xix

Semua sudah bis sudah sampai pada tujuan. Sekarang ini, para panitia sedang memberi pengarahan bagi perserta. Sedangkan para pembina, sedang duduk di bawah pohon, sambil memakan kacang kulit. Rengga contohnya, ia sedang berkoar-koar memberikan pengarahan. Semua tenda sudah tersusun rapi dengan nama penghuninya yang ditempel di depan tenda.

"Oke guys, hari ini kalian akan melaksanakan pendakian. Bagi yang memiliki sakit yang tidak memungkinkan untuk mengikuti pendakian, dimohon untuk tetap berada dalam tenda. Satu kelompok terdiri dari sepuluh anak," ucap Rengga.

"Tolong kalian pasang telinga baik-baik, karena ini adalah kelompok kerja kalian selama melaksanakan camping.

"Kelompok pertama, Andri dari sebelas Bahasa tiga, Deni dari sebelas Bahasa tiga, Srena dari sebelas IPA dua, Wiena dari sebelas IPS empat, Fuad dari sebelas IPS satu, Tiara dari sebelas IPA lima, Vera dari sebelas IPS satu, Rion dari sebelas Bahasa dua, Glenn dari sebelas IPA empat, Kendra dari sebelas IPS tiga. Bagi yang namanya sudah disebutkan, silahkan berkumpul dengan kelompoknya masing-masing."

Setelah pembacaan kelompok yang menurut Retta sangat membosankan, akhirnya namanya pun disebutkan. Retta, Azriel, Rendi, Keisha, Abel, Dikta, Jo, Bagas, Ayu dan Vina, adalah kelompoknya. Padahal, ia menginginkan Atha berada di kelompoknya. Tapi, apalah daya Retta. Meskipun begitu, ia masih bersyukur. Karena, teman dekatnya, berada satu kelompok dengannya.

Setelah pembacaan kelompok selesai. Mereka berkumpul membentuk satu lingkaran besar untuk mendiskusikan siapa yang akan menjadi ketua kelompok, dan pembagian tugas.

"Mending Bagas yang jadi ketua kelompok." Jo mengusulkan.

Sedangkan cowok bergingsul atau biasa di panggil Bagas itu hanya mendengus. "Sebenernya, gue bosen jadi ketua."

"Bagas aja, deh, daripada kelamaan." Keisha menyahut.

"Sha, gitu ya lo sekarang sama gue." Bagas bersidekap.

Azriel yang tadi hanya diam, kini berbicara. "Gas elpijiku sayang, terima aja."

Rendi mengangguk. "Iya, Gas."

Bagas berdecak. "Kalo gue nolak, percuma aja."

"Anak Mama sekarang pintar, ya." Keisha tersenyum lebar.

"Berhubung gue ketua, ya, kan?" Mata Bagas melihat teman-temannya yang mengangguk. "Jadi, gue yang ngasih kalian tugas," lanjutnya sembari menyeringai.

"Tai elpiji."

"Elpiji gak pernah boker, Ren."

"Language Azri, BAB." Vina mengingatkan.

"Shut up! Dengerin gue." Bagas menatap serius. "Jo, lo kebagian nyari kayu sama Vina."

Jo dan Vina mengangguk. "Sip."

Bagas melanjutkan perkataannya. "Ayu, sama Sha, kebagian masak, ya?"

"Loh? Kita satu tenda?" Rendi bertanya.

Semuanya menatap garang ke Rendi. "Ya enggaklah bego!"

"Ay, Sha, ngerti, kan?" Keisha mengangguk, sedangkan Ayu menggeleng sambil cemberut.

"Kenapa, Ay?" Bagas mengerutkan dahi melihat tingkah Ayu.

"Don't call me Ay, Bagas," jawabnya sambil melotot.

Bagas tertawa. "Terserah gue dong, Ay." Ia menaik-turunkan alisnya.

Rendi menatap keduanya bergantian. "Mending lanjutin, deh, elpiji."

"Abel anak UKS, kan?" Bagas bertanya kepada Abel.

Bukan, dia anak setan. Rendi membatin.

"Iya, Dikta juga."

"Kalian berdua gue tugasin buat jadi dokter jadi-jadian." Dikta dan Abel hanya mengangguk.

"Retta, Rendi, Azri, jadi budak gue." Bagas menyeringai.

Ketiganya saling berpandangan. "Lo pikir kita mau? Ya keles jadi budak gas elpiji."

Bagas menhembuskan napas berat. "Kalian bagian apaan, ya? Gue bingung anjir."

"Kita ini serbaguna," ucap ketiganya secara bersamaan.

"Ya, udah. Sekarang kalian ambil perlengkapan buat mendaki. Ada yang sakit?" Bagas melihat sekeliling.

"Gas, gue gak ikut, ya." Ayu menatap Bagas.

"Sakit apa, Ay?"

Ayu cemberut. "Gak sakit, cuma males aja."

Bagas gemas dengan tingkah Ayu. "Gue pacarin lo lama-lama. Gemes gue."

"Najis. Udah ah, gue ambil jaket dulu ya." Ayu membalikkan badannya menuju tenda. Ia tidak ingin teman satu kelompoknya tau.

Bahwa pipinya memerah saat ini.

Setidaknya, saat ini semua masih baik-baik saja.

◀▶◀▶

Atha cemberut saat mendengar namanya disebutkan. Lagi-lagi ia berpisah dengan Retta. Padahal, ia sudah membayangkan bagaimana akan memperlakukan Retta nanti pada saat pendakian. Tapi, semua bayangan yang ia bangun hancur sudah saat namanya tidak disebutkan satu kelompok dengan Retta.

Ranting pohon tidak berdosa menjadi korban kekerasan Atha. Atha yang sedang mematahkan ranting dengan keras itu tiba-tiba merasakan pusing yang mulai mendera kepalanya. "Gue gak ikut ya, pusing gue."

Kelompok Atha yang sedang mendiskusikan perihal pendakian langsung menoleh. "Iya. Tapi, lo kebagian tugas buat jaga tenda ya, barang-barang kelompok kita jangan ada yang ilang," jawab Keo, ketua kelompok dari kelompok Atha.

"Iya, Keo." Setelah berpamitan, Atha menuju tempat di mana kelompok Retta berada.

"Retta mana?" tanya Atha kepada Abel.

"Eh, e―anu Retta itu, aduh, apa ya? Retta ke Pak Slamet, ngambil daftar kegiatan," jawabnya dengan menunduk.

"Thank's Abel." Atha mengacak pelan rambut cokelat Abel. Lalu pergi menuju tempat Retta berada.

Abel mendongak, pipinya memerah seperti kepiting rebus. "MIMPI APA GUE SEMALEM? RAMBUT GUE! GAK BAKAL KERAMAS GUE ABIS INI!"

Pekikan Abel yang sangat nyaring membuat seluruh perhatian terlihkan. "Lo kenapa, Bel?"

Abel menoleh, menatap kawan sepermainannya dengan mata berbinar. "Ya Tuhan, Dikta! Rambut gue!"

Dikta menggendikkan bahu. "Kenapa? Banyak kutunya? Gue tau."

"Bukan itu, rambut gue abis diacak-acak sama Atha, ya ampun!"

"Alay."

Abel cemberut. "Tai lo, dasar gembel."

"Gak gitu. Misi awal kita sekolah di sini itu, buat ancurin mereka berdua. Lo harus inget." Dikta mengusap wajahnya kasar.

"Gue inget kok, gue bakal sakitin mereka, gue bakal pisahin mereka."

"Cara?"

Abel tersenyum miring. "Liat aja nanti."

Rendi yang mendengar perkataan keduanya di balik pohon merasa marah. Rahangnya mengeras, dia benci dengan mereka berdua. Ia tidak mau, seseorang yang ia sayang tersakiti. Rendi akan melindunginya. "Hai, bitch!"

Kedua orang yang sedang berbincang itu menoleh. "Lo sentuh mereka berdua. Artinya, lo cari mati sama gue."

Dikta maju satu langkah dari tempat asal ia berpijak. "Inget perkataan gue, salah satu dari mereka akan mati. Dan lo, gak akan bisa nyelametin mereka."

Rendi sudah ingin menonjok wajah bengis itu. "Apa, sih mau lo? Apa, sih salah mereka?" tanyanya dengan lirih.

"Gue mau mereka mati. Gue dendam sama mereka. Apa itu belum cukup buat lo?" Abel mengangkat satu alisnya.

"Sakitin aja gue. Jangan mereka berdua."

Keduanya―Abel dan Dikta saling berpandangan. "Gue sama Dikta gak punya masalah sama lo, Narendi. Jadi, berhenti nyampurin urusan gue."

"Jangan sakitin mereka. Mereka pantes bahagia."

Dikta menggeleng. "Mereka gak pantes bahagia. Gue muak sama mereka," ucapnya. "Dan, setelah gue pikir-pikir. Gimana kalo lo ikut ngancurin mereka? Ya, lo kan suka sama Retta. Kali aja Atha mati beneran. Terus, lo bisa dapetin Retta deh, tanpa ada pengganggu." Dikta melanjutkan perkataannya, disertai kekehan.

BUGH!

Satu bogeman mentah telah Dikta dapatkan tepat di pelipisnya. "Sekali lagi lo ngomong kayak gitu, gue bakal bunuh lo, pake tangan gue sendiri."

Setidaknya, saat ini semua masih baik-baik saja.

◀▶◀▶

Narendi: Rett, lo dmn?

Retta mengekerutkan dahi membaca LINE dari Rendi.

Adsila C. J: di depan tenda, sm Atha, knp?

Narendi: gw ke sana y, tunggu bntr.

Kerutan di dahi Retta semakin dalam. Kenapa Rendi seperti ini?

"Jidatnya biasa aja." Atha tersenyum lebar.

"Si Rendi aneh," ucap Retta sambil membolak-balikkan daftar kegiatan.

"Aneh kenapa?"

Retta hanya menghembuskan napas. "Seharian ini, dia keliatan beda."

"Lo ...." Atha menggantungkan kalimatnya. "Merhatiin dia banget kayaknya."

"Biasa aja."

"Gue gak ikut mendaki," kata Atha tiba-tiba.

"Lo pusing?" Raut cemas seketika nampak di wajah Retta.

Yang ditanyai hanya mengangguk. "Iya, gue takut kalo ikut, malah tambah parah."

"Gue ambilin obat sama teh, ya?"

Atha tersenyum kecil melihat kepanikan Retta. "Gak usah, peluk gue aja. Cukup kok."

Retta menggelengkan kepalanya. "Dasar kurang belaian."

Atha menghirup wangi rambut Retta yang beraroma jeruk. Ia mempererat pelukannya. "Gue sayang sama lo."

"Me too."

Sedangkan di balik tenda berwarna biru tua, terdapat seorang laki-laki sedang tersenyum kecut melihat kedua remaja yang sudah ia anggap seperti keluarganya kini sedang berpelukan di hadapannya. Hatinya nyeri, semua oksigen
yang ada di sekitarnya hilang. Untuk kesekian kalinya, hati Rendi patah. Untuk hal yang sama. Kekhawatiran akan gadis yang membuatnya terpikat hilang, tergantikan oleh rasa sakit yang teramat dalam.

Narendi: heh, gw gjd ksna y, gw ada perlu sm tmn. Nnti jgn lp, abs solat dhuhur, kumpul sm klmpk kt d dpn pos panitia. Jgn kgn sm gw, muah.

Kemudian, setelah mengirim pesan tersebut kepada Retta. Rendi mematikan ponselnya, dan berjalan menuju mushollah untuk solat duha, serta berdzikir, menenangkan hatinya yang sedang bergejolak menahan cemburu.

Setidaknya, saat ini semua masih baik-baik saja.

◀▶◀▶

"Semua dimohon berkumpul dengan kelompok masing-masing," ucap Tere, salah satu panitia kegiatan ini.

"Sebelumnya, Assalamualaikum. Wr. Wb," ucapnya, dan diikuti oleh sahutan salam. "Siang ini, kalian akan melaksanakan pendakian. Are you ready guys?" tanya Tere dengan senyumnya yang mempesona.

"Ready!" sahut para peserta, terutama peserta laki-laki.

"Retta, sama gue, ya." Tiba-tiba Abel ada di samping Retta.

"Oh―iya Bel, santai aja."

"Gak bisa, Retta sama gue." Rendi menyenggol bahu Abel dengan keras. Hal itu membuat Abel terjatuh.

"Rendi apaan, sih? Dia itu cuma mau bareng sama gue, jangan lebay kenapa!" ucap Retta sedikit membentak. Kemudian, Retta membantu Abel untuk berdiri.

"Cek satu, dua, tiga." Semua perhatian kembali teralihkan kepada Tere. "Mohon perhatian, Kak Liye mau ngomong sesuatu sama kalian."

Liye mengambil alih pengeras suara dari Tere. "Adek-adek, di sini Kak Liye cuma mau bilang, kalian harus hati-hati saat mendaki. Banyak tebing yang akan kalian lewati. Jadi, Kak Liye mohon, jangan banyak bergurau. Ini demi keselamatan diri kalian. Bawa jaket yang banyak kalau kalian tidak betah dengan suhu dingin. Nanti akan ada beberapa pos yang sudah siapkan untuk kalian istirahat. Semoga perjalanan kalian menyenangkan. Hati-hati," ucap Liye diakhiri dengan senyum tipis.

Setelah semua siap, akhirnya pendakian dimulai.

"Gas, lo yang pegang petanya." Jo menyerahkan satu lembar kertas kepada Bagas.

"Gue sama Jo di depan, Azri, Rendi, sma Dikta di belakang. Yang cewek di tengah. Oh iya, Ayu belakangnya Bagas, ya." Bagas mengomando. Ayu berjalan kedepan, dan berhenti berjalan tepat di belakang Bagas.

"Kalo takut pegangan Bagas ya, Ay." Bagas tersenyum lebar memperlihatkan gingsulnya.

"Kayak orang pacaran aja lo berdua," celetuk Keisha yang berada di sebelah Vina.

"Abis ini Ayu milik gue, tunggu aja," ujar Bagas enteng.

Ayu menggeplak punggung Bagas. "Bagas apaan, sih!"

"Ih lucu, pipinya merah. Makin cinta deh Bagas." Bagas menyeringai lebar.

"Diem lo pada." Jo mengingatkan. "Gak ada yang ketinggalan?"

"Gak ada, Jo," jawab Vina.

"Berdoa dulu ya, semoga gak terjadi apa-apa waktu kita mendaki." Jo memimpn berdoa.

"Apa cuma gue yang nyesel gak milih Jo jadi ketua?" Azri berceletuk.

"Gue nyesel."

"Gue nyesel dua."

"Gue nyesel tiga."

"Gue nyesel empat."

"Gue nyesel lima."

"Gue nyes―"

"Lah kalian tadi ngapain malu milih gue." Bagas memutar kedua bola matanya dengan jengah.

"Gue cuma ngikutin alur yang udah di persiapin Tuhan buat kita," jawab Rendi asal.

"Gue tadi khilaf, Gas," jawab Azri tak kalah absurd.

"Udah, jangan ungkit yang lalu. Sekarang mending kita berdoa yang bener. Biar gak terjadi apa-apa nanti. Jalannya dua-dua ya, guys." Jo lagi-lagi mengkomando kelompok mereka.

Setelah berdoa menurut kepercayaan masing-masing, Abel menepuk bahu Retta pelan. "Rett, lo sama gue, kan?" Tanyanya.

Retta menoleh dengan cepat. "Iya, Bel."

Abel menarik cardigannya dengan gugup. "Rett, gu―gue gak berani kalo di pinggir tebing, gue takut jatuh," jelas Abel.

Retta mengangguk maklum. "Gak masalah. Gue yang ada di pinggir tebing. Ya, meskipun resiko jatuh ke jurang lebih besar, sih." Ia tersenyum tipis.

"Kalo lo gak mau, jangan, deh."

"Eh, gak masalah. Gue aja, Bel."

Abel tersenyum puas.

Setidaknya, saat ini semua masih baik-baik saja.

◀▶◀▶

Senja telah menyapa, warna jingga, merah, dan orange beradu berperang manunjukkan keindahan warnanya masing-masing. Para pemuda-pemudi yang sedang berjalan di pinggiran tebing terlihat mulai kelelahan. Tak jarang dari mereka duduk dan menghabiskan sebotol air mineral yang disediakan di tiap-tiap pos. Termasuk sepuluh remaja yang dipimpin oleh pemuda bergingsul atau lebih dikenal dengan nama Bagas.

"Udah gak capek, kan? Yuk, lanjut biar cepet nyampe." Bagas menepuk celana bagian belakangnya yang kotor terkena tanah dan debu. Semua anggota kelompok berdiri, dan melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda selama beberapa menit.

"Iya, gue juga udah pengen sampe," ucap Keisha semangat sambil meninju udara.

"Ayu, masih capek?" tanya Bagas keapada Ayu yang masih duduk berselonjor dengan napas tak beraturan.

Ayu menggeleng ragu. "Gak, Ayu baik-baik aja. Ayo kita lanjut," ucapnya sambil berdiri.

"Jangan dipaksa, kalo gak sanggup mending kita istirahat dulu. Atau mau Bagas gendong?"

Azri hanya mendengus keras melihat keduanya. Ia merasa jomblo saat ini. Feeyla, kekasihnya pasti sedang berleha-leha di tenda. Ia yakin seratus persen bahwa gadisnya tidak akan mau mengikuti kegiatan seperti ini. "Jangan pacaran mulu lo berdua."

Jo hanya tersenyum tipis melihat teman satu kelompoknya. "Jadi, sekarang mau lanjut apa istirahat lagi?"

"Lanjut aja."

"Lanjut aja dua."

"Lanjut aja tiga."

"Lanjut aja empat."

"Lanjut aja lima."

"Ayu gimana?" Jo menatap Ayu dengan lembut.

"Lanjut aja enam," jawab Ayu dengan senyum lebar.

"Ya udah, ayo kawan! Semangat!" Rendi menggerakkan tangannya ke atas, bawah, dan juga samping, seperti pemandu sorak.

Mereka bersepuluh mulai berjalan menyusuri jalan terjal dengan hati-hati.

"Rett."

"Apa, Bel?"

Abel tersenyum misterius. "Liat, deh, matahari yang mau terbenam di belakang lo, bagus banget," ucapnya dengan mata berbinar.

Retta yang memang sangat menyukai senja menoleh dengan semangat. Sampai ia tak sadar, sebuah dorongan yang cukup keras membuatnya terjatuh. Terjatuh ke dalam jurang yang dalam. Laki-laki yang berada persis di belakang Retta sudah mengira. Rendi sudah mengira bahwa akan seperti ini akhirnya.

Hanya jeritan kesakitan terdengar di antara rimbunnya pepohonan.

Kini, semuanya tidak baik-baik saja.

◀▶◀▶

An//

Hayolooo gimanaa :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top