xxvi
12.13
Koridor rumah sakit terlihat ramai dengan kedatangan segerombolan remaja yang tak lain adalah kawan-kawan Atha. Langkah mereka terdengar terburu-buru dan tidak tenang. Bau antiseptik yang tercium terasa sangat menyegat, membuat beberapa dari mereka yang memang tidak menyukai bebauan seperti ini merasa tidak nyaman.
Kemudian, pintu kamar VIP bernomor dua puluh berderit pelan.
"Assalamualaikum Tante, Om, Bang." Tista menunjukkan senyumannya.
Mama Atha tersenyum kecil melihatnya. "Ayo masuk, kebetulan Tante abis buat kue tadi."
"Masih aja kue, Tan," sahut Rendi dengan senyum dan juga wajah kelaparan miliknya.
Semuanya terkekeh geli mendengar percakapan hangat di sela hawa dingin menyergap. Setelah mengobrol sedikit mengenai Atha, mereka semua mulai berhambur keluar menuju kantin rumah sakit. Kecuali satu orang, Retta. Perempuan itu tetap bertahan di ruangan ini meskipun beberapa kali paksaan didengarnya untuk ikut ke kantin rumah sakit.
"Yakin gak mau ikut, Rett? Lo belum makan, loh." Feeyla mengusap bahu Retta lembut.
"Iya, gue di sini aja," sahut Retta dengan suara parau.
Akhirnya, semua orang di kamar rawat Atha keluar, kecuali Retta. Perlahan, ia mendekat ke arah ranjang Atha.
Sepasang mata Retta menatap Atha. Nestapa yang menimbulkan lara kini Retta rasakan.
Bibir Retta bergetar, menahan rasa nyeri yang sejak tadi ia tahan dalam diam, ia tahan dalam kepura-puraan sebuah senyuman. Dipejamkannya kedua mata tajam itu dengan erat, seakan tak ingin melihat apa yang sedang ada di hadapannya. Ia terlalu takut akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tentang Atha yang nantinya tak dapat diselamatkan, tentang semua rasa sayangnya yang tak akan terbalas.
Ada rasa yang memang tidak dimengerti. Rindu yang meletup-letup dan tidak bisa ditutupi. Retta merasakannya. Dua hal yang selalu datang bersamaan saat Atha jauh dari sisinya
Bagi Retta, baru saja keindahan masa SMA-nya dimulai. Namun, dalam sekejap saja Tuhan mengubah keindahan itu menjadi keburukan yang tak pernah terbayang oleh Retta sebelumnya.
Ya, Retta tau, bahwa pada akhirnya semua yang ada di dunia ini akan lenyap, tak tersisa sedikit pun. Namun, haruskah Atha yang baru saja mampu membuatnya jatuh hati lenyap begitu saja? Lenyap dari dunia. Meninggalkan sejuta rasa dan kenangan.
Perempuan dengan mata sembabnya itu menarik napas panjang, ia menyeka air matanya kasar.
Sepasang mata tajam Retta yang mulai basah itu mengelus kepala Atha pelan. Retta menatap seseorang yang selama ini mampu membuatnya nyaman dan aman dalam dekapnya. "Kenapa lo nyembunyiin ini dari gue. Seharusnya, lo ngomong sama gue, lo jujur sama gue. Jangan sok kuat kayak gitu. Gak usah sok-sokan senyum bahagia saat fisik lo lemah gak berdaya kayak gini. Gak usah pura-pura sehat padahal lo sakit parah kayak gini. Gue gak akan ngetawain lo, Tha. Gue gak akan ngejek lo karena lo sakit. Gue gak akan jauhin lo. Mau kayak gimana pun lo, gue tetep sayang."
Digenggamnya tangan Atha yang dingin itu dengan erat. "Gue ... gue kangen sama lo." Setetes air mata jatuh mengenai pipi Retta yang memerah. "Maaf waktu itu. Maaf gue salah."
"Maaf selama ini gue udah semaunya sendiri. Ngomong yang nyakitin hati lo. Tapi, gue mohon lo bertahan, jangan tinggalin gue sendiri di sini." Perlahan Retta mengusap air mata yang terus merembes keluar. Ia semakin mengeratkan genggamannya, seakan tak ingin melepas.
"Gu―gue." Retta menarik napas panjang. "Gue sayang sama lo." Seketika Retta merasa beban yang ada dalam dirinya berkurang. Retta tau, rasa yang ia pendam dalam diam menjadi beban tersendiri untuknya.
Jemari pucat Retta berhenti menggenggam tangan Atha. Perlahan, ia menyeret kursi yang berada di belakangnya dengan pelan. Ia tidak ingin menciptakan keributan.
"Get well soon. Gue selalu di sini, sama lo. Gak akan ke mana-mana. Lo juga jangan ke mana-mana. Gue jangan ditinggal sendiri." Retta tersenyum kecil sembari menghela napas panjang.
Terlalu rumit perasaan yang harus ia jelaskan. Rancu tak menemukan titik akhir yang menjadi jawabannya. Retta terlalu sayang kepada Atha, sampai-sampai ia tak mau kehilangan. Namun, di sisi lain rasa kasihan pun ada. Retta ingin Atha terbebas dari segala beban yang menyiksanya. Berada di dekap Tuhan yang nyaman dan aman.
Berat rasanya mengikhlaskan seseorang disayang pergi secepat ini.
Namun, ada rasa sakit yang lebih berat.
Setidaknya itu menurut Rendi, lebih berat rasanya melihat seseorang yang disayangi lebih menyayangi orang lain. Melihatnya menangis meraung melihat seseorang yang terbujur lemah di atas kasur rumah sakit. Melihatnya menyatakan rasa sayang pada orang lain di depan mata. Melihat seseorang yang menjadi rumah tempatnya singgah kini merengkuh orang lain.
Ketiganya sakit. Namun, sakit dengan rasanya sendiri.
Karena semesta pun tau, sebuah rasa tidak pernah salah. Namun, semua itu salah seseorang yang merasakan rasa itu.
"Rett, gue ... gue balik dulu ya. Anak-anak udah balik duluan tadi. Katanya gak mau ganggu lo," ucap Rendi perlahan sembari mengukir senyum.
Retta menoleh, menunjukkan wajah lelahnya saat itu juga. "Ya, pulang aja. Gue sendiri di sini gak apa, kok."
Rendi hanya diam, matanya meneliti setiap inci ruangan penuh dengan alat-alat medis. "Oke, gue balik dulu. Jangan lupa makan, udah gue beliin."
"Iya setan."
"Anjir lo emang, tai. Ga bersyukur punya temen sebaik sama sesabar gue." Rendi mengacak pelan rambut Retta yang tergerai. Membuat rambut Retta yang awalnya sudah berantakan semakin tidak karuan.
Sementara Retta yang merasakan hal tersebut mendesah kesal. Matanya sembab tapi tak lagi mengeluarkan air mata seperti tadi. "Rendi ... gimana kalo lo di sini aja? Temenin gue, takut juga sendirian. Nanti kalo ada apa-apa gak ada yang bantuin."
Dengusan malas terdengar di samping tubuh Retta. Rendi dengan rambutnya yang acak-acakan itu menjawab, "Ya, gue temenin," jawab Rendi dengan ogah-ogahan. Pasalnya Rendi tau, ia akan merasakan sakit yang sama. Lagi dan lagi untuk hal yang sama.
Sementara Rendi menggerutu, Retta justru mengulum senyum melihat kelakuan Rendi. "Ah, lo mah, keliatan gak ikhlasnya tau."
"Ya udah, gue pulang. Bye!" Rendi berancang-ancang berdiri, membuat Retta dengan secepat kilat mengarahkan tangannya ke depan, menghalangi Rendi pergi. Matanya mendelik kesal.
"Kalo udah bilang iya itu, ya ditepatin!"
Sementara Retta bergumam asal-asalan menyebut Rendi ini-itu, nampak dua kelopak mata yang sudah lebih dari lima hari lamanya itu tertutup kini mengerjap pelan. Retta yang membelakangi posisi ranjang tempat laki-laki yang sadar tersebut sama sekali tidak menyadari. Ia malah asyik menoyor Rendi keras-keras, entah apa yang telah diperbuat Rendi barusan, sehingga membuat perempuan ini begitu gemas ingin memukulnya.
Sementara itu, Rendi duduk menghadap arah ranjang melebarkan mata. Mulutnya megap-megap seperti ikan yang terlalu lama keluar dari dalam air. Retta yang melihat raut Rendi bergidik. "Lo apaan sih, kekurangan napas, hah?"
"Anjrit, panggilin Dokter! Retta panggilin, cepet!" Rendi berseru nyaring, masih dengan ekspresinya yang seakan-akan kekurangan pasokan oksigen.
Padahal ia hanya kaget melihat Atha yang sudah sadar.
Retta segera bertindak, ia berlari menuju pintu kamar rawat Atha dan berteriak. "Dokter! Temen saya sesak napas!"
Mata Rendi melotot, ia menganga mendengar teriakan Retta yang di luar akalnya. "Gue gak sesak napas, dongo!"
Terlambat.
Satu dokter dengan dua orang suster sudah datang dengan langkah tergopoh-gopoh karena teriakan Retta yang kelewat keras. Rendi mendengus dongkol. Sementara Retta tersenyum lega melihat dokter datang.
Namun satu menit kemudian, Retta mengernyit bingung saat dokter bersama dua suster di belakangnya justru berjalan melewati Rendi. "Loh Dokter kok malah ke―"
"Diem lo! Sini!" Rendi berseru. Wajahnya dibuat galak itu sangat tidak cocok dengan sifatnya yang petakilan.
Kernyit di dahi Retta luntur, ia hendak mengomeli Rendi, namun semua pikirannya langsung kosong saat melihat sepasang mata yang ditunggunya untuk terbuka kini melirik ke arahnya. Jantungnya berdetak lebih keras. "A―Ath―"
"Gak usah sok jadi Ajis Gagap, gercep dikit kek." Lagi-lagi Rendi berseru. Membuat Retta dengan setengah nyawanya bergerak menuju ranjang di mana Atha berbaring.
Sementara dokter yang telah selesai memeriksa kini mengulas senyum. "Pasien sudah sadar. Jika orang tuanya berkunjung kemari, tolong sampaikan pada mereka untuk pergi ke ruangan saya. Saya permisi dulu," ucap Dokter yang menangani Atha seraya melangkah pergi, diikuti dua suster di belakangnya.
Retta membeku di tempatnya.
"Gak usah sok beku. Di sini gak ada salju!"
Bahu Retta turun, tangannya menabok lengan Rendi dengan cukup kencang."Diem, setan! Dasar cowok gak bisa diajak dramatis!"
Atha yang melihat keduanya hanya diam. Tangannya mengepal dengan jempol yang ditenggakkan, kemudian ia memaju mundurkan tangannya di depan mulut. Oh sepertinya dia haus.
"Ini juga sok bahasa isyarat!" Rendi berdiri, mengambil air mineral yang ada di meja sebelah ranjang Atha, lalu menyodorkannya pada pemuda itu.
Atha mengehela napas keras saat selesai dengan minumnya. "Hai," sapanya dengan suara serak. "Gue bukannya sok isyarat, tadi gak bisa ngomong, njrit."
Retta masih diam, mengamati lekat-lekat wajah itu. Seakan mencari sesuatu di sana. Sedangkan Atha yang merasa diamati melirik seraya tersenyum geli.
"Masih ganteng kok, tenang aja." Atha menggerakkan tangannya, mengode Retta supaya mendekat, namun Retta masih saja diam tidak merespon.
"Jangan sok jadi patung! Muka lo lebih cocok jadi alien!"
Terdengar suara kekehan tidak merdu dari arah ranjang. Membuat Retta mengerjap pelan, lalu berjalan mendekat ke arah ranjang dengan mata harap-harap cemas. "Akhirnya lo sadar," ucap Retta dengan lega.
"Gue emang ngangenin."
Senyum di wajah Rendi dan Retta menghilang. Mereka berdua saling menoleh kemudian berkata dengan wajah mual, "Menjijikan."
◀▶◀▶
An//
halo semuanyaahhh😂 uas udah kelar lhoo😽 ehem, buat yang nagih update /lirik kanan kiri/ ini deh ya, syukuri aja /plak/ dadah!💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top