xxiii

"Rendi."

Yang dipanggil menoleh cepat. "Yak, cogan di sini."

Retta memutar bola matanya bosan, kemudian berkata, "Kupluk lo nih, tadi nyangkut."

"Eh iya, nyangkut di hati lo bukan?" tanya Rendi sembari memakai kupluk hitamnya.

"Buset, ke dokter jiwa sana."

"Lah ngapain? Jiwa gue baik kok, selama lo di sisi gue," ucapnya sambil terkekeh.

"Siap dipermaluin di depan umum, Ren?"

"Lah, dia mana punya urat malu," celetuk seseorang di belakang Retta.

Gadis yang baru saja pulih dari lukanya itu tersenyum lebar. "Hai!" sapanya ceria.

"Halo, cantik." Atha mengedipkan sebelah matanya, hal itu membuat Retta terkekeh geli.

Figuran bisa apa. "Gue cabut ya."

"Sip, bro." Atha menyahuti ceria.

"Rendi kenapa lagi, sih? Sumpah dia makin dingin," celetuk Retta kesal. Pasalnya, menurut Retta, banyak perubahan yang terjadi pada diri Rendi. Bukan dari segi fisik, tapi perilaku. Mulai dari sifat konyolnya yang kian memudar, sifat jahilnya pun juga. Dia juga sering menghindar dari Retta ketika Atha menghampirinya.

"Lo perhatian banget sama Rendi, sama gue aja gak segitunya." Atha mengehmbuskan napas jengah.

Dengan kesal, Retta membalas perkataan Atha, "Dia kan temen gue, jelas gue peduli, jelas gue perhatian. Masalah Rendi tuh gak sedikit, Tha. Harusnya lo paham!" ucap Retta sedikit membentak.

"Tapi, gue gak suka."

Retta menghela napas frustasi. "Gue tau, tapi Rendi, dia butuh seseorang buat berbagi."

"Terserah lo." Atha membalas sinis.

"Lo kok ngeselin sih. Beban lo tuh sedikit, hidup lo dikelilingi orang yang sayang sama lo."

Deg.

Beban lo tuh sedikit.

Sedikit.

Perkataan itu membuatnya tertawa miris. "Sedikit lo bilang? Harusnya, lo mikir dulu kalo ngomong."

Atha meninggalkan Retta yang menatapnya tajam. Harusnya, Retta menyadari, bahwa sebenarnya hidup orang tidak luput dadi beban. Atha, beban yang ia tanggung sendiri sudah cukup berat. Tapi ia tak ingin membaginya dengan siapa pun. Ada kalanya, orang yang dianggap memiliki beban paling sedikit, nyatanya ia yang memiliki beban paling banyak.

"Ih, salah gue apa coba," gerutu Retta pelan. Ia tidak tau di mana letak kesalahan yang ia buat. Tidak tau, bahkan tidak menyadari bahwa perkataannya menusuk relung hati. Semua orang sering berkata seolah-olah perkataannya hanya lelucon belaka. Perkataan biasa, tidak berpengaruh dalam. Tapi tahukah? Banyak hati tersakiti atas perkataan yang menurut kalian biasa itu.

Semuanya akan tersimpan sendiri.

◀▶◀▶

"Leh ugha semangat kalian, padahal ini udah jam dua belas malem, tapi wajahnya masih pada semriwing." Rengga memegang microphone sambil terkekeh geli. Ia melanjutkan perkataannya, "Jadi yang main pertama adalah kelompok enam, yay! Buat kelompok enam silahkan maju."

Kelompok yang ditunjuk sempat berteriak histeris untuk sesaat. Lalu, saling mendorong untuk menentukan siapa yang akan berjalan di depan. Klasik.

"Kalian udah gede, gak usah dorong-dorongan!" Tere berteriak lantang. Akhirnya, mereka pun maju dengan wajah merah padam.

"Jadi gue tantang kalian buat nyanyi lagunya pacar gue," tantang Tere misterius. Pasalnya, semua orang tau, bahwa Tere selama ini tidak memiliki pasangan. "Pacar gue yaitu, Justin Bieber!"

"NAJIS, TERE!"

Semua pasang mata yang mendengar itu terbahak, sedangkan Tere cemberut. "Rengga, ngeselin lo, ya!"

"Lagu yang Love Yourself, ya, yang bisa silahkan maju."

Seorang laki-laki tampan dengan rambut acak-acakan berwarna cokelat pekat maju sembari memegang gitar. "Hai, gue Alaric. Gue di sini mau nyanyi Love Yourself dari JB."

Ia mulai memetik gitarnya, beberapa perempuan mulai mengeluarkan ponselnya untuk mengambil gambar.

Semua pasang mata memperhatikan Alaric yang sedang bersenandung dengan suara beratnya. Dan juga petikan dari gitarnya yang membuat penampilan Alaric semakin menghipnotis.

Cause if you like the way you look that much

Oh, baby, you should go and love yourself

And if you think that I'am still holdin' on to somethin'

You should go and love yourself

Tere yang mendengar lagu penyanyi favoritenya dinyanyikan oleh seoarang laki-laki tampan itu pun memekik senang. Sesekali dirinya ikut bernyanyi-nyanyi kecil.

Berbeda dengan Tere, gadis bermata hitam tajam itu hanya berdiam diri dengan tatapan kosong ke depan, matanya memang memperhatikan Alaric yang sedang bernyanyi serta bermain gitar. Tapi, pikirannya sudah melambung kemana-mana. Kamera yang ada pada lehernya hanya dibiarkan menggelantung bebas, tidak sepeti biasaya, ia sibuk mengambil gambar dengan semangatnya yang membara.

"Atha," ucapnya lirih.

Rasanya hampa jika Atha menjauhinya. Apa perkataan yang ia lontarkan terlalu kasar sampai berakibat seperti ini? Rumit.
Di tengah kegalauannya yang menyiksa, tiba-tiba seseorang menepuk bahu Retta pelan. "Galo aja, Neng."

Retta mendengus pelan, tanpa menoleh sekali pun, ia tau siapa seseorang yang ada di dekatnya. Rendi. Ya, itu pasti. Dengan kesal Retta menarik kupluk hitam yang terpasang pada kepala Rendi. "Rasain!"

"Lagi dong Rett, tangan lo wangi," ucapnya dengan mata berbinar.

"Ngaco lo, tengil."

"Gue mana pernah boong, sih." Rendi menjawab bangga, tapi sedetik kemudian ia mengingat kebohongan yang telah ia lalukan kepada Retta, bahwa ia yang telah menolong Retta, bukan siapa pun. Meskipun Rendi yang menolong, tapi itu semua atas kemauan Atha, ia tidak bisa ikut mencari Retta karena sakit. Tapi, biarlah. "Pernah sih gue boong," lanjut Rendi sambil menggaruk lehernya.

Retta membekap mulutnya. "Pfftt."

"Dih. Lagipula, boongnya gue kan demi kebaikan juga." Rendi mencibir.

"Boong mana ada yang baik?"

Rendi hanya diam, kemudian ia menghempaskan diri di sampingku, lalu tak lama beban yang berat terasa di pudakku. Ya, itu kepala Rendi. "Pinjem bentar, Rett."

Aku hanya diam. Kemudian, menjatuhkan kepalaku di atas kepalanya. "Gue juga, Ren."

Dalam posisi seperti ini, rasa nyaman menjalar ke seluruh tubuhku. Rasanya hangat, nyaman, semua masalahku terasa hilang hanya karena Rendi.

"Jangan pernah jauh dari gue, Rett," ucapnya pelan. Tapi aku bisa mendengarnya. Aku merasakan kepalaku terangkat. Padahal, aku sudah nyaman. Ketika hendak protes, Rendi mendelik ke arahku. Ia kemudian memindahkan kepalaku di pundaknya.

"Biar gak sakit, kepala gue kan keras," ujar Rendi.

"Emang dipikir pundak lo gak keras?"

"Ya keras sih, tapi kan lebih enak gini."

Retta mengangguk. "Sekarang kelompok berapa?" Ia memejamkan matanya, mencari posisi lebih nyaman.

Rendi menggeleng, tidak tau harus apa. Karena, jantung Rendi sudah ingin keluar dari tempatnya. Bau jeruk itu, sial.

"Liat aja." Rendi menyipitkan matanga untuk melihat siapa yang sedang tampil di atas panggung. Bukannya itu Ayu dan Bagas?

"Eh, Rett. Itu Ayu sama Bagas, kan?" tanya Rendi heran.

Retta tetap menutup matanya. "Lah terus kena―" Retta terlonjak dari posisinya. "Berarti, sekarang waktunya kelompok kita!"

Rendi mengangguk polos. "Iya."

Sedangkan Retta kelabakan. "Aduh, gimana nih, kita diapain nanti sama Bagas, duh. Rendi, gimana," cerocos Retta.

"Alay."

Jawaban Rendi membuat Retta melotot. "Lo tuh bego atau goblok, sih?"

"Ganteng."

Hembusan napas lelah terdengar dari Retta. Ia kembali pada pundak Rendi, mengatur detak jantungnya yang berdetak cepat karena khawatir. "Gue berantem sama Atha."

Rendi menghela napas lega. Ia cukup sena―oh, tidak. "Kenapa? Pasti yang salah lo."

"Gue gak ngerti letak salahnya," jawab Retta kesal.

"Ya, lo kan emang gak peka." Rendi berkata dengan santai, lalu ia menunduk menatap Retta yang melotot padanya. "Ups."

Tidak mengerti dengan masalah Retta dan Atha, Rendi hanya diam. Pikirannya melayang pada semua hal yang ada pada hidupnya. Menggali ingatan memorinya yang sekelam malam. Karena tidak ada alasan Rendi tetap bertahan kecuali wanita yang sedang terlelap di pundaknya. Hanya dia.

◀▶◀▶

An//

Jangan timpukin aku gays, plis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top