LIMA-BYAKTA FAMILY

Sambil nunggu cerita ini selesai direvisi, jika berkenan, yuk baca cerita baru aku. Judulnya loading

Lima

"Mami!"

Ochi berlari menuju ke arah Laqueta dan langsung memeluk maminya dengan erat, Laqueta sebenarnya heran dengan kebiasaan Ochi ini, padahal mereka hanya berpisah beberapa jam, tetapi sudah seperti berpisah berbulan-bulan.

"Ayo, masuk."

Laqueta pulang sendirian, wanita itu memang pulang lebih cepat dari kebanyakan karyawan, ini adalah peraturan dari Meesam. Jika Laqueta tetap ingin bekerja setelah menikah, dia harus pulang lebih awal agar bisa mengurus anak-anaknya. Laqueta yang memang ingin bekerja setuju dengan syarat itu walaupun nantinya dia harus menyelesaikan sebagian pekerjaannya di rumah.

"Ogya sama Ojwala kemana?" tanya Laqueta ketika tidak melihat dua anak laki-lakinya di dalam rumah.

"Main sepeda."

"Kamu nggak ikut?"

Anggap saja Laqueta ingin anak-anaknya pergi bermain, lagian itu bagus karena mereka tidak terpaku pada mainan.

"Enggak, males, temannya abang cowok-cowok semua, nggak ada yang mau main barbie."

Lah, iya, mana ada cowok mau main barbie dengan sukarela, biasanya saja Ochi harus memaksa Ogya dan Ojwala agar mau bermain dengannya.

"Kamu udah makan?"

"Udah, Mi."

"Ogya sama Ojwala juga udah?"

"Udah juga."

Laqueta mengangguk. Bagus. Mereka tidak rewel.

Ochi mengikuti Laqueta hingga ke kamarnya. "Mami ganti baju dulu, ya."

"Iya."

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Laqueta untuk menyelesaikan urusannya, wanita itu langsung keluar dari ruang ganti dan menghampiri Ochi yang rebahan di tempat tidurnya.

"Ochi capek?" tanya Laqueta sambil mengusap kepala anak bungsunya itu.

"Iya. Mami peluk."

Laqueta tersenyum dan ikut membaringkan dirinya agar bisa memeluk Ochi. "Kamu nggak tidur siang?"

Dalam pelukan Laqueta, Ochi menggeleng pelan, dia tidak mau tidur siang. Kali ini Laqueta tidak mengomel, jika Ochi tidak tidur siang maka malam nanti dia akan mengantuk dan tidur cepat, jadi besok Ochi bisa bangun pagi.

"Mami nggak marah?" tanya Ochi keheranan, karena biasanya Laqueta akan ngomel jika Ochi tidak tidur siang, tetapi kali ini tidak. Tentu saja Ochi merasa aneh.

"Kamu mau Mami marah?"

Ya, menurut Laqueta anaknya itu bertanya karena mau dimarahi.

"Enggak, dong."

"Mami, tadi Ochi berantem sama Risha."

Seperti biasa, Ochi akan menceritakan kegiatannya selama di sekolah kepada Laqueta.

"Kok bisa berantem?"

Laqueta tau kalau anaknya itu memang tidak bisa diam, tetapi jika sampai bertengkar dengan temannya, Laqueta tidak pernah berpikir sampai ke situ.

"Risha ngejek Sima, katanya Sima nggak bisa bilang r. Sima juga nangis."

"Ochi, jangan berantem gitu, Mami nggak suka, kalau Risha ngelakuin kesalahan, kamu kasih tau baik-baik, jangan diajak berantem."

"Tapi Risha yang mulai, padahal Ochi sama Sima cuma diam aja, Risha juga tadi nabrak Ochi dari belakang."

Ngeles terus.

"Walaupun begitu, Ochi nggak boleh jadi perempuan yang kasar, tetapi kalau keselamatan Ochi yang terancam, Ochi harus membela diri."

Menurut Laqueta, ucapannya memang tidak akan mudah dimengerti oleh Ochi, tetapi Laqueta tidak bisa menyusun kalimat yang lebih sederhana daripada itu.

"Iya, Mami."

Laqueta kembali mengusap punggung Ochi dengan sayang, berusaha memberikan kenyamanan.

"Mami! Mami!"

Panggilan itu diiringi ketukan pintu membuat Laqueta menjauhkan diri dari Ochi yang dipeluknya.

"Mami keluar dulu," ucap Laqueta karena Ochi tidak mau melepas pelukannya pada lengan sang mami.

"Mami! Mami!"

Ochi tidak mau melepaskan Laqueta sedangkan ketukan pintu beserta panggilan itu semakin menjadi.

"Sebentar sayang, manatau penting."

Ochi mengerucutkan bibirnya lantaran kesal dan terpaksa melepaskan pelukannya pada lengan Laqueta.

Laqueta membuka pintu kamar dan yang dilihatnya adalah Ojwala. "Kenapa, Nak?"

"Ogya jatuh dari sepeda, kakinya luka," lapor Ojwala.

Laqueta panik, dia takut anak keduanya itu merasa kesakitan.

"Ogya dimana?"

"Di sofa."

Laqueta langsung beranjak untuk mengambil kotak p3k lalu menuju ke tempat dimana Ogya berada, putera keduanya sedang duduk di sofa dengan fokus pada lututnya yang mengeluarkan darah.

"Ogya," panggil Laqueta agar fokus Ogya teralihkan.

Laqueta duduk di sebelah Ogya dan mengangkat kaki anaknya itu hingga berada di pangkuan Laqueta. Wajah Ogya sudah menunjukkan kalau dia takut.

"Nggak apa-apa, Mami obatin dulu."

Luka yang dialami Ogya tidak terlalu dalam, hanya lecet tetapi mengeluarkan darah.

"Kalau main sepeda, jatuh itu wajar, jangan takut untuk main lagi," ucap Laqueta seraya mengobati anaknya itu.

"Iya, Mi." Ogya menjawab sambil memperhatikan tangan Laqueta yang bergerak untuk mengobatinya, walaupun ngeri tetapi dia penasaran.

"Mami pelan-pelan, sakit."

"Ogya kenapa?" tanya Ochi yang baru datang, dia memilih untuk mencari maminya karena Laqueta tidak kunjung datang, padahal katanya hanya sebentar.

"Jatuh pas main sepeda." Ojwala yang menjawab.

"Sakit?" Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, meskipun luka kecil, tetapi tetap saja perih.

"Iyalah." Ogya menjawab dengan sewot.

"Huuu cemen, gitu aja nangis." Si julid Ochi yang berkata.

Ochi memang tidak menunjukkan bahwa dia adalah kembaran yang baik, ini buktinya, kembarannya sakit bukannya ditenangin malah diejek.

"Ochi jangan gitu," tegur Laqueta.

"Kenapa ribut?"

Laqueta menatap Meesam sekilas, kenapa suaminya sudah pulang di jam segini? Mentang-mentang bos jadi dia seenaknya.

"Papi! Ogya jatuh dari sepeda, dia nangis. Huu cemen."

Meesam mengangkat Ochi lalu menggendongnya dengan sebelah tangan.

"Jangan gitu sayang. Ogya, nggak apa-apa, jangan nangis lagi, ya."

"Iya, Pi."

"Udah selesai."

Laqueta mengakhiri pengobatan kilatnya dengan mengecup pelipis Ogya sekilas, walaupun bandel tetapi Laqueta tetap sayang. Iya, lah, toh Ogya adalah anak yang sudah susah payah dia kandung dan lahirkan, tidak mungkin Laqueta tega mengabaikannya.

"Yah, lutut kakak jelek ada plesternya."

"Iyalah, masa cantik, nanti Ochi iri." Ogya sudah bisa membalas ledekan Ochi, memangnya hanya adiknya saja yang bisa meledek? Ogya juga bisa kali!

"Plester aja mukanya Ochi biar jelek."

Kompak lah dua abangnya itu, Ochi yang diserang bersama.

"Ochi cantik walaupun tanpa plester, iya, kan Pa? Ochi cantik kayak Papa."

Ochi meminta persetujuan Meessam yang menggendongnya.

Meesam mengangkat alisnya lalu tersenyum. "Papa ganteng, nggak cantik."

"Berarti Ochi ganteng."

Ojwala ngakak diikuti Ogya, senang deh mereka karena berhasil membuat Ochi menangis.

"Ochi nggak ganteng," bantah Ochi sambil memberontak untuk turun dari gendongan Meesam. Ochi tidak mau digendong karena papinya juga ikut membuatnya kesal.

"Mami." Tempat pelarian Ochi selanjutnya adalah Laqueta, Ochi memeluk Laqueta sambil menangis setelah Meesam menurunkannya.

"Udah, jangan didengerin. Mereka cuma bercanda."

Tangisan Ochi semakin keras membuat Meesam khawatir, dia tidak menyangka kalau keisengannya akan membuat Ochi sehisteris itu, pria itu pikir Ochi hanya akan menangis sebentar.

"Ochi, sayang, Papi cuma bercanda."

Akhirnya Meesam ikut membujuk, lagian dia juga ikut terlibat.

"Ochi cengeng, huu cemen."

Meskipun Meesam merasa bersalah, beda lagi dengan Ogya malah semakin senang karena Ochi semakin histeris. Lagian Ochi yang memulai, Ogya cuma membalasnya saja.

"Abang."

"Ochi cantik kayak Mami, tapi mirip Papi juga, tapi Ochi nggak ganteng."

Ojwala mengikuti jejak Meesam. Membujuk adik cengengnya itu.

"Ochi jangan nangis, Ogya minta maaf."

Karena tidak ada lagi yang berpihak padanya, Ogya jadi ikut membujuk Ochi.

"Ogya nakal!"

"Iya, Ogya minta maaf."

"Nggak mau!"

🌸🌸🌸

Kamis, 26 Agustus 2021
Revisi: Kamis, 19 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top