xviii

First day camp.
.
.
.
.
.
.
.

Narendi: lo semua di mana? Cepet keles, gw kesepian.

Azri: cot.

Azri: gw udah otw kok, Ren. Tunggu aja.

Nizar: gw kayaknya g ikut deh.

F. Atha: alay banget lo pada.

Narendi: jalanin motornya jgn cpt2, lgpl bisnya blm dtg.

F. Atha: jangan disingkat, gue mana ngerti.

Nizar: gw g ikt.

Azri: peduli gw apa, Zar.

Nizar: o gt y lo skrng.

F. Atha: ANJRIT, JANGAN DISINGKAT. GAK NGERTI GUE!

Narendi: derita lo.

Narendi: trs gw peduli gt.

Narendi: apa cm gw yg udh dtg ke sekolah?

Azri: lo yg dtg kepagian bego.

Narendi: gw kan g mau telat.

Nizar: y g gt jg bego. Lo dtg jm lima, kan d srhnya jm tujuh.

Narendi: pokoknya gw g mau tau, cpt dtg.

Azri: gw br aja abs solat subuh. Skrng mau mandi.

Nizar: ktnya udh otw.

Azri: biar Rendi sng gt. Jd gw blg aja udh otw.

Narendi: jahat lo Zri sm gw.

F. Atha: alay lo pada. Ngeselin lagi.

Narendi: gini-gini gw ngangenin y.

Azri: lo bnrn g ikut, Zar? Nnti gw sm sp dong?

Narendi: yg pntng kn gw ikt, Zri.

Azri: nnti g ada yg normal, Ren.

F. Atha: astaghfirullah.

Narendi: lo pikir Nizar normal?

Azri: g jg sih.

Nizar: gw ikt deng.

Tista: udah solat belum?

Azri: udh Tista.

F. Atha: kalian udh smpe blm? Gw msh drmh, lgpl msh jm stgh enam.

Narendi: cie bisa.

Azri: cie bisa (2)

Nizar: cie bisa (3)

Narendi: Ya Allah, Lendi telhalu. Akhirnya cobat Lendi bica.

Azri: alay lo, Ren.

Nizar: alay lo, Ren (2)

F. Atha: berisik, bisa diem gak sih!

Nizar: atut, aw.

Narendi: lo semua cpt ke sklh, gw tkt d mkn setan.

*F. Atha left the grup.*

*Azri left the grup.*

*Nizar left the grup.*

*Tista left the grup.*

"Anjrit! Punya temen kayak tai semua!" Rendi merasa ingin membanting ponselnya ke tanah sekarang juga.

Dia tau ini salahnya. Datang terlalu pagi karena dia tidak betah di rumah. Datang ke sekolah saat subuh memang bukan hal yang baik. Tapi, menurut Rendi, itu hal yang baik. Karena dia bisa melihat matahari terbit dari atap sekolah.

Datang ke sekolah saat subuh juga hal buruk untuk Rendi. Karena ia takut hal berbau mistis. Ia mengganggu teman-temannya untuk menghilangkan rasa takut. Rendi mulai mencari-cari kontak seseorang yang sekiranya dapat ia hubungi.

Adsila C. J.

Dia menemukan kontak itu. Kontak dari wanita yang sudah memikat hatinya sejak pertama. Tapi, ia selalu menepis rasa tersebut, dia selalu mencoba menghilangkan rasa yang menyelimuti lubuk hatinya. Rendi hanya seorang pelindung, pelindung ketika semua meninggalkan Retta. Apa yang harus ia perbuat? Tidak ada, kan. Rendi hanya bisa diam ketika wanitanya dengan yang lain. Dia tidak mau siapapun mengetahui rasa yang ia miliki. Dia akan bertahan dengan semua rasa sakit yang sedikit demi sedikit menghunjami hatinya.

Narendi: RETTAA.

Dua menit kemudian ponsel Rendi berdering.

Adsila. C. J: p?

Rendi berdecak. Singkat amat, anjir. Dia membatin.

Narendi: udh brngkt blm?

Adsila C. J: blmlah anying, gila apa lo jam segini brngkt.

Narendi: gw udh di sklh.

Adsila C. J: LO GILA APA? BARU SETENGAH ENAM PAGI!

Narendi: yg blng ini sore jg siapa?

Narendi: gw udh di sklh dr subuh, tau.

Adsila C. J: gw tau lo ank rajin. Tp, ya ga sgtnya kali, Ren.

Narendi: mls gw di rmh.

Adsila C. J: o sangad.

Narendi: bangsay. Cepetan setan.

Adsila C. J: iye.

Narendi: kiss jauh. muah.

Read.

*Adsila C. J mengirim suara.*

"GILAAAA!"

Rendi tertawa mendengar pekikan itu. Dia memang benar-benar moodbooster untuk Rendi.

Matahari yang mulai menampakkan diri itu menjadi saksi. Merekahnya senyuman karena wanita paling ia sayangi.

Kemudian, untuk menghilangkan kebosana dan juga ketakutan yang menyergapnya. Rendi mengeluarkan headset dari saku baju yang ia kenakan. Tidak membutuhkan waktu lama, ia sudah tenggelam dalam lagu yang ia dengar. Rendi memejamkan mata. Sesekali mulutnya berkomat-kamit mengikuti lirik lagu.

"Gue tau lo suka sama Retta." Perkataan sinis sekaligus dingin itu membuat Rendi terlonjak dari duduknya.

Rendi menatap wanita di depannya dengan tajam. "Terus, kalo lo tau, lo mau apa?" Rendi tersenyum miring.

"Liat aja, gue akan ngelakuin sesuatu hal yang gak terduga sama cewek pujaan lo itu." Wanita itu―Annabelle tersenyum bengis.

Rahang Rendi mengeras. "Lo dan nama lo, emang pantes disamain sama boneka setan itu." Rendi berjeda. "Kalo lo berani sakitin dia, bahkan, sehelai rambut aja, lo sama aja cari mati sama gue."

Abel tersenyum miring. "Kita liat aja, siapa yang bakal mati nanti." Abel meninggalkan Rendi yang terdiam di tempatnya.

"SEGITU TEROBSESINYA LO SAMA ATHA!"

Hanya angin yang membalas teriakan Rendi. Kini, ketakutan untuk kehilangan gadis tersebut semakin bertambah. Maksudnya, Rendi bukan takut kehilangan gadis itu karena ia telah jatuh ke dalam rengkuhan laki-laki lain. Tapi, ketakutan untuk kehilangan gadis itu, selamanya.

◀▶◀▶




"Akhrinya kalian dateng juga." Mata Rendi berbinar saat melihat ketujuh temannya yang sudah sampai di hadapannya.

F

eeyla berdecak. "Biasa aja kali."

Atha merangkul Retta. Perbuatan yang di lalukan Atha itu membuat hati Rendi sedikit terpukul dalam senyum cerahnya. "Pacaran mulu."

"Rendi, sini sama Om." Nizar mengedipkan sebelah matanya.

"Najis."

"Alah, sok-sokan najis. Orang lo biasa lebih parah dari gue." Nizar mencibir.

Rendi melotot. "Apaan, kan lo yang biasanya ngajakin gue ke mall cuma buat ngeliatin daleman cewe. Nyadar diri! Dasar mesum, cih."

"Itu kan lo yang nyontohin!" Nizar mengelak.

"Iya sih." Rendi menggaruk rambutnya. "Tapi kan lo lama-lama yang ketagihan, gue sih biasa aja."

"BERISIK LO BERDUA! DASAR HOMO! KURANG BELAIAN!"

Keduanya―Nizar dan Rendi berdecak."Dasar tai.

"Udahlah, jangan berantem mulu." Tista menengahi perang mendadak. "Sha." Keisha yang sedang berkutat dengan ponselnya kini mendongak menatap Tista seolah-olah mengatakan 'apa'.

"Ke bis aja, ya." Tista mengamit tangan Keisha. Lalu, membawanya ke dalam bis.

"Fee." Kini giliran Azriel yang memanggil kekasihnya. "Kamu bis dua, kan? Sama aku?" Feeyla hanya mengangguk. "Ya, udah, sini tasnya aku bawain."

"Lo, lo, dan lo, bis berapa?" tanya Rendi.

"Satu."

"Tiga."

"Satu."

"Yah, Retta kok bis tiga, sih?" Atha cemberut.

"Mana gue tau," jawabnya singkat. "Lo bis berapa, Ren?"

"Tiga." Rendi hanya menjawab dengan datar. Tapi, ketauhilah, bahwa hatinya sedang berbunga-bunga kali ini.

"Zar, yok ke bis!" ajak Atha, yang hanya di balas anggukan oleh Nizar.

"Dah, see you again."

Rendi mengambil tas punggung Retta dan memasukkannya ke bagasi bis. "Ya udah yok, kita ke bis. Duduk sama gue, ya."

Gadis berbalut baju putih panjang itu mengangguk. "Gue duduk di pinggir jendela."

Setelah menduduki tempat duduknya, kedua remaja itu saling terdiam. Rendi mencoba memulai percakapan, tapi sedari tadi usahanya tidak berhasil. Mulutnya sesekali terbuka, namun dengan sigap ia kembali menutup mulutnya. Dalam hati ia mengumpat keras, Rendi tidak pernah segugup ini berdekatan dengan wanita. Apalagi, wangi jeruk dari rambut gadis di sebelahnya ini membuatnya setengah mati menahan nafsu. Nafsu untuk tidak segera menyosor gadis ini.

Setelah beberapa kali menghembuskan napas. Akhirnya Rendi berbicara. "Rett."

Hanya satu kata, tapi, itu sudah membuat Rendi gugup. "Apa, Rendi?" Retta mendongak, wajah polosnya membuat Rendi gemas.

"Gak apa, sih. Tumben bisa diem."

Retta mendengus. "Harusnya gue yang bilang gitu ke lo, Ren."

"Gue gak pengen ngomong aja."

Kemudian, dengan santainya Retta berbisik kepada Rendi. "Lo bisa cerita ke gue, gue bisa jadi pendengar yang baik."

Perut Rendi terasa mulas seketika. "Eh, iya."

"Perasaan gue aja, atau emang lo lagi gugup sekarang?" Retta mentap Rendi dengan sorot mengintimidasi. "Ke mana perginya Rendi yang konyol dan rame, huh?"

Rendi menjitak kepala Retta pelan. "Jangan tatap gue kayak gitu." Dia berjeda. "Kayak lagi diintrogasi polisi tau, gak."

Retta mengusap kepalanya. "Ya, abis lo gitu." Ia mengerucutkan bibirnya.

"Gue kenapa?"

"Lo ganteng." Retta menggumam pelan. Tapi gumaman itu masih bisa Rendi dengar.

Rendi menahan senyum. "Gak denger gue."

"Lo jelek," jawab Retta sebal. Rendi pun tertawa mendengarnya.

"Lo cantik, imut, lucu, baik," ucapan Rendi membuat Retta menoleh dan tersenyum lebar. Hatinya berbunga-bunga. "Tapi ngeselin."

Seketika itu juga bunga tersebut mati. "Mati aja lo sana. Dasar php."

"Php apa sih? Kenyataan itu mah," ucap Rendi disertai kekehan.

"Mending dengerin lagu, daripada dengerin lo ngomong. Ngeselin. Bikin bete," Retta mengeluarkan headset dari tas selempang yang ia bawa.

"Rett."

"Hhmm, apaan sih?"

"Gue nanya boleh, ya?"

Retta menoleh. "Lo kayak ngomong sama siapa aja, sih."

"Ya gak gitu," katanya.

"Nanya apa?"

"Apa perasaan lo, kalo misal nih ya, lo itu suka sama cowok. Tapi, cowok yang lo suka itu suka sama cewek lain. Dan, cewek yang di sukai cowok yang lo suka itu juga suka sama cowok yang lo suka." Rendi berdecak. "Belibet banget sih gue nanyanya."

"Suka everywhere," Retta bergumam. "Perasaan gue? Sakit. Nyesek. Iri. Bahagia."

Dahi Rendi mengkerut. Retta yang menyadari itu terkekeh. "Ini perumpamaannya gue kan yang ngerasain? Maksud gue itu, sakit, kan rasanya kalo liat mereka bareng-bareng, becanda, rangkulan, ketawa berdua. Pasti sakit. Nyesek juga, kan liat cowok yang gue suka gak lihat ke kita, dia gak pernah liat ada penunggu setia buat dirinya. Yang tulus, selalu merhatiin dari jauh. Tapi apa yang gue lakuin? Gak ada. Gak ada.

"Iri? Gue iri disaat cowok yang gue sukai sama cewek lain. Gue disini berharap dia punya rasa yang sama kayak gue. Sedangkan cewek itu? Dia beruntung, dia dapet rasa sayang dari cowok yang gue sukai. Bisa bayangin betapa irinya gue. Gue juga pengen jadi cewek itu.

"Tapi, di balik itu semua. Gue bahagia, karena cowok yang gue sayang bahagia. Bahagia dengan pilihannya. Karena, bahagianya dia juga bahagianya gue. Meskipun, sumber kebahagiaan dia bukan gue."

Rendi terdiam mendengar penuturan Retta. Entahlah, dia merasa semua yang di katakan Retta benar.

"Kenapa, Ren? Lo takjub ya sama gue. Gue bisa jadi Mario Teguh dalam beberapa menit yang lalu." Retta mengerlingkan matanya jahil.

"Enggak," jawaban Rendi membuat Retta cemberut.

"Tapi, gue bahagia punya lo. Lo selalu ada buat gue. Lo selalu ngasih saran, lo selalu dengerin gue. Apa pun masalah yang gue ceritain ke lo, lo selalu bisa nenangin gue. Makasih ya, makin sayang gue sama lo." Rendi tersenyum.

"Duh, terharu. Udahlah jangan galau. Ini itu, saatnya kita refreshing bukan waktu buat galau. C'mon my bro!"

Lalu, keduanya tertawa.

◀▶◀▶


"WOAH! HIJAU, BIRU DI MANA-MANA! SUKA!"


Rendi yang di sebelah Retta hanya menggeleng. "Dasar norak."


Sejauh ini. Masih ada satu bus yang sampai di lokasi perkemahan. Bus satu dan dua masih di perjalanan, keterlambatan peserta camping menjadi sebab utama.

"Pak, saya keliling dulu boleh, ya?" Retta bertanya kepada salah satu guru yang bertanggung jawab atas siswa maupun siswi yang berada dalam bus tiga.

"Boleh. Tapi, jangan jauh-jauh. Di sekitar sini saja," jawabnya.

"Oke sip, Pak. Permisi."

Retta menarik tangan Rendi. "Ayok keliling. Pasti ada danau, kalo nggak sungai, kalo nggak air terjun. Bayangin air birunya itu, seger banget pasti. Apalagi ditemenin cogan, ya gak?" Retta menaik-turunkan alisnya.

"Lo bahagia amat, sih."

"Hidup tuh di bawa bahagia, jangan di bawa susah," jawabnya sambil menendang batu kecil. "Ih, ada air terjunnya. Pengen berenang kan jadinya," lanjutny dengan nada memelas..

"Ya, udah, sono. Hush, hush. Gue mau balik. Dah." Rendi membalikkan badannya.

"JAHAT!"

Retta mengikuti langkah Rendi. "Jahat."

"Biarin. Yang penting ganteng."

"Alay. Jahat. Ngeselin."

"Cogan mah bebas."

"Ya udah."

"Biarin."

"Biasa."

"Ini udah biasa."

"Alay."

"Cempreng."

"Tukang galau."

"Baperan."

"Tai."

"Kampret."

"Jones."

"Nyadar diri."

"Kurang belaian."

"Yang penting happy."

"Babi."

"Kambing."

"Monyet."

"Dasar pecinta kebun binatang."

Retta memukul lengan Rendi dengan keras. Lalu, tak lama keduanya tertawa.

"Asli, lo gak jelas banget." Retta terkekeh pelan.

"Lo, sih. Mood berubah mulu. Tadi jutek, terus tiba-tiba bijak. Tadi heboh, abis itu alay, barusan ngambek, sekarang ketawa. Mau lo apa?"

"Cecan mah beb―" suara dering telpon memitong perkataan mereka. "Bentar, Ren."

Rendi hanya bisa mengangguk.

"Ya?"

"...."

"Udah nyampe semua?"

"...."

"Gue lagi di air terjun sama Rendi. Iya, gue balik sekarang. Bye." Retta kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku baju.

"Siapa yang nelpon?"

Retta menjawab. "Atha."

Harapan Rendi seketika runtuh mendengar satu nama. Dia tidak berniat mengambil kebahagiaan sahabatnya itu. Tapi, ia hanya ingin merasakan rasa bahagia bersama seseorang yang ia sayangi. Walaupun tidak lama.

"Ya udah. Yok balik!"


◀▶◀▶


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top