xvi
Tuhan, jika memang takdirku bukan dengannya, tolong hilangkan rasa ini. Jika kebahagiaanku bukan dengannya, matikanlah rasa bahagiaku jika bersamanya. Karena kesakitan yang aku rasakan, membunuhku secara perlahan.
Di dalam rasa yang ada,
Fairel-
◀▶◀▶
Atha POV.
"Selamat pagi, princess!" Aku menunjukkan deretan gigiku yang rapih.
Dia hanya menatap datar. Lalu dengan songongnya, Retta berjalan mendahuluiku menuju bangkunya. Ya, cogan gini dianggurin.
"Jangan cuek, nanti gue diambil sama yang lain lho." Aku menaik turunkan alis.
Dia berdecak. "Siapa, sih, yang mau ngambil lo? Tante-Tante? Atau banci?"
Aku mendengus pasrah. Kenapa, Tuhan? Salah apa hambamu ini? Kenapa hidupku dipenuhi dengan tante-tante ataupun banci. Segitu famous-kah aku di kalangan begituan.
"Masih pagi tuh senyum, jangan cemberut. Smile!" Aku menarik sudut-sudut bibir Retta secara perlahan.
Wajahnya merah padam. Seperti pantat babi. Aku bahagia melihat wajahnya memerah. Aku bahagia.
"Lepasin!" Retta menepis tanganku dari bibirnya.
"Kok jahat sama gue?"
"Lebih jahat Retta atau Atha?" Dia menaikkan satu alis, tapi, nyatanya alis milik perempuan di depanku ini tidak terangkat. Bahkan, dia lebih mirip sedang mengkerutkan alis. Malangnya dirimu.
"Gue, mah, selalu baik, mana pernah jahat."
Matanya melebar. "Gak jahat? Terus kejahatan apa yang udah lo perbuat kemarin?"
Aku menggendikkan bahu. "Apa? Nyolong? Ngerampok? Begal? Ngepet?"
Retta menggeplak tanganku. "Bukan itu."
"Ya terus apa, dong?
"Kejahatannya itu .... "
"Ya?"
Dia membuang napas. "Ituu .... "
"Ya? Ya?"
Retta menarik napasnya pelan. "Lo kemaren gak masuk! Lo kemaren gak kabarin gue! Lo kemaren ninggalin gue tidur!" Napas Retta memburu.
Apa? Kejahatan? Itu kejahatan? Di mana akal perempuan ini? Aku hampir saja tertawa guling-guling sampe perut sakit, terus berakhir di toilet.
"Gue penjahat kelas kakap, ya, Rett."
Dia lagi-lagi menggeplak tanganku. "Jangan ngejek gue!"
"Kok ngejek? Gue kan sadar diri." Oh, ayolah, aku berusaha menahan tawaku.
"Lo. Tai. Banget. Gue. Benci. Sama. Lo. Bangke. Babi. Monyet. Kambing. Sapi. Gajah."
Aku tergelak. "Dasar pecinta kebun binatang." Aku mengacak rambutnya pelan.
"Berantakan tau!"
◀▶◀▶
Someone POV.
"Mungkin emang dia bukan buat gue, gue sadar diri. Gue gak akan ngerebut dia dari lo, Atha." Aku berjeda. "Tapi, gue bisa jadi penjaganya saat lo gak ada. Gue janji."
Aku tersenyum kecut.
Kita memang dipertemukan. Tapi bukan untuk disatukan. Berbahagialah cintamu, biarkan aku berharap. Berharap akan secuil cinta yang aku ingin dapatkan darimu. Meski, aku tau, cintamu hanya untuknya. Aku melihatmu, melihatmu dengannya di sana. Bahagialah bersamanya, selama kau bahagia, aku akan bahagia. Jangan peduli dengan hatiku yang rapuh ini.
Meskipun di sini, hatiku remuk redam menanti cinta yang tak mungkin aku dapatkan.
Tertawalah, dengannya.
Tapi aku, akan selalu di sampingmu ketika tawa indahmu berganti dengan isakan yang memilukan hatiku. Biarkan aku menjadi pengobatmu. Menjadi pelipur laramu.
◀▶◀▶
Author POV.
"Pak! Saya udah!" Rendi melonjak senang.
"Sini kumpulin!" Guru dengan kacamata yang melorot itu menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Rendi.
Dengan bahagia, Rendi maju ke depan. "Koreksi yang bener, ya, Pak!"
Guru Fisika yang mulai renta itu menerima kertas yang Rendi berikan kepadanya. Dahinya sesekali mengkerut. Tak jarang matanya melebar ataupun mulutnya menganga.
"KAMU YANG BLOON, ATAU SAYA YANG BLOON SIH RENDI!"
Rendi yang sedang melamun itu langsung tersentak mendengar gertakan dari Pak Heri. "Kenapa, Pak? Bener semua?"
Pak Heri berdecak. "Bener? Kamu bilang bener? Satu pun gak ada yang bener!" Gelak tawa terdengar seisi kelas.
"MAKANYA JANGAN TIDUR MULU!" Atha menjulurkan lidahnya.
"Saya gak tidur, kok, Pak!" Rendi membela diri.
"Terus ini kok bisa salah semua itu gimana?"
Rendi berpikir. "Mungkin kacamata Bapak kurang tebel." Dia berjeda. "Atau, idung bapak terlalu pesek."
Tawa riuh dari seisi kelas terdengar. Guru berusia empat puluhan itu berwajah merah padam karena ucapan Rendi. Mungkin dia marah atau malu.
Bangku belakang berderit. Dengan santai, Rendi berjalan ke meja guru.
"Pak! Rendi ganteng ke toilet dulu."
Dengan segera, Rendi meninggalkan kelas sebelum mendengar amukan dari guru.
"KEMBALI KAMU MURID KURANG AJAR!"
Retta yang sudah tidak bisa menahan tawanya langsung terbahak sambil memukul-mukul meja.
"KELUAR KAMU CLARETTA!"
Sentakan keras dan tegas itu seketika membuat seluruh kelas hening, termasuk Retta yang langsung meredakan tawanya.
"Jadi guru kejam banget." Retta menggerutu di bangkunya.
"Bicara apa kamu Adsila Claretta?"
Retta tergagap. "Eh, a-anu Pak. Tadi, saya ngomong kalo rambut Bapak klimis banget. Pake minyak rambut apa, Pak?" Lagi-lagi seluruh kelas tergelak.
"Pelajaran selesai. Saya pusing dengan tingkah absurd kalian." Pak Heri merapikan bawaannya, dengan tergesa ia melangkah keluar kelas.
"Jamkos! Jamkos !"
"Pak Heri ganteng banget, dah!"
"Cepet sembuh, ya, Pak!"
"Woi! Kantin, yok!"
"Berisik lo pada! Gangguin orang tidur aja!"
Dan teriakan absurd lainnya.
"LOH? PAK PESEK MANA?"
"PUSING, REN!"
Rendi yang berada di depan pintu terdiam. Lalu, tak lama berteriak.
"Alhamdulillah!"
Karena semua tingkah absurd di masa sekolah adalah hal yang tak mungkin terulang kembali di masa mendatang.
◀▶◀▶
Tiga remaja menawan itu sedang menyantap makan siang di kantin dengan diselimuti keheningan panjang.
Atha yang sedang menyantap mie ayam itu tiba-tiba merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya. Mata Atha membulat sempurna, ketika ia mengetahui bahwa itu adalah darah. Dengan segera ia melangkah keluar kantin.
"ATHA! WOI! KEMANA LO?" Retta yang sibuk dengan ponselnya tiba-tiba berteriak.
"Eh, Ren, Atha kenapa?"
Rendi bergumam. "Boker."
"Tai."
Rendi menyeringai. "Kan boker emang menghasilkan tai."
"Tau ah, jijik lo. Napsu makan gue ilang, nih."
"Ya udah, sini gue makan." Dengan mata berbinar, Rendi menyeret piring yang berisi nasi goreng itu ke hadapannya.
"Rakus."
"Biarin. Yang penting kenyang."
Retta menelungkupkan kepalanya.
"Pusing lo?" Rendi menarik- narik rambut Retta.
Retta berdecak. "Jangan tarik-tarik, bego."
"Yaelah, Rett, narik gitu doang. Gak bakalan botak juga."
Retta mendengus. "Terserah."
"Rett, getrich, yuk!" Rendi mengeluarkan ponselnya.
"Boleh, boring, nih."
Rendi mengotak-atik ponselnya. "10M ya?"
Retta menangguk. "Acc, cepet."
"Udah." Rendi berjeda. "YES! GUE DULU!"
Retta menggerutu. "Cepet elah. Roll dadu aja lama bener."
"Bacot lo, lagi gue jampi-jampi nih dadunya." Rendi berkata asal.
Sepuluh menit hanya mereka habiskan dengan saling mengatai.
Retta memekik senang. "Hahaha, mampus lo kena landmark gue."
Rendi hanya tersenyum miring, kemudian Retta menjerit.
"TAI LO RENDI! JANGAN PAKE KARTU BERTAHAN!"
"Terserah gue, dong." Rendi menjulurkan lidah.
Retta tak menggubris ejekan Rendi. Ia kembali fokus ke permainannya. Selang dua menit, Retta lagi-lagi berteriak.
"Apa-apaan, nih pendant lo narik-narik gue. Sialan."
Rendi tertawa puas. "Makan noh 150M."
Retta menggebrak meja. "SIALAN! GUE BANGKRUT!"
"Menang ya, menang." Rendi mengusap sudut matanya. Dia bukan terharu karena menang, tapi dia terlalu banyak tertawa, sampai mengeluarkan air mata.
"Eh. Sorry, ya, tadi tiba-tiba pergi."Atha kembali memakan mie ayamnya.
"JANGAN DIMAKAN!"
Tapi terlambat. Mie ayam itu sudah masuk ke dalam perut Atha.
"Kena―" Atha terdiam. "PEDES!"
Atha menepuk-nepuk lehernya. "Minum! Tenggorokanku ternodai, minum! Pedes, hua."
Retta dan Rendi terbahak melihat Atha.
"Udah dibilangin jangan. Itu mie ayamnya tadi udah dicampur sama sambel." Retta menjelaskan.
Atha masih kalang kabut mencari minum. "Anjir, pedes banget gila." Ia mengibas-ngibaskan tangannya di depan mulut.
"Muka lo merah benget, kayak pantat babi." Rendi terbahak.
"Tai lo, Ren. Ini berapa sendok?"
Retta melirik Rendi. "Kalo gak salah, tujuh belas ya Ren?" Rendi hanya mengangguk.
"GILA LO PADA!" Atha histeris.
"Nih minum!" Retta menyodorkan satu botol air mineral kepada Atha.
Hanya dalam beberapa detik, Atha sudah mengahabiskan satu botol penuh air mineral itu. "Makasih, Retta cantik," ucapnya sambil mengedipkan satu matanya.
Rendi tersenyum kecut. "Lo haus apa doyan?"
Atha menggeleng. "Bukan dua-duanya."
"Terus?"
"Yang bener itu, gue kepedesan." Atha terkekeh.
Bel berbunyi dengan nyaring.
"Yok, kelas." Rendi merangkul kedua orang di sampingnya.
◀▶◀▶
Atha menghempaskan diri ke sofa kediaman Retta. Badannya benar-benar lelah saat ini.
"Gue mandi dulu, ya, abis itu cabut!" Retta berjalan menuju kamarnya.
Atha menghembuskan napas berat. Ini kepala pusing banget Ya Tuhan. Bantinnya. Atha menselonjorkan kakinya di sofa. Ia memijit kepalanya pelan sambil melihat sekeliling ruang tamu.
"Anjirlah, gue gak di kasih minum. Haus banget ini." Atha bergumam pelan.
Kemudian, ia beranjak dari sofa berwarana pastel itu, menuju dapur. Dia menuangkan air putih dalam gelas bening tanpa noda tersebut.
"Lega." Atha mengelus-elus lehernya.
Dia melihat sekeliling. "Sepi amat, ini rumah atau apaan."
Hanya suara detikan jam dinding membalas perkataannya.
"Kayak orang gila gue."
Atha kembali berjalan menuju ruang tamu, dia menghembuskan napas berat.
"Pusing banget, anjir." Atha memijit kepalanya pelan, dia mengulang-ulang perbuatannya berkali-kali. Tapi, pusing yang di rasakannya tak kunjung hilang.
"Kak Atha? Ngapain di sini?" Sebuah suara menyentakkan Atha.
Dia menoleh ke asal suara, dan mendapati dua orang yang berwajah mirip sedang melepas sepatunya.
"Lagi nungguin Retta."
Mereka berdua mengangguk paham.
"Azka, kakiku lelah."
"Terus?" Azka membalas cuek.
Azki nyengir. "Pijetin."
"Ogah."
Dijawab seperti itu, Azki cemberut. "Ya, udah, minta dipijetin Kak Retta aja."
What? Dipijitin Retta? Yang di sini juga mau, kali. Atha membatin.
"Dateng-dateng tuh jangan berisik!" Atha mendongak menatap perempuan yang baru saja turun dari tangga menenteng tas punggung besar.
Atha melihat penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah. Baju rajut kebesaran berlengan panjang berwarna biru donker, bergambar beruang berwarna cokelat, celana jeans biru di bawah lutut yang warnanya sudah pudar, tak lupa sepatu Nike berwarna biru donker. Rambut? Hanya dia kepang asal-asalan.
Dasar penggemar biru.
"Mau minggat, Kak?" Azki mengerutkan kening.
"Kalo gue beneran minggat, jangan kangen ya lo." Retta menyeringai.
Tumben gak nyolot jawabnya. Biasanya aja, langsung jadi emak-emak nagih duit kontrakan. Atha membatin.
"Gue? Kangen sama lo kak? Heh?" Azki membalas. "Kadang, sih." Ia menggaruk tengkuknya.
"Kakak mau ke mana sih? Bukannya camping masih besok?" Ini pertanyaan Azka. Kembaraan Azki. Dia lebih waras dari Azki.
Retta mengangguk. "Iya, masih besok."
"Terus, kenapa sekarang bawa ransel kayak gitu?"
"Mau nginep di rumah Atha," jawab Retta sambil menunjukku.
"HAH?!" Keduanya berseru kaget. "KALIAN MAU NGAPAIN?!"
Atha dan Retta saling bertatapan, lalu memutar bola mata jengah. "Jangan mikir yang enggak-enggak." Retta membalas.
"Ih! Kita kan cuma kaget doang." Azki mencibir.
"Ya udah, gue berangkat ya. Bang Rengga mungkin pulang agak malem. Dan, Mama Papa pulang besok. Jadi, selamat menjaga rumah, Adek kembarku sayang." Retta terekekeh pelan.
"Hm, ada makanan, gak?" tanya Azki dengan wajah polos.
Retta mendengus, lalu menyeringai. "Azki, kembaran kamu itu multitalent, loh."
Azki bergidik melihat wajah Retta. "Oke, deh, semoga Kak Atha betah, ya, sama nenek lampir ini."
Atha hampir saja tersedak ludahnya sendiri. "Hahaha, gue mah udah kebal."
"Sialan lo berdua."
Dengan senyuman, Atha membawa tas Retta yang sangat berat itu ke dalam gendongannya. "Kembar, cabut dulu, ya."
Azka dan Azki mengangguk sebagai jawaban.
"Ati-ati di rumah, kunci pintu, kalo ada orang yang gak kalian kenal, jangan dibukain. Kalo ada yang cari Mama atau Papa bilangin mereka lagi dinas ke luar kota, kalo mis-"
"Sip, Kak, apapun buat Kakakku yang tercantik, Kakak juga ati-ati, ya," ucap Azki sambil mendorong Retta ke ambang pintu.
BRAK!
Pintu kayu itu ditutup dengan keras.
Atha yang sudah menunggu Retta di luar rumah hanya bisa tertawa.
"DASAR ADEK KURANG AJAR!"
Atha menepuk kepala Retta pelan. "Makanya jadi Kakak tuh jangan bawel."
Retta berdecak kesal. "Ya, tapi, kan." Dia menarik napas. "NANTI KALO RUMAH GUE KENA BEGAL GIMANA?"
Atha sudah menggeleng-geleng pasrah melihat tingkah gadis yang disayanginya. "Udah, masuk aja ke mobil."
Gadis itu hanya mengangguk lesu. "TAS GUE MANA?" Matanya mendelik kaget sambil menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan tasnya.
Atha hanya mendengus heran. Tas segede gaban kayak gitu dari tadi dibawain juga gak nyadar. Atha membatin.
"Udah di mobil." Atha membalas cuek.
"Emang tas gue bisa ja-"
Atha memotong perkataannya. "Gue bawain tadi."
Gadis itu menggaruk kepalanya pelan. "Kok gue gak kerasa ya, Tha?"
"Sudahlah, daku lelah dengan dikau."
Gadis berkepang itu hanya berdecak sebal.
Atha menjalankan mobil hitamnya dengan kecepatan biasa. Keduanya tak saling membuka suara, hanya suara penyiar radio yang sedang mempromosikan obat sakit pinggang terdengar.
Retta yang sudah sangat kelelahan, mencoba tidur. Dengkuran halus dari kursi penumpang, membuat si pengemudi menoleh. Lelaki itu tersenyum lembut menatap wajah polos di sampingnya. Dia menepikan mobilnya, melihat lamat-lamat wajah cantik di sampingnya. Lelaki itu mengelus pipi Retta perlahan.
"Andai waktu itu aku ngikutin kamu, nurutin keinginan kamu, pasti, sekarang aku masih bisa jadiin kamu penopang. Jadiin kamu segalanya. Aku pengen waktu itu diputar lagi. Aku capek Rett, aku capek nahan semua hal yang pengen aku ungkapin. Aku pengen ngedobrak ingatan kamu. Tapi, sekarang aku bisa apa? Aku ngelewatin sedikit aja batasan yang dia berikan ke aku, kamu bisa ngerasain sakit.
"Kenapa dokter sialan itu bilang kalo kamu lupa ingatan? Kenapa dokter sialan itu gak ngebolehin aku buat coba mulihin ingatan kamu? Kenapa takdir baik gak pernah memihak aku? Setelah semua kejadian buruk yang menimpa kamu, ingatan kamu terhapus, setelah penyakit antah berantah ini sedikit demi sedikit menggerogoti tubuh rapuh aku, setelah ini apa lagi? Aku capek, meskipun aku laki-laki, aku punya titik rendah, titik di mana aku udah kehilangan arah buat ngejalanin hidup.
"Aku butuh penopang selain keluarga aku, penopang aku itu kamu, Rett. Aku sayang kamu, bilang aja aku pengecut karena bisa bilang kayak gini cuma waktu kamu tidur. Tapi, dari dulu sampai detik ini, rasa ini tetap sama, gak akan berubah, sampai ajal menjemput aku."
Atha tersenyum kecut, ia menyadari hal yang baru saja dilakukannya adalah hal bodoh. Percuma saja dia berkata panjang lebar seolah-olah lawan bicara dalam keadaan sadar.
Atha mengelus rambut Retta pelan. "Aku cinta kamu, sayang." Ia mengecup kening gadis itu lama, seakan-akan hal itu tak mungkin ia lakukan lagi.
Tidak. Dia hanya takut kehilangan gadis di sampingnya ini. Dia hanya takut rasa yang dia punya tak terbalaskan. Dia hanya takut gadis ini mempunyai tempat mengadu selain dirinya. Dia hanya takut gadis ini mempunyai tempat bersandar lebih kokoh dan nyaman dari dirinya. Dia hanya takut gadis itu berpaling. Dia hanya takut gadis ini tak lagi mempedulikannya.
Pada akhirnya, lelaki ini hanya bisa berpasrah pada takdir. Karena takdir akan membawanya, membawanya ke tempat yang seharusnya dia tempati.
Retta bergerak tak nyaman di tidurnya. "Irel, aku kangen kamu. Aku pengen liat kamu, aku pengen bareng kamu."
Atha tersentak mendengar gadis di sebelahnya mengigau. "Aku udah di sini. Aku Irel, pacar kamu. Tapi, aku gak pengen kamu maksa inget aku sebagai Irel, aku gak mau bikin kamu sakit."
Setelah kalimat itu terucap, setitik air mata lolos dari kelopak mata dua makhluk saling menyayangi itu.
"Keadaan udah mengubah segalanya. Aku sayang kamu."
◀▶◀▶
An//
Ngerti gak gimana masa lalunya? :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top