisnya langsung pecah membuat Meesam terkejut, padahal dia hanya bertanya, kenapa anaknya itu harus menangis.

Laqueta langsung memangku Ochi dan mengusap punggungnya, telinga wanita itu rasanya sakit jika mendengar suara tangisan, sehingga lebih baik ditenangkan saja.

Karena Ochi menangis, Meesam sudah tau jawaban yang sebenarnya, ternyata memang Ochi yang berulah dengan menyembunyikan seragam abangnya.

Meesam mengambil alih Ochi dari pangkuan Laqueta dan meletakkan Ochi di pangkuannya. "Ochi, kenapa sembunyikan seragam abang?"

"Biar abang nggak sekolah, abang main sama Ochi aja," jawab Ochi pelan, dia sudah terkurung dalam pangkuan sang papi, bagaimana dia bisa mengelak dari tuduhan? Lebih baik jujur saja.

Meesam mengerti, Ochi memang tidak masuk sekolah selama beberapa hari karena suhu tubuhnya naik, Ogya juga ikut-ikutan sakit karena mereka memiliki ikatan yang sangat kuat. Karena tidak masuk sekolah, Ochi juga ingin Ojwala tidak masuk sekolah.

"Ochi, abang harus belajar biar pintar, memangnya Ochi tidak mau punya abang yang pintar?"

Ochi mengangguk, tentu saja dia mau Ojwala menjadi pintar.

"Jangan gitu lagi, oke?" Ochi mengangguk di dalam pelukan Meesam.

"Jangan rusakin mainan Ogya juga," lanjut Meesam ketika mengingat ulah lain dari anak bungsunya itu. Lagi-lagi Ochi hanya membalas dengan anggukan.

"Karena Ochi nakal, jadi Ochi nggak dapat oleh-oleh."

Ochi menatap wajah papinya dan bibirnya langsung melengkung ke bawah, mencoba melayangkan tatapan protes kepada Meesam, tetapi diabaikan.

"Ini untuk Ojwala, ini untuk Ogya."

Meesam memberikan masing-masing dua paperbag untuk kedua anak laki-lakinya, keduanya menerima paperbag itu dengan ragu.

"Papi," panggil Ogya pelan.

"Iya?"

"Makasih karena udah ngasih oleh-oleh," ucap Ogya dibalas dengan senyuman oleh pria itu.

"Tapi, Ogya nggak mau ambil. Ochi nggak dapat oleh-oleh, Ogya juga nggak boleh dapat. Kemarin juga Ogya nakal ke Ochi, botakin kepala boneka barbienya."

Ogya langsung meletakkan paperbagnya ke lantai dan menatap Meesam dengan raut wajah bersalah.

"Ojwala juga nggak bisa dapat oleh-oleh, Pi. Kemarin rumah-rumahan barbienya Ochi, aku tabrak pakai mobil remot."

Seperti apa yang dilakukan oleh adiknya, Ojwala juga meletakkan paperbagnya di lantai. "Maaf, Pi."

Laqueta tersenyum tipis melihat perbuatan anak-anaknya itu, walaupun saling menjahili, tetapi mereka juga saling menyayangi.

Meesam menatap Ogya dan Ojwala bergantian lalu tersenyum.

"Papi senang karena kalian mengakui kesalahan, oleh-olehnya diambil aja, Ochi juga dapat."

Mata Ochi langsung berbinar dan memeluk leher Meesam dengan erat. "Makasih, Papi."

Ogya dan Ojwala juga langsung menghampiri papi dan adiknya itu lalu ikut memeluk.

"Makasih, Papi."

🌸🌸🌸

Hallo 👋
Bagaimana part ini? Udah baca cerita Laqueta dan Meesam sebelum menikah?

Selasa, 6 Agustus 2021
Revisi, 12 Desember 2024

Sambil nunggu cerita ini direvisi, jika berkenan, yuk baca cerita baru aku. Judulnya Loading.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top