xv
Cinta. Kata yang memiliki berjuta makna. Kamu. Orang yang membuatku merasakan jutaan makna. Tapi, apakah kamu memang cintaku? Atau, kamu hanya segelintir manusia yang hadir, mengobrak-abrik hatiku?
Di tengah rasa bimbang,
Adsila-
◀▶◀▶
Retta POV.
"Dek, cepetan dong dandannya. Nanti telat." Bang Rengga menggedor-gedor pintu kamarku. Bisa jebol nanti pintunya.
"Iya Bang, bentar." Aku membuka pintu kamarku. Pemandangan yang pertama aku lihat adalah muka kesal Bang Rengga.
"Udah, ah, ambekan. Yuk berangkat." Aku menggeret Bang Rengga yang postur tubuhnya lebih tinggi dariku.
Bang Rengga menghentikanku. "Sarapan dulu, gue gak akan tega biarin Adek gue gak sarapan."
Cengiran lebar terbit di bibirku, aku duduk di meja makan yang sudah tersedia semangkuk besar nasi goreng, lengkap bersama kawan-kawannya. Dengan lahap aku menyuap nasi goreng dengan cepat, aku tidak mau telat.
"Kembar mana?"
Bang Rengga mendongak. "Udah berangkat dari pagi, Mama sama Papa juga. Jadi, tinggal kita aja."
Aku meneguk sisa air putih. Lalu, mengangguk. "Yuk, cus."
Mata Bang Rengga melebar."Lo kunyah, apa langsung ditelen? Gue makan aja gak secepet itu."
Aku terkekeh. "Gue mah canggih, Bang."
Bang Rengga mengunci pintu rumah. Lalu, memasukkan kuncinya dalam tas.
"Kok dikunci? Mbok Sri gimana?"
"Mbok Sri udah ke laut."
Aku menggeplak lengan Bang Rengga.
"Yaelah Dek, brutal amat. Mbok Sri lagi bulan madu." Dia menaik-turunkan alisnya.
"IH! NGESELIN BANGET!"
"Ck, ramai sekali Adek aku yang paling cantik." Bang Rengga mengacak rambutku.
"Terserah, deh."
"Mbok Sri dikasih libur sehari sama Mama." Akhirnya, Abang kupret ngejawab.
Aku menutup pintu dengan keras. Tidak peduli teriakan Bang Rengga menyuruhku menutup pintu dengan pelan. Aku memasang headset yang berguna untuk meredam suara ocehan Bang Rengga. Aku sudah ingin cepat pergi ke sekolah. Kangen sama temen-temen, dong. Bukan sama pelajaran.
Aku melihat ke arah luar jendela. Memperhatikan setiap gerak-gerik para pengguna jalan. Memperhatikan keadaan secara terperinci adalah kebiasaanku atau mungkin menyerempet seperti hobi.
"Abang ikut camping, gak?"
"Ikut, dong." Abang tersenyum miring.
"Panitia lagi?"
Dia mengangguk pelan. Tidak melirik kepadaku sama sekali. Perhatiannya tetap fokus ke depan. Ah, kalo bukan Abang aku, udah aku pacarin deh ini orang. Kenapa harus ganteng banget, sih? Tapi, aku gak boleh suka dia. Haram.
"Bengong mulu kerjaan lo, Dek." Abang Rengga menyelempangkan tasnya ke bahu, lalu berjalan ke luar dari mobil.
Emang udah sampe? Aku melihat sekeliling, yang ternyata aku sudah berada di pelataran parkir sekolah ini. Aku turun dari mobil dengan gontai. Bang Rengga yang sudah menungguku di luar mobil langsung merangkulku ketika ke luar.
Aku berjalan di koridor dengan Bang Rengga, tatapan memuja para Siswi di tujukan pada lelaki di sebelahku ini, sedangkan aku? Aku hanya mendapat tatapan tajam dari para Siswi di sini. Menyedihkan.
"Good luck my little sister, i love you." Bang Rengga mengacak rambutku pelan sambil tersenyum, lalu berjalan santai menuju kelasnya. Aku hanya mendengus melihat kelakuannya, senang? Tentu saja. Tapi tenang, aku bukan penderita brother complex.
Aku memasuki kelasku yang ramai seperti pasar ini dengan tenang. Aku mengerutkan kening. Tidak ada sapaan heboh yang mengucapkan selamat pagi kepadaku. Bangku sebelahku juga kosong, tidak ada tas hitam bergaris putih yang biasanya selalu ada terlebih dahulu dibanding tasku.
Aku menatap Dikta dan Abel bergantian. "Atha belom nyampe?"
Dikta dan Abel serempak menggeleng.
Aneh, Atha biasanya dateng tiga puluh menit sebelum bel. Tapi sekarang? Delapan menit lagi bel, sedangkan dia belum datang.
"Mungkin dia gak masuk." Aku membenarkan perkataan Abel. Hatiku tidak tenang hari ini. Gak ada yang aku liatin, gak ada yang usilin aku, gak ada yang narik-narik rambut aku, gak ada yang nganterin pulang. Kalo biasanya berangkat bareng Abang, pulang sama Atha. Mungkin hari ini akan Abang semua yang ngelakuin.
Pelajaran dilalui tanpa Atha. Dia tidak hadir di sekolah tanpa alasan, kelas menjadi kurang ramai tanpa dia. Atau, aku saja yang merasa kehilangan?
◀▶◀▶
Biasanya, ke kantin ada yang ngerangkul, sekarang? Boro-boro. Yang biasanya ngerangkul aja masuk tanpa alasan. Baru berapa jam ini aku ditinggal sama Atha. Setengah hari aja belom. Tapi, aku udah kangen sama mukanya, sama tingkahnya, sama celotehnya. Semuanya.
"Sini sama gue aja."
Aku menggelengkan kepalaku. "Jangan, deh, Ren, nanti si Nizar cemburu."
Rendi mendengus. "Cih, apaan. Gue diselingkuhin noh." Rendi menunjuk meja pojok kantin yang dihuni dua orang berbeda jenis.
Aku menyipitkan mataku untuk melihat lebih jelas siapa dua orang itu. Nizar dan Thaliee. Aku menoleh ke arah Rendi yang cemberut. Lalu aku tertawa tepingkal.
"Cari yang lain, Ren, yang lo cintai udah berpaling." Aku terkekeh pelan.
"Ah sudahlah, ayo kita cari tempat duduk." Rendi merangkulku.
Aku hanya diam mendengar cacian yang para siswi lontarkan untukku.
"Ih murahan banget."
"Atha, Kak Rengga, sekarang Rendi? Siapa lagi yang dia embat abis ini."
Aku muak. Aku lelah.
"Jangan dengerin, Rendi selalu membelamu di sini," ucapnya sambil menepuk-nepuk dadanya bangga.
"Terserah, Ren, orang patah hati mah bebas."
"Gue mau move on ke Dikta dong." Rendi nyengir lebar.
Fyi, Rendi bukan maho. Inget ya. Bukan.
"Ya udah move on aja. Sekarang pesenin gue batagor sama jus jeruk. Cepet, ya."
Rendi memutar bola matanya. "Dipikir gue babu?" Dia menjawab kesal.
Meskipun begitu, dia tetap berjalan menjauhiku dan berjalan menuju para penjual makanan dan minuman.
Aku mengetuk-ketukkan jariku ke meja kantin, pandanganku menyapu seluruh penjuru kantin. Lalu, pandanganku terjatuh pada para remaja yang sedang tertawa gila. Dengan senyum mengembang, aku menghampiri mereka.
"Hai!"
Mereka semua menoleh ke arahku dengan mata berbinar. "Hai, Rett, sendirian? Soulmate lo mana?"
"Ditelen paus."
Azriel menarik rambutku. "Sembarangan."
"Gitu-gitu ayang gue, ya." Nizar menimpali.
"Rendi, tuh, patah hati liat lo pdkt sama Thaliee." Aku tersenyum miring.
"Kalian semua ayangnya Nizar kok, tenang. Sini peluk." Nizar merentangkan tangannya.
Kita bertatapan lalu berkata bersamaan. "Najis, maho, jomblo."
Wajah berbinar Nizar berubah cemberut membuatku tertawa.
"Retta nih, ya! Dicariin ke mana-mana taunya di sini. Capek tau muter-muter nyariin." Rendi datang dengan omelan panjang yang di tujukan kepadaku.
"Nyelo, Bro. Santai."
"Duduk aja sini, sebelah gue." Nizar menyeruput esnya.
"Males kali, tukang selingkuh, ya, lo. Dasar."
Aku terkekeh pelan. "Udah ah, jangan berantem."
Setidaknya sejauh ini, hariku tanpanya masih baik-baik saja.
◀▶◀▶
Aku menatap layar ponselku dengan malas. Puluhan LINE dan panggilan dariku tidak satu pun dibalas oleh Atha, di-read saja tidak. Ke mana anak ini, aku sudah bingung setengah mati. Thaliee bilang, Atha tadi pagi memang pamit ke mamanya untuk berangkat ke sekolah. Tapi, apa sekarang? Apa Atha di sekolah? Tidak kan.
Aku bahkan rela meninggalkan jam pelajaran hanya untuk menghubunginya, kurang baik apa aku.
"Lo gak masuk, he?" Perkataan di belakangku membuatku terlonjak.
"Eh, gue ngagetin, ya? Maaf." Dikta menunjukkan deretan gigi rapihnya, yang mampu membuatku terpaku sesaat.
"Lo sendiri gak masuk?"
"Enggak, mau nemenin lo aja." Dia lagi-lagi tersenyum manis. Bisa-bisa diabetes yang liat.
"Gak ada jawaban lebih mutu gitu?"
Dia terkekeh. "Sayangnya, sih, itu doang yang ada di pikiran gue."
"Terserahlah, ya."
Dia diam, aku diam. Begal saja aku.
"Btw, lo ngapain ke sini?" Dia membuka percakapan.
"Males di kelas. Bosen, garing, sepi, gak banget." Aku menjawab apa adanya.
"Gara-gara Atha gak masuk, ya?"
Aku menghela napas berat. "Mungkin, gue ngerasa gak lengkap hari ini."
"Dia penting banget ya buat lo?"
"Pasti dong, dia itu segala-galanya buat gue. Temen gue, sahabat gue, kakak gue, ayah gue, penasehat gue, badut gue, semuanya."
Author POV.
Di lain sisi, penjelasan runtut dari gadis berambut sepinggang yang selalu di kuncir rapi itu membuatnya sakit. Ia tau, gadis bermata tajam ini sudah mencuri hatinya sejak pertama kali bertemu. Mustahil memang membuat gadis ini mencintainya, tapi, sebuah pengharapan harus ada usaha bukan?
Lelaki itu hanya harus berusaha. Tak tau usahanya berhasil atau tidak.
◀▶◀▶
Atharizz POV.
Mataku mengerjap pelan menyesuakan diri dengan cahaya matahari yang menyorot masuk melalui jedela, tenggorokanku rasanya seperti padang pasir. Kering, panas, kekurangan air.
Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku berusaha menggapai gelas yang berisi air minum. Tak sampai menyentuh gelas, tiba-tiba gelas itu sudah ditarik oleh orang lain.
"Nih."
Ia menyodorkan gelas itu di hadapanku. Bagai seorang pengembara di padang pasir kering yang kehausan, aku langsung menyambar gelas itu dan meminumnya dengan sekali teguk.
Lega.
Air minum itu memberikan kelegaan luar biasa dalam tenggorokanku.
"Thanks... "
Dia yang mengerti maksudku langsung menjawab. "Aike." Gadis bermata sipit itu tersenyum. Matanya mana?
"Gue Atha. Btw, lo ngapain kesini?" Ya jelas, dong aku heran. Tiba-tiba ada cewek cantik ngambilin aku minum, rejeki anak sholeh ya gini.
"Tadi, lo pingsan di depan gue, ya udah, mau gak mau, gue nolongin lo."
"Ikhlas gak nolongin gue?"
Dia terkekeh. Aw, kekehannya lucu. "Ikhlas lah, kalo enggak, ngapain coba gue nungguin lo sampe siuman. Dari pagi ampe mau sore gini." Dia menjelaskannya dengan tenang. Tak lupa senyum yang selalu menghiasi wajahnya yang imut.
Aku membelalakkan mataku. "Sore?!"
Dia mengangguk pelan. "Why?"
"Gue gak sekolah kalo gitu?"
"Lo pikir tadi gue juga sekolah gitu? Gara-gara lo nih, tiba-tiba pingsan, di depan gue lagi, gue jadi gak ulangan kimia hari ini. Lo tau kan, betapa susahnya kimia itu?" Dia mengoceh panjang lebar, yang membuat kulit putihnya memerah.
"Terserah, gue mau pulang dulu, nanti emak gue ngomel. Btw, thanks, ya, Aike." Aku tersenyum sekilas. Lalu turun dari kasur rumah sakit. Tanpa sadar, aku berjalan keluar tanpa alas kaki.
"Ini Vans punya siapa, ya?" Aku mendengar nada mengejek dari Aike langsung menoleh. Kedua tangannya menenteng sepatu dan tasku ke atas dengan senyum yang membuatku ingin membegalnya.
Dengan sedikit jengkel, aku mengahampirinya dan mengambil kedua benda itu dari tangannya. "Makasih."
Aku memakai keduanya. Lalu, berjalan keluar.
"Ini kaos kaki sama iPhone siapa, ya?" Aku menggeram kesal mendengar nada mengejeknya. Lagi dan lagi.
"Siniin deh." Aku menaruh dua hal itu di dalam tasku. Biarin deh tasku bau kaos kaki.
Aku menarik napas panjang. "Ada yang ketinggalan lagi, gak?"
Dia menggeleng. Aw, so cute.
"Gue pulang deh ya, bye Aike." Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Kenapa harus pingsan coba, kan jadi gak sekolah. Gak liat mukanya Retta. Ih, sebel. Aku skype, ah nanti malem. Apa aku ke rumah dia aja, ya? Mungkin, sebaiknya enggak, nanti malah kemaleman pulangnya.
Sampai di rumah, aku memakirkan sepeda motorku di halaman, dengan tangan bergetar, aku memencet bel rumah. Oh ayolah, aku sangat takut Mamaku mengamuk.
Klek.
Pintu kayu itu terbuka, menampilkan wanita paruh baya yang sudah mengandungku selama sembilan bulan di perutnya, merawatku dengan penuh kasih sayang sampai aku tumbuh seperti sekarang. Dia Mama. Dia Mamaku. Orang yang paling aku cintai.
"Assalamualaikum, Mamaku yang cantik." Aku nyengir lebar, memperlihatkan deretan gigi putihku yang rapi.
Dia berkacak pinggang sambil menatap tajam ke arahku, tatapan mengintimidasinya membuatku bergidik.
Sisi setan Mamaku muncul.
"Dari mana aja kamu? Jam segini baru pulang. Diambil Tante-Tante enak kamu." Ia menjewer telingaku.
"Astaghfirullah, Ma, istighfar. Kenapa harus tante-tante coba?" Maaf, aku gak level sama begituan. Cih.
"Masuk sekarang! Atau kamu Mama kunciin di luar, biar diambil banci sekalian."
"Yaelah, Ma. Tadi Tante-Tante, sekarang banci. Gak ada yang bagusan dikit?"
Mama menjewer lagi telingaku. "Masuk!"
Aku berjalan menuju kamar dengan gontai.
"OH, YA! ATHA! JANGAN GENJRENG-GENJRENG GITAR MALEM MALEM! BIKIN TELINGA MAMA SAKIT AJA!"
"SIAP MAMAH!"
◀▶◀▶
32 pesan
114 panggilan tak terjawab
999+ LINE
Waw.
Retta ngabarin aku segini banyaknya. Khawatir banget, sih.
Setelah mengcharger ponselku yang sempat mati suri. Akhirnya, aku bisa bertemu pandang dengannya. Ea.
Aku membuka satu persatu pesan dan line yang dikirimkan Retta. Aku tidak nyaman memanggilnya Clar. Sungguh. Jika memanggilnya Clar, entah kenapa aku mengingat Clarinet milik-nya. Tanpa menyebut merk, kalian pasti sudah tau siapa yang aku maksud.
Aku yang merasa gemas dengan Retta langsung meng-skype-nya.
Dalam hitungan detik dia langsung meng-answer.
"HEH! ABIS DITELEN PAUS LO, HA?"
Aku terkekeh pelan.
"Miss me?"
"Lo ngeselin, gue sebel sama lo. Sebel! Pokoknya, sebel." Dia lucu kalo lagi ngambek.
"Masa baru ketemu udah sebel."
"Salah siapa ilang kayak gitu? Bikin orang khawatir aja."
Aku tersenyum mengejek. "Khawatir banget, ya? Uh, jadi malu." Aku benar-benar gila sekarang.
"Tau, deh. Oh ya, lo udah siap-siap buat camping belom?"
"Eh? Belom apa-apa gue. Besok lo nginep rumah gue aja deh, sekalian siapain bawaan gue." Aku nyengir tak berdosa.
Retta berdecak. "Iya, deh. Sekalian mau nyiksa lo." Dia tersenyum setan.
"Hm, ya, udah. Tidur dulu, ya."
Dia mengangguk. "Sama, gue juga."
"Bye, good night. Muah!"
Dia tersenyum sekilas, lalu layar berubah menjadi gelap.
Aku mencintaimu.
◀▶◀▶
An//
Kehabisan ide akunya. Jadi, ya, gini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top