xiii

Aku menapakkan kakiku di koridor yang ramai. Seperti hari Senin pada umummya, Siswa maupun Siswi berpakaian rapi dengan atribut yang lengkap karena malas terkena hukuman. Tapi, masih ada beberapa yang terlihat santai dengan baju tak karuan rupanya.

Guru piket berjajar rapi di depan gerbang untuk menyalami para murid yang baru datang, tukang kebun yang sedang membersihkan rontokan dedauan dengan sapu nenek sihir, seperti itulah aku menyebutnya.

Dan tak lupa curut satu yang selalu tersenyum lebar saat upacara diadakan.

"Pagi Retta," sapanya dengan senyum lebar.

"Pagi, katanya ada murid baru, ya?" tanyaku dengan kepala miring.

"Katanya sih, katanya," balasnya dengan datar.

"Kapan-kapan nyanyiin gue lagi, ya?"

Dia menoleh. "Mau lagunya siapa, sih? One Direction? 5SOS? Greenday? Fall Out Boy? Seventeen? Justin Bieber? Apa mau lagu goyang 25? Tenang, gue bisa genre apa pun," ucapnya bangga.

Aku memukul lengannya. "Noh, acara kesukaan lo dimulai." Aku menunjuk siswa dan siswi yang mulai membentuk barisan.

"Lo nanti, ekstra?" tanya Atha.

Aku mengangguk mantap. "Heran gue, di sekolah cuma boleh bawa kamera pas ada ekstra doang." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Lo udah ngomong kayak gitu berjuta-juta kali." Atha berkata sambil memakaikan topi di kepalaku secara biadab.

"RAMBUT GUE BERANTAKAN, BEGO!" Aku berteriak kesal.

Aku berjalan ke barisan kelasku. Baris mendapat bagian belakang itu gak enak, panas. Lebih enak di tengah-tengah. Apalagi kalo sampingnya cogan. Beuh, mantap coy. Maksud aku cogannya itu Atha.

"Tumben, lo di tengah, biasanya di depan. Tinggi lo kan sepuluh meter." Aku menatap Atha.

"Pala lo sepuluh meter." Ia mendengus kesal.

"Kalo pala gue sepuluh meter, bisa masuk TV."

"Eh, ternyata anak pindahannya ganteng sama cantik," ucapnya dengan semangat.

"Yang ganteng buat gue, yang cantik buat lo." Aku membalas perkataannya.

"Buat gue, ya, cuma lo. Gak peduli anak baru itu cantiknya subhanallah. Tetep lo kok yang paling cantik." Pipiku memanas. Tolong siapapun, aku gak tahan sama omongan cogan di depanku ini.

"Apa, sih, gak jelas banget."

"Gak jelas tapi bulshing. Gak kontras sama omongan." Atha mencibir.

"Diem, deh, bendera lagi dikibarin itu diem, gak sopan." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Nurut aja gue mah sama lo," balasnya dengan tampang polos.

Setelah bendera sampai pada ujungnya, aku menurunkan tanganku dari pose hormat. "Atha, btw, lo baik?"

Dia menoleh. "Hah? Gue emang baik kali."

Aku berdecak. "Bukan itu maksud gue."

"Terus?"

"Muka lo pucet banget. Kayak orang nahan boker." Aku menempelkan telapak tanganku di jidatnya.

Ketika ingin melepas telapak tangku, Atha menahannya. "Jangan dilepas." Dia menatapku lurus tanpa berkedip. Sorot matanya dalam dan menghanyutkan, tatapannya itu berhasil membuat jantungku lagi-lagi berdisko.

"Jomblo di sini," celetukan Rendi membuatku cepat-cepat melepaskan cekalan Atha. Lalu, merasakan panas menjalar di pipiku.

"Kalo jomblo mending diem, deh. Ganggu aja." Atha mencebikkan bibirnya.

Bibirnya gak nahan.

"Cium aja. Gue ikhlas kok." Atha memonyongkan bibirnya.

"Jijik tau, gak!"

"Jangan sok. Aslinya lo pengen, kan? Ngaku aja."

Aku menghentakkan kakiku. "Kalo iya, kenapa? Kalo enggak, juga kenapa?"

"Kalo iya, cium aja." Ia berjeda sebentar. "Kalo enggak, gue mau bilang kalo di sebelah lo ada anak kecil kepalanya ilang." Cengiran setan terbit di wajahnya.

Aku memukul bahunya keras. "Jangan bikin takut!"

"Anak-anak, tolong dengarkan saya!"

Teriakan keras dari depan membuatku berjengit kaget.

"Di sini, Bapak akan mengumumkan. Jika, hari Kamis depan akan diadakan acara perkemahan selama tiga hari. Bagi Siswa maupun Siswi kelas sepuluh dan sebelas diwajibkan untuk mengikuti acara ini, karena akan diberi materi pembelajaran tentang lingkungan alam."

Sejenak suasana hening, semua menunggu penuturan yang akan disampaikan kepala sekolah SMA Millenium.

"Diharapkan siswa dan siswi membawa barang yang penting saja. Keberangkatan pukul tujuh pagi. Sekian, dari saya. Assalamualaikum, wrb."

Lapangan yang tadinya hening, menjadi riuh karena penuturan kepala sekolah. Acara perkemahan, atau lebih dikenal dengan sebutan camping adalah acara rutin yang diadakan oleh pihak sekolah untuk menambah wawasan tentang lingkungan alam.

"Ikut, ya, nanti hari Kamis besok jam enam pagi gue udah di rumah lo, okay?" ucap Atha tanpa basa-basi.

"Iya, bawa jaket yang banyak, bawa topi. Lo, kan, sekarang sering sakit."

Atha memutar bola matanya mendengar penuturanku. "Iya iya, ngerti. Aku kan udah gede, gak kayak kamu."

"Najis pake aku-kamu."

"Ya kan biar sweet gitu. Gue sering baca, nih, ya, kalo cewek itu mau cowoknya peka. Nge-greet duluan, pokoknya mah repot."

"Emang lo cowok gue?" Aku tersenyum miring.

"Kalo mau sih, ayo-ayo aja," balas Atha santai.

Aku mencubit keras perut kotaknya. "Makan noh cubit."

"Gak sakit, lo ngecubit apa ngelus perut gue?"

"Emang itu perut? Bukannya cetakan es batu? Kotak begitu." Aku tersenyum melecehkan.

"Weits, jangan salah. Banyak kali yang pengen ngelus perut seksi gue ini." Dia tersenyum miring.

Aku menggeram. "Sialan."

"Gak boleh ngomong gitu dong. Nanti, kadar unyu kamu ilang."

"Jangan pake aku-kamu! Jijik, tau gak!" Padahal aslinya aku seneng, sebutlah diriku ini munafik.

"Bawel banget. Yok, ke kelas." Atha mengamit tanganku.

Aku memperhatikan sekitar dan ternyata lapangan yang tadinya ramai, sekarang sepi, tapi aku sama sekali tidak menyadarinya. Terkutuklah, Atha, yang membuatku lupa daratan.

"Jangan bengong, banyak setan berkeliaran." Atha menarik hidungku.

"Bawel banget sih dari tadi."

"Ih, nanti kalo aku gak bawel, kamu nanti kangen. Aku kan baik, karena, aku gak mau bikin kamu kangen sama aku. Jadi, aku bawel aja."

"Terserah apa kata lo dah. Cogan mah bebas." Aku berbicara seenaknya.

Dia berhenti melangkah. Tak bergerak, tak berkutik, tak berkedip. Ini orang mati di tempat?

"APA? LO BILANG APA? GUE COGAN? SUBHANALLAH! AKHIRNYA LO MENGAKUI KALO GUE INI GANTENG," teriaknya heboh sambil mengguncang-guncang bahuku dan tersenyum bahagia.

Lihatlah, betapa alaynya cogan satu ini.

"Alay banget, gak pernah ada yang bilang gitu ya? Kasihan."

Dia menarik rambutku. "Udah sering, apalagi fans gue. Sampe bosen dengernya." Iamengibas-ngibaskan tangannya.

"Bawel."

"Cogan mah, bebas."

Aku menoleh secepat kilat ke arahnya. "Lo orang atau apa, sih? Ngeselin banget, gue bantai juga lo." Aku mendelik ke arahnya.

Atha mengelus lehernya, dan tersenyum menggelikan. "Aw, mau dong dibantai."

"Lo ngeselin!" Aku lagi-lagi menghentakkan kakiku lalu pergi dari hadapannya.

"Jangan ngambek! Gue cium, nih!" teriakan samar-samar dari Atha masih terdengar.

Ya, udah, aku terus aja ngambek, biar dicium. Eh.

◀▶◀▶

Kelas yang tadinya ramai, sekarang mendadak hening karena kedatangan guru gendut yang bohay atau sering disebut, Bu Eni, dengan dua orang remaja yang mengekori dirinya.

"Selamat pagi, Anak-Anak. Hari ini, kita kedatangan teman baru, yang berasal dari Bandung, silahkan kalian berdua memperkenalkan diri," perintah Bu Eni.

Oh, Tuhan, itu cowoknya ganteng banget.

Si cowok berdehem. "Gue Adikta, panggil aja Dikta. Jangan kecewa, gue bukan artis. Tapi, muka gue sebelas dua belas kok sama Dikta yang asli." Dia menunjukkan cengirannya.

Dikta menoleh kepada wanita di sampingnya dan memberikan kode untuk memperkenalkan diri.

"Hai, gue Annabelle. Tapi plis, jangan samain gue sama boneka setan itu. Panggil gue Abel," ucapannya diakhiri kikikan geli para siswa lain.

Aku gak tau, kenapa anak baru ini dua-duanya nyangsang di kelasku. Dan, ada yang perlu kalian semua tau, Atha dari tadi narik-narik rambutku dari belakang, rasanya tuh sakit.

Aku menyuruhmya untuk pindah tempat duduk tadi. Dipikir aku gak bisa ngambek. Awalnya, dia ngotot gak mau pindah, setelah aku ancam dengan 'gue gak mau liat muka lo lagi, kalo lo sekarang gak pindah' manjur juga ternyata.

"Kalian berdua silahkan duduk di tempat yang kosong." Bu Eni berkata sambil memulai pelajaran. Aku tidak lagi mendengarkan omongan Bu Eni, aku sibuk dengan pemikiranku sendiri sambil mencorat-coret buku.

"Gue duduk sini, boleh?"

Aku mendongak dan ternyata itu Dikta. "Boleh, kok."

Bangku yang tadinya akan di duduki oleh Dikta seret ke samping. "Itu tempat duduk gue," ucap Atha tajam.

Dikta mengernyit. "Terus, kenapa lo malah duduk di situ?"

"Gak usah bacot! Pokoknya lo gak boleh duduk di situ, itu tempat gue."

"Ya, tapi ka―"

Ucapan Dikta terpotong oleh perkataan Bu Eni. "Ada apa itu ribut-ribut? Cepat duduk! Pelajaran sudah di mulai." Bu Eni berkacak pinggang.

Dikta dan Atha yang berisiteru segera diam. Aku mengkode Dikta agar duduk di sebelahku.

"Abel, sini duduk sebelah aku," ajak Atha sok unyu.

Abel yang tadi hanya mendengarkan perdebatan kita, tersentak kaget. "I―iya."

Sejenak aku melirik Atha dengan sini. oh ya, aku merasa duduk sebangku sama artis. Oke, lupakan. Fokus dengan pelajaran.

◀▶◀▶

Bel pulang sekolah berdering, aku membereskan buku dan alat tulisku yang berserakan.

"Ayo, Rett." Atha menggandengku menuju arah yang berlawanan dari loker.

"Ambil kamera dulu, pea." Aku mengingatkan.

Dia menepuk dahinya. "Eh! Ekstra, ya? Lupa gue."

"Iya, bentar ya, gue ke loker dulu."

Dia menahan lenganku. "Ikut."

Aku mengangguk pasrah.

Setelah menempuh perjalanan berliku-liku penuh rintangan yang menyulitkan untuk sampai pada loker berwarna biru donker yang bertuliskan 'Claretta' ini, aku bernapas lega.

Fyi, di sekolah ini itu, setiap siswa bebas memilih warna pada lokernya masing-masing. Jadi, di setiap loker itu sudah ada warna tersendiri.

"Udah?" Pertanyaan Atha membuatku mengangguk.

Aku menuju ruang fotografi yang biasa dijadikan tempat ekstra. Saat sampai, aku langsung membuka pintu. Ruangan yang biasanya sangat ramai, sekarang menjadi sangat sepi.

"Kok sepi, sih?" Aku berkata kesal, lalu menoleh ke Atha.

"Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga. Hai, begitulah kata para pujangga, aduhai begitulah kata para pujang―"

PLETAK!

Aku memukul kepalanya dengan tas yang aku kenakan.

"Sakit, Retta!" Dia mengelus kepalanya sambil cemberut.

"Makanya jangan becanda, bikin kesel aja."

"Ya udah sih, libur kali ekstranya." Dia menggumam.

"Pulang?" Aku bertanya.

"Yuk, pulang!" Atha menyampirkan tas di bahunya.

Aku mengangguk. "Langsung pulang?"

Atha menggeleng. "Ke cafe dulu, ya." Dia berjeda. "Ngidam cheesecake."

"Oke, gue juga lagi pengen caramel machiatto."

"Jadi cewek jangan keseringan minum kopi, gak baik buat lambung." Atha mengelus puncak kepalaku.

"Iya, ngerti."

Aku dan Atha berjalan beriringan menuju pelataran parkir.

"Ayo, kita capcus!"

Atha men-stater motornya dan membelah jalan raya yang penuh dengan polusi.

◀▶◀▶

An//

Makasih yang udah ngikutin sampe sini, kubahagia, kau terlahir di dunia :v

Babay!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top