xvii
Aku tau, bahwa pada akhirnya aku harus merelakanmu dengan yang lainnya. Aku harus rela, saat kedua kakiku sudah tidak menapak tanah lagi.
Dalam ketidakrelaan,
Fairel-
◀▶◀▶
Atha menepuk pipi gadis di kursi penumpang itu dengan pelan. Sebenarnya, ia tak tega membangunkan gadis mungil ini. Hmm, julukan mungil tidak pantas diberikan kepada gadis ini. Dia tinggi semapai, bahkan tingginya hampir sama dengan Atha, yang notabene-nya adalah anak basket. Mungkin saat kecil dia sering direbutkan oleh keluarganya, maka dari itu banyak tarikan yang membuat gadis ini semakin tinggi.
Atha hanya terkekeh sendiri menyadari pemikiran ngawurnya.
"Retta bangun, udah nyampe, lo mau sampe kapan tidur?"
Gadis berbaju rajut itu hanya menggeliat sambil merubah posisi. Tidak berminat untuk bangun. Atha yang sudah sangat lelah, dan juga pusing yang sedari tadi mendera kepalanya, hanya bisa duduk bersandar di jok mobil. Mengamati kembali setiap lekuk wajah gadis di sampingnya.
Bibir tipis, bulu mata lentik, hidung kecil yang mancung, dan yang paling Atha sukai adalah mata tajamnya. Sayang sekali, mata hitam tajam itu sedang tertutup.
"Kenapa lo secantik ini sih? Terus gue kapan move on kalo kayak gini?" Atha mengacak-acak rambutnya.
"Irel, jangan gangguin Sila terus, kasian dia. Lagipula, Sila kan pacar kamu." Retta berceloteh ria dalam tidurnya.
Irel dan Sila nama kecil mereka yang berharga. Bahkan, banyak kenangan yang terasusun rapi dalam sebuah peti mungil. Ya, peti itu disimpan oleh salah satu dari mereka.
Dan kalung unicorn itu, tak lain adalah kalung antah berantah yang Atha temukan di pesisir pantai. Awalnya, Atha terkesima dengan pancaran elok yang kalung itu tunjukkan. Tidak ada aliran listrik yang membantunya. Mungkin, hanya Tuhan yang tau mengapa kalung itu bisa bersinar. Atha ingin sekali menyimpan kalung itu. Tapi, setelah melihat wajah berbinar Sila, yang tak lain adalah Retta, kekasihnya, saat melihat kalung itu, ia langsung memberikan kalung unicorn itu kepadanya.
Retta selalu memakai kalung ini di mana pun, dan kapan pun ia berada. Sampai satu ketika, ia harus melepas kalung ini.
Deburan ombak beberapa kali membasahi kaki Irel, dengan semangat, ia memutar-mutar badannya bak seorang balerina yang menunjukkan kebolehannya. Semilir angin menerpa wajahnya yang beranjak remaja itu, ia tak menyadari bahwa sedari tadi seorang perempuan mengamatinya dari balik pohon kelapa dengan tersenyum geli.
"Punya pacar kok gak waras kayak gini, sih aku, ckckck." Perempuan itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Irel yang sedang memutar-mutar tubuhnya langsung menoleh dengan cepat.
"Eh, hehe." Dia menggaruk tengkuknya salah tingkah.
Sila duduk di bibir pantai, menatap keindahan duniawi yang Tuhan berikan kepada makhluknya. Kicauan burung-burung menjadi musik tersendiri baginya. Mengamati setiap gerak-gerik seseorang maupun hewan, adalah hal yang ia sukai. Tak lama, Irel yang tadinya berdiri di belakang Sila, kini berada di samping kanannya.
"Di sini tenang ya, Rel. Adem-adem gimana gitu," Sila menyandarkan kepalanya, di bahu Irel.
"Kamu suka di sini?"
Sila mengacungkan dua jempolnya. "Suka, dong!"
Irel hanya tersenyum tipis. Tak menyangka, perempuan yang dulu hanya bisa ia lihat dari jauh sekarang berada disampingnya, bersandar di bahunya, sebagai kekasihnya. Semua berawal dari kecelakaan kecil yang menimpa gadis ini. Niat awal Irel hanya mengobati. Tapi, siapa sangka Irel akan menjadi sahabatnya. Bahkan, sekarang menjadi kekasihnya.
Irel merogoh saku celananya. "Eh, iya, tadi Irel nemuin ini loh," ucap Irel sambil menunjukkan benda itu ke depan Sila. "Bagus, ya?"
Sila yang tadinya bersandar di bahu Irel, kini duduk dengan tegak. "Wah, bagus banget! Kamu nemu di mana?"
"Itu, tuh, deket penjual es kelapa."
"Aku pengen kalungnya."
Irel yang ingin mengutarakan bahwa ia ingin menyimpan kalung itu terdiam.
"Irel, kalungnya boleh Sila ambil?"
Irel menghela napas. "Boleh, Sayang, simpen baik-baik, ya."
Senyuman cerah terbit dari bibir tipis perempuan itu. "Makasih, Rel." Sila memeluk leher Irel dengan erat.
"Uhuk, uhuk, biasa aja meluknya."
Sila melepas pelukannya. "Ih, ya maaf. Aku kan gak tau kalo meluknya kekencengan."
Lelaki itu hanya menggumam, ia melepas alas kaki yang dipakainya. "Main air, yuk?"
Sila menoleh, ia mengikuti arah yang di tunjuk kekasihnya.
Laut. Keduanya menyukai laut.
Dengan mata berbinar, Sila mengangguk. "Ayok!"
Sepasang kekasih itu berjalan sambil menautkan kedua tangannya. Tiba-tiba langkah Irel terhenti.
"Kenapa, Rel?"
Irel mengusap kepala Sila. "Kamu jangan tinggalin aku, ya?"
Sila menatap bingung lelaki di sebelahnya. "Irel kenapa, sih?"
"Aku gapapa, aku cuma takut kehilangan kamu."
Sila terkekeh. "Udah, jangan khawatir. Selo aja, Sayang."
Irel tersentak mendengar kata 'sayang' yang ditunjukkan kepadanya, pasalnya, sejak awal dia menjabat sebagai kekasihnya, baru kali ini Sila memanggilnya menggunakan kata 'sayang'. Perlahan pipinya memerah.
Sila yang melihat perubahan diwajah Irel tersenyum. "Aku gak akan ninggalin kamu."
Lelaki itu hanya tersenyum. "AYO MAIN!"
Sila tertawa. "AYO!"
Keduanya berlari mendekati laut.
Di bawah pancaran senja, mereka tertawa. Di bawah penglihatan sang pencipta, mereka saling menyalurkan kekuatan. Di bawah kebahagiaan terdalam, ada rasa takut terpendam.
◀▶◀▶
"Rel, nanti malem ...." Sila menggantung perkataannya, yang otomatis membuat Irel menaikkan sebelah alis.
"Apa?"
Sila mengetukkan kedua jemarinya. "Nanti malem, jadi?"
Irel tersenyum lembut. "Jadi."
Perempuan ber-cardigan biru itu tersenyum lebar. "Jam setengah tujuh, oke?"
Irel mengangguk sebagai persetujuan.
◀▶◀▶
Sila menunggu Irel di bangku taman. Gadis yang mengenakan dress selutut berlengan sampai siku itu berkali-kali mengecek ponselnya. Sudah hampir dua jam ia menduduki bangku taman. Tapi, lelaki yang sedari tadi ia tunggu, tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Udara dingin yang sedari tadi menyergap, ia tahan. Nyamuk-nyamuk mulai menyesap darahnya, kulit putihnya kini memerah.
"Irel mana, sih?"
Decakan sebal dari perempuan ini sudah berpuluh-puluh kali terlontar dari bibirnya.
"Maaf ya, aku tadi ada keperluan."
Suara bass itu mengagetkannya. "Irel."
Lelaki berbalut kemeja dan skirt jeans itu tersenyum. "Maaf. Udah buat kamu nunggu."
Sila menghela napas. "Iya."
"Jangan marah, dong."
Perempuan itu tersenyum. Tersenyum terpaksa tepatnya. Bayangkan, ladies and gentelman, cewek nunggu selama dua jam sendirian di taman. Sendirian.
Untung gak ada banci yang godain.
"Maaf. Sekarang, kita ngapain?"
Sila mengerutkan keningnya,tampak berpikir. "Gimana kalo ke pasar malam?"
"Emang ada?"
Perempuan itu mengangguk semangat. "Ada, yuk."
Irel hanya mengikuti setiap langkah semangat kekasihnya. Dia sangat merasa bersalah sudah membuat dia menunggu selama itu sendirian, dan menuruti semua permintaannya adalah hal yang bisa ia lakukan untuk menebus kesalahan yang telah ia perbuat.
"Pelan-pelan jalannya." Irel memperingatkan.
"Iya, bawel."
Irel mencubit pipi Sila. "Dibilangin juga."
Perempuan itu hanya mengelus pipinya, lalu mendelik kepada Irel. "Ah, ngeselin."
"Orang ganteng, mah, bebas." Irel menyeringai.
Sila berhenti berjalan. "Temenin aku, yuk!"
Irel mengerutkan kening. "Kemana?"
"Beli permen apel, tuh ada disana."
Irel mengikuti arah yang ditunjuk Sila. "Enggak, deh. Aku disini aja."
Sila cemberut. "Ck, aku tinggalin kamu."
Irel hanya terkekeh. "Udah sana, biar ke pasar malemnya gak kemaleman."
Sila berdecak. "Aku bakal ninggalin kamu, sekarang." Sila mengehentakkan kakinya kesal, lalu ia berjalan menjauhi Irel.
Lelaki itu hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku kekasihnya. Ia mengeluarkan ponsel untuk menghilangkan kebosanan yang ia dapat.
Ia terus memainkan ponsel tanpa mempedulikan sekitarnya. Tiba-tiba suara teriakan yang disusul suara benturan yang cukup keras membuatnya tersentak.
"IREL!"
DUAK!
Baru saja ia mengucap janji bahwa akan menuruti apapun yang gadis itu minta. Sekarang, ia telah melanggar janji itu sendiri.
Dua buah permen apel yang Sila pegang kini terlempar. Ponsel yang Irel pegang kini sudah jatuh di tanah yang lembap. Hujan yang sedari tadi menahan dirinya agar tidak menampakkan diri, kini turun dengan derasnya. Gemuruh terdengar, bintang redup, bulan tertutup.
Kini, semua telah berubah.
◀▶◀▶
Kembali pada masa sekarang, Atha sudah sangat letih untuk membangunkan Retta. Dia tahu, harusnya ia menggendong gadis ini sampai pada kamar. Tapi, apalah daya Atha yang tidak mampu untuk menggendong Retta. Fisiknya sudah terlalu lemah untuk saat ini, Atha lelah dengan semuanya.
"Rett, lo gak kasian apa sama gue? Bangun kek, gue capek, nih, pengen bogan di kasur spiderman punya gue." Atha menggoyang-goyangkan lengan Retta dengan brutal.
Gadis itu menggeliat pelan. Ia merasa tidurnya telah diganggu. "Diem deh." Atha membeku ditempat, ketika mendengar suara serak Retta.
"Lo bisa lanjutin tidur lo dikamar tamu. Sekarang, ayo keluar, badan gue udah remuk banget."
Retta mengerjap pelan. Lalu, mengangguk tanpa minat. "Tas gue, bawain."
Atha hanya mengangguk patuh.
Retta berjalan keluar dari mobil Atha dengan sempoyongan. Seperti orang yang baru saja menghabiskan dua botol vodka. Atha yang berjalan dibelakangnya hanya bisa terkikik geli.
"Mama, Atha pulang!" terikan bass, namun nyaring itu memenuhi penjuru rumah.
"Dateng-dateng tuh jangan teriak!"
Atha mendengus. "Assalamu'alaikum macan."
"Apa kamu bilang? Macan?" Mama mendelik.
Atha mengangguk. "Iya macan. Mama cantik."
"Astaga," ucapnya. "Eh, Retta. Ayuk Tante anter ke kamar."
Mereka berdua berjalan mendahului Atha. Mengobrol berdua seputar wanita, tanpa mempedulikan Atha yang sedang menggendong tas punggung sangat berat dengan wajah cengonya. Untung ganteng.
"Ya, udah, kamu istirahat disini ya. Kalo ada apa-apa bilang aja. Kamar Atha ada di depan kamu. Oke." Mama Atha menjelaskan. Lalu mengedipkan sebelah matanya.
Kini, tinggalah dua orang remaja berdiri saling berhadapan. "Jadi? Ini tas bakal lo gendong terus?"
Atha tersentak. "Eh."
"Lo kecapekan, Atha." Retta mengambil alih tas itu dari gendongan Atha. Dan meletakkannya di sebelah lemari.
"Mending lo mandi, makan, terus istirahat. Biar besok gak sakit."
Atha mengangguk, lalu tersenyum. "Iya, Sayang."
Retta terlihat salah tingkah. "Ih."
Atha hanya terkekeh. "Gue ke kamar dulu," ucapnya. "Lo ... mau ikut?"
Retta mengangguk. "Gue mau nyiapin baju lo."
Lelaki tampan itu tersenyum lebar. "Calon istri yang teladan."
Retta menggeplak bahu Atha. Sedangkan yang dipukul hanya tertawa. "Lucu banget, sih."
Retta hanya mendengus pelan.
"Retta."
"Ya?"
Tiba-tiba kehangatan yang sudah lama tidak Retta rasakan kini kembali. Pelukan hangat dan nyaman, yang selalu memberikan ketenangan tersendiri untuk Retta. Ia membalas pelukan itu tak kalah erat. Wangi mint membuatnya tenang.
"Jangan tinggalin gue lagi, Rett."
"Gak akan."
Atha menaruh kepalanya di bahu Retta. "Lo selalu bilang gitu. Tapi akhirnya lo tinggalin gue." Atha meredam kepahitan yang perlahan-lahan menghampirinya secara perlahan. Kepingan masa lalu seolah menikam dirinya.
"Gue bakal selalu ada di samping lo, Atha."
Dibalik pelukan itu. Atha tersenyum tulus. "Gue sayang sama lo."
Retta melepas pelukannya. "Ayo kita beres-beres."
Retta tidak mau larut dalam pesona Atha. Ia tidak mau. Karena, Retta bukanlah adem sari.
◀▶◀▶
"Tha, bawa SLR, gak?"
Atha mengangguk. "Iya."
Retta memasukkan beberapa baju berlengan panjang dan jaket ke dalam tas punggung yang besar. Tak lupa sandal jepit legendaris Atha.
"Ada sesuatu yang gak gue masukin, dan lo harus masukin itu sendiri." Retta meringis.
Atha cemberut. "Katanya mau di siapin semua."
"Tapi gue gak mungkin kan nyiapin itu juga."
Lelaki itu mengerenyit. "Lo ngomongin apa sih sebenernya?"
Sudut bibir Retta berkedut. "Daleman lo, bego."
Atha tersentak, pipinya memerah. "Najis."
"Lah? Kok jadi najis?" Retta mengerutkan kening.
"Lupakan itu. Nanti gue siapin sendiri itunya."
Retta hanya terkekeh. Lalu ia merebahkan diri ke kasur king size Atha yang bergambar spiderman. Dia menatap langit-langit kamar Atha sembari tersenyum tipis. Meskipun Retta baru sekali saja masuk ke dalam kamar ini. Ia merasa bahwa dirinya sudah pernah berpuluh-puluh kali memasuki kamar ini.
"Selesai."
Atha mengambil guling yang berada di sisi kanan Retta. Lalu ia melempar guling itu tepat di wajah gadis itu. "Mampus."
Retta yang sedang berbaring dengan tenang kini duduk dengan tegak. "Sialan."
Retta melempar balik guling itu tepat di wajah Atha. "Makan noh, wek." Ia menjulurkan lidahnya.
Lelaki tersebut tertawa. "Ngajakin berantem." Atha mengambil sandal jepit yang berada di sisi kirinya. Lalu, melempar sandal tersebut layaknya bumerang.
"Atha ngeselin!" Gadis bermata tajam tersebut mendelik. Ia menyembunyikan sepasang sandal jepit buluk dibelakang tubuhnya.
Ia menyeringai sebentar lalu melempar sandal itu kearah Atha. "MAMPUS! HAHA."
"Lo nemu sandal ini di mana? Ya Allah, gue nyari-nyari gak ada." Ia tersenyum lebar dengan mata yang berbinar saat melihatnya.
"Astaghfirullah, Atha. Bener-bener udah sengklek ya lo."
Lelaki itu hanya menggaruk tengkuknya. "Ya, secara ini kan, sandal kesayangan gue."
"Sayang kok sama sandal, gak elit banget." Retta mencibir.
Detik selanjutnya Atha tersenyum lebar. "Tenang aja. Lo gak ada duanya kok. Lo tetep satu-satunya di hati gue."
Retta berjengit. "Anjir."
"Ke supermarket yuk? Nyari makanan buat besok." Atha berdiri sambil mengambil kunci motornya.
"Ayok deh, bosen," ucap Retta. "Bentar, gue ambil cardigan dulu." Ia berjalan menuju kamar tamu, dengan cepat ia mengambil cardigan berwarna cokelat tua.
"Tha, cepet, nanti kemaleman."
"Iya." Dia melihat cardigan Retta. "Tumben gak pake biru."
"Terserah gue, dong."
◀▶◀▶
Atha dan Retta berjalan menyusuri supermarket terdekat. Dengan trolly dorong yang mereka jalankan.
"Ambilin cokelat dong, Tha," pintanya yang segera mendapat anggukan dari Atha.
Retta mengambil beberapa mie cup yang berbeda rasa. Tanpa pikir panjang, ia langsung memasukkan mie cup tersebut dalam trolly-nya.
"Udah, sekarang pulang, oke." Atha mendorong trolly tersebut ke kasir. Penjaga kasir tersebut menyambut kedatangan mereka berdua--lebih tepatnya kedatangan Atha dengan sumringah.
"Tidak ada tambahan, Mas?" Retta cemberut mendengar pertanyaan tersebut yang hanya ditujukan kepada Atha. Padahal, dirinya terpampang jelas di depan kasir.
"Gak ada, Mbak." Atha menjawab pertanyaan tersebut disertai dengan senyum manis. Sehingga dalam hitungan detik, pipi penjaga kasir itu memerah.
"Mbak, bisa lebih cepet gak, sih?" Retta melirik sinis penjaga kasir yang menurutnya kecentilan itu.
Penjaga kasir itu mengangguk kaku. "Terima kasih, Mas, silahka--" Ia berhenti berkata. "Terima kasih Mas, Mbak, silahkan datang kembali." Ia tersenyum sembari sedikit membungkukan badannya.
Atha hanya terkekeh pelan. "Jangan galak-galak. Gue kan udah bilang, lo tetep satu-satunya di hati gue." Ia tersenyum lembut. Wajah tampannya terlihat semakin tampan, ketika terkena sinar lampu trotoar.
"Apa, sih, gak jelas."
Atha merangkul gadis di sebelahnya. "Mari kita pulang."
◀▶◀▶
An//
Halo, selamat hari raya idul adha ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top