xxiv
Mencintaimu itu seperti kapal berlayar, terombang-ambing di atas lautan, tanpa kepastian akan sampai pada pelabuhan.
Di tengah kegalauan,
Adisila-
◀▶◀▶
Semilir angin menerpa wajah Retta. Semerbak bau tanah setelah diguyur hujan menyeruak masuk ke dalam indra penciuman. Ia menyentuh kamera yang berada di genggaman. Mengamati setiap foto yang ada di dalam benda itu. Tubuhnya yang lelah, ia sandarkan pada pohon.
Sudah tiga hari berlalu semenjak kejadian Atha yang menjauhinya. Sedikit demi sedikit hatinya merasa kosong. Seperti tak berpenghuni, dan semenjak tiga hari yang lalu, Retta tak lagi melihat wajah pemegang kunci hatinya.
Hatinya sudah bergejolak menahan rindu yang terpendam dalam diam. Menatapi setiap gambar yang membuat rindunya sedikit terobati. Dalam hati, Retta terkekeh pelan, ini hanya tiga hari, tapi Atha mampu membuatnya seperti ini. Bagaimana jika selamanya?
Bahkan, ia sudah terlalu dalam jatuh kepada Atha.
"Karena yang gue sayang cuma dia," ujarnya pelan. Keheningan menjadi kawan.
Menahan rindu yang tak berujung membuat Retta lelah. Batinnya goyah untuk menerima. Ingin ia meninggalkan semua rindu yang membuat dirinya seperti orang gila.
Retta menghela napas. Ia beranjak, kakinya menapaki tanah dengan gusar. Lelah terasa saat yang disayangi pergi tanpa pasti. Meninggalkan kerinduan yang teramat dalam bagi seseorang di sini.
Di sisi lain, laki-laki yang dirindukan sedang terbaring lemah di atas ranjang Rumah Sakit. Tangisan pilu terdengar di seluruh penjuru ruangan tanpa terkecuali. Suara nyaring elektrograf menjadi bunyi yang menemani. Mata yang terus menutup tanpa berniat terbuka walau sedetik.
"Kamu harus bangun, Nak." Lirihan itu, lirihan seorang ibu yang terpuruk melihat anaknya yang tak sadarkan diri. Tangannya mengelus puncak kepala anaknya dengan lembut, seakan ia takut lebih menyakiti anaknya.
Kedua laki-laki dalam ruangan itu mendekat. "Ma, Atha bakal baik-baik aja. Arez yakin." Kemudian, satu tangisan pecah dari seorang gadis yang baru saja menginjak bangku SMA. Bahunya bergetar hebat.
"Kenapa dia gak bilang dari dulu kalo dia sakit? Kenapa dia harus berjuang sendiri ngelawan penyakit itu?" Ia meluruh, tangan lembutnya membekap mulutnya.
"Mama butuh istirahat." Arez menyentuh pundak ibunya pelan. Kemudian, menatap ayahnya dan berkata, "Papa sama Mama pulang aja, ya. Biar Arez sama Thaliee yang jaga Atha."
"Papa percayain semua sama kamu, Atharezz."
Arez mengangguk patuh, kakinya melangkah menjauhi ambang pintu. Sejenak, ia sempat melirik pada adik perempuannya yang tengah menatap kosong ke depan. Didudukinya kursi di samping Thaliee dengan tenang. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan yang lain saat mengetahui adik laki-lakinya menderita penyakit kronis.
"Thal, everything is gonna be alright."
Thaliee mengusap wajahnya kasar. Sejenak kedua bola matanya menatap ke arah ranjang di mana Atha berada. Namun, ia segera memalingkan wajah karena tak sanggup melihat. "Bang, ayo keluar," ajaknya dengan suara serak.
Arez mengangguk. Kemudian, ia merangkul tubuh adiknya itu dengan halus. "Thal, temen-temen si Atha di sekolah tau masalah ini, gak?"
Thaliee menoleh. "Ya kagalah, gue aja baru tau," ketusnya sambil mengusap ingus.
"Biasa aja, gak usah nyolot. Ingus benerin dulu, tuh," balas Arez sambil menjitak kepala Thaliee.
Sejenak, keduanya terdiam, kemudian saling menatap satu sama lain. Suara tawa mengintrupsi mereka untuk terdiam. Alis Arez terangkat satu. "Lo denger kan, Thal?"
Thaliee mengangguk, berjalan mengendap-endap menuju asal suara. Matanya menelurusi setiap jengkal tempat ini. Suara tawa itu semakin terdengar jelas di malam yang sunyi ini. Arez menggaruk tengkuknya pelan. "Serem, heh. Ayo dah balik aja."
"Harusnya gue yang takut, Bang!" Thaliee melotot. Kemudian dijitaknya kepala Arez dengan keras.
Arez mengusap pelan kepalanya yang menjadi korban kekerasan Thaliee. "Ya udah, gue aja yang liat itu suara siapa," ucap Arez sok berani. Matanya melihat dengan liar ke sana ke mari. Hembusan napas menggelitik telinga Thaliee.
"Bang," lirihnya pelan kepada Arez yang berjalan mengendap-endap. "Kita kayak apaan tau."
Arez menoleh. "Kita? Duh, baper gue."
"Anjrit, malah salah fokus," gerutu Thaliee pelan.
"Lo udah kasih racun kan, ke dia?" Samar-samar terdengar suara yang menggema di antara lorong-lorong rumah sakit yang kosong. "Bagus, tinggal tunggu dia mampus aja."
Arez mengerenyit mendengarnya. Orang itu tega meracuni orang sakit? Yang benar saja! "Thal, lo denger, kan?" Bebarengan dengan pertanyaan Arez kepada Thaliee, terdengar suara tapak kaki yang kian menjauh.
Dalam lirikan mata Arez, ia melihat Thaliee mengangguk ragu. Wajahnya terlihat pucat. "Bang, gue takut," ucapnya pelan. Keringat mulai bercucuran dari pelipisnya. Tak ada lagi kilatan berani di mata Thaliee.
"Ya udah, ayo balik." Dan setelah itu, sebuah pekikan nyaring terdengar oleh telinga keduanya.
"PASIEN KAMAR VIP NOMOR DUA PULUH KRITIS!"
Kamar rawat Atha.
Jantung keduanya mencelos. Arez segera berlari dengan sekuat yang ia bisa. Kali ini, Arez benar-benar membenci dirinya sendiri.
Ia tak bisa menjaga adiknya, dan juga amanat dari ayahnya.
◀▶◀▶
Retta kembali men-scroll pesan-pesan dari Atha dengan mata menerawang. Diputarnya kembali voice note yang dikirimkan Atha kepadanya. Suara bass halus yang ia rindukan kini terdengar di balik earphone yang tersumpal di telinganya.
"Kakak cantik, makan yok!"
Retta menghembusakan napas jengah. "Nanti gue turun sendiri."
Azki yang mendengar suara lesu Retta di balik pintu hanya bisa mendengus pasrah. "Ya udah."
Dihirupnya oksigen yang ada di sekitar, Retta mengikat rambut yang tadinya berantakan menjadi cepolan yang tinggi. Ia melempar ponselnya ke sembarang arah. Tau akan kesalahan, Retta kini berdiri tegak dengan tegar. Tidak seharusnya ia terpuruk hanya karena ini. Ia akan bertindak, bukan hanya gegana tanpa kepastian. Retta akan berusaha mencari.
"Azki tungguin!" teriak Retta keras yang dibarengi suara langkahnya yang tergesa-gesa menuruni tangga.
"Eh, Adek gue udah balik normal lagi, cie." Rengga menaik-turunkan alisnya jahil. "Taulah yang lagi galau kesepian sampe garuk tembok," lanjutnya sambil terbahak.
Azki yang mendengar itu ikut menggoda kakaknya. "Masa tadi gue ke kamar dia denger suara Kak Atha nyanyi. Cie, cie." Ia mengerlingkan matanya jahil.
Seketika itu juga aku menyesal terhadap keputusanku untuk turun ke bawah. "Cot."
"Hew, galak amat." Azka yang tadinya sedang meminum teh kesukaannya tiba-tiba ikut menyahuti. "Udah Kak, ayo makan. Jangan dengerin duo setan itu," ucap Azka luwes.
"Dirimu di hatiku tak lekang oleh waktu, meski kau bukan milikku." Lirik lagu yang dinyanyikan Rengga sontak membuat Retta mendengus keras. Merasa tersindir.
"Makanya cepet taken. HTS-an mulu ya capek kali." Azki berceletuk santai.
"Ih! Tau ah, balik ke atas gue," ujar Retta ketus, tak lagi bersahabat sebelum ketiga laki-laki itu menjahilinya.
Dengan kesal, Retta kembali menapakkan kakinya menuju tangga. Mood yang sudah ia bangun sebisa mungkin hancur lebur hanya karena sebuah candaan. Dia tau, itu memang candaan yang harusnya tidak dianggap serius. Tapi memang keadaannya yang sedang buruk. Itu mempengaruhi segalanya, termasuk sikap Retta.
◀▶◀▶
An//
late late late :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top