xii
Senja menyapa, memaparkan keindahan warna jingga yang menawan. Matahari hampir sampai pada ujung barat, malam akan segera datang. Nyanyian merdu dari sang burung-burung memberikan ketenangan dalam diriku. Hidup dalam sakit yang mendalam telahku pendam selama ini, menjadikan aku pribadi yang kuat dan lebih baik. Senja yang selalu menmaniku dalam sakit, tempatku melarikan diri, tempatku menumpahkan segalanya, senja yang selalu mengobati segala kesakitan yang telah ku pendam selama ini. Sampai hari ini masih senja yang mengertiku.
Aku berterimakasih pada Tuhan telah menciptakan senja, karena senja aku bisa menikamti ciptaaanmu yang mampu membuatku dan hatiku damai. Membuat jiwaku yang kalut menjadi tentram. Tapi, sebentar lagi matahari telah terbenam, langit hanya berhias mega merah dan jingga. Bulan akan segera datang, pekatnya malam akan segera dimulai. Tidak sepeti jingga yang hangat, malam akan menjadi pertanda bahwa kehangatan senja sudah berakhir.
Aku mengeluarkan kameraku dari ransel, memotret segala macam benda atau makhluk yang kutemukan disini. Jepretan demi jepretan telah kudapatkan. Hingga seorang wanita melayang mendekatiku, ya dia makhluk tak kasat mata. Aku mempunyai indra keenam, perempuan ini selalu datang kemari, kadang juga dia menemaniku.
Awalnya aku takut, tapi lama-kelamaan aku terbiasa dengan sendirinya. Perempuan ini memiliki paras yang cantik, sayang sudah menjadi setan. Kalo masuh idup, bakalan aku jadiin gebetan. Kan lumayan. Dia tak pernah berbicara, jelaslah dia kan setan. Dia selalu menatap kosong ke arah laut, tak pernah mempedulikan siapapun. Tapi hari ini dia menoleh kepadaku dan tersenyum.
"Halo, Mbak Set." Aku menyapanya dengan senyum lebar. Dia diam lalu mendelik kepadaku.
"Tumben tadi senyum. Biasanya merengut aja kayak orang nahan boker." Ia hanya diam, mukanya datar gak berekspresi macam setan.
"Mbak, jawab dong, masa ganteng-ganteng gini di kacangin." Aku berkata lagi.
Dia mengangguk. "Widih, Mbak bisa ngangguk gitu," ucapku takjub.
"Kamu mau dicekik?" Mataku melebar mendengar ia berbicara.
"Mbak, suaranya serak-serak seksi gitu." Aku membalas ucapannya dengan gembira.
Dia mengangkat tangannya, berusaha mencekikku. Tapi, aku ini gesit. "Eits, jangan main cekik, Mbak Set."
Dia kembali duduk. "Aku ini korban pembunuhan."
Yang nanya? Batinku.
"Terus, gue harus bilang wow, gitu?"
"Kamu jadi manusia jangan songong, aku cekik mampus kamu."
"Aduh takut, deh." Sumpah, aku tidak pernah takut namanya setan.
"Aku dibunuh oleh kekasihku sendiri." Aku yang mendengarnya hanya mendengus.
"Dia merencanakan pembunuhan terhadap semua keluargaku. Mungkin, keluargaku sudah memaafkannya. Tapi, aku tidak. Aku masih ingin membalasnya. Aku heran mengapa orang jahat seperti dia masih diberi kebebasan. Seharusnya dia ada di penjara, atau makam," jelasnya dengan wajah tak berekspresi.
Aku diam, bingung ingin merespon apa.
"Aku pergi, ya." Akhirnya, ia berbicara. Setelah terjadi keheningan sekitar tujuh menit, empat puluh sembilan detik. Oke, alay.
"Pergi aja, Mbak Set, yang nyuruh dateng juga siapa."
Dia melayang rendah meninggalkan aku, sendiri di malam yang hampir pekat ini. Aku benci sendiri, aku bangkit menuju pelataran parkir. Dan, pulang.
◀▶◀▶
Retta POV.
"Kak, gebetan gue punya pacar." Perkataan miris dari adik lelakiku membuatku menoleh.
"Mampus, makanya jangan usil sama gue," ucapku tak peduli.
"Yah, Kak kejam sih, dengerin gue kek."
"Kenapa gak cerita sama Abang? Dia kan, pakar cinta."
"Abang tidur, ngorok lagi. Mulutnya mengap-mengap kayak kekurangan napas."
Aku di rumah jadi anak perempuan satu-satunya, punya Abang yang sedeng, Adek usil banget tapi kadang manja. Tapi, saudaraku ganteng semua. Hidup dikelilingi cogan mah enak. Jangan iri sama aku.
"Jadi cerita?" Aku merapatkan posisiku. Lalu merangkul punggungnya Azka―adikku, dan ia bersandar di bahuku.
"Tadi gue liat dia gandengan sama cowok, terus manggil cowok itu 'sayang'."
Aku menghela napas. "Gitu doang?" Dia mengangguk kecil.
"ASSALAMUALAIKUM, AZKI PULANG!" teriakan memekakan telinga itu membuatku menoleh. "Baru pulang?"
"Iya Kak, gue abis sparring." Penjelasannya membuatku mengangguk.
"Kak, Azki juga mau dirangkul kayak gitu," rengeknya saat melihat posisiku dengan Azka.
Mereka kedua Adik kembarku. Azka dan Azki, ganteng. Kalo bukan Adik, udah aku jadiin gebetan. "Mandi dulu, abis itu makan. Mama sapa Papa lagi ada acara."
"Iya deh, tapi nanti peluk, ya?" Ia menaik turunkan alisnya.
Setelah mendapat anggukan dariku, pandangannya beralih pada Azka. "Azka udah mandi belom? Hayo?" Azki ini memang sedikit oleng, gak jelas, lawak, tapi kadang lawakannya garing, rempong. Beda dengan Azka, dia sering galau gara- gara cewek tapi tegasnya ngalahin Abangku.
"Udah, mandi sana. Kaos kaki lo cuci napa sih, sebulan gak di cuci. Jorok banget." Kembar tapi sifatnya beda. Satu bersih, satunya jorok.
"Cuciin, dong. Azka kan Abang. Eh, gak deh, gue beli aja besok. Yang ini buang aja," ucap Azki sambil menaik turunkan alis dengan muka songongnya.
"Songong amat lo hah, punya duit buat beli permen sebiji aja gak punya."
"Ya, makanya, kasih duit dong Abang Azka, lo kan ganteng."
Azka mendengus. "Mati aja lo," balas Azka dengan suara datar.
Azki nyengir dan berjalan santai ke kamarnya.
"Ngimpi apa gue punya kembaran gila. Mati aja sana," gumaman Azka masih bisa kudengar.
"Jangan gitu," ucapku gemas sambil mencubit pipi putihnya.
"Lo harus bersyukur, punya saudara yang ngeramein di rumah. Kalo di rumah Azki gak ada mungkin rumah ini sepi, Azki itu salah satu keluarga kita. Segila-gilanya dia, sebejat-bejatnya dia, tapi, dia tetep jadi saudara lo, Dek. Sebenci apapun lo sama dia, semuak apapun lo harus tetep sayang dia, ngehargain dia. Mau gimana pun lo pengen dia pergi jauh, dan nanti kalo dia bener-bener pergi. Lo gak akan pernah ngerasa lengkap lagi."
"Gue ngerti Kak, gue gak benci sama Azki. Gue sayang sama dia, gue juga pernah ngerasa kehilangan dia. Waktu dia tinggal selama setengah tahun ke Surabaya, ke rumah nenek. Tinggal di sana, sekolah di sana. Dan lo tau, Kak?"
Aku mengerenyit bingung. "Apaan?"
"Gue nangis hampir lima hari, gak mau sekolah."
Aku menganga. "Kok gue enggak tau?"
"Soalnya, lo waktu itu nginep di rumah Kak Keisha, kalo nggak salah semingguan."
"Lo ngapain nangis?"
Dia merengut. "Abisnya, Azki gak bilang ke gue kalo mau pindah. Gimana gak kesel, coba. Abis nangis lima hari itu, tiap hari gue skype dia, gue gak bisa jauh lama-lama sama Azki, waktu dia udah balik kesini, kadang kalo gue gak bisa tidur, gue masih tidur bareng-bareng sama Azki," dia menjeda perkataannya. "Kadang berakhir Azki di kolong kasur, kalo gak ya gue nyium lantai," Azka meringis.
"AZKA, NANTI BOBO BARENG AZKI, YA, AZKI MAU CURHAT," teriakan Azki memenuhi penjuru rumah. Bobo bareng.
"RETTA, NANTI BOBO BARENG ABANG, YA, ABANG MAU CURHAT."
Mataku melotot. "GUE DEPAK DARIS SINI LO, BANG!" Aku membalas teriakan biadab itu.
"Bobo bareng berenam, yuk," ajak Azki yang tiba-tiba ada disebelahku.
Pletak!
Tiga buah tangan mampir ke kepala Azki. Bang Rengga ngikut mulu kerjaannya.
"MAU BOBO BARENG BERENAM GAK?"
Kita berempat menoleh, lalu mendapati dua orang yang telah berjuang keras mendapatkan kita semua. papa dan mama.
"MAMA! PAPA!" Pelukan teletubbies tercipta sepersekian detik.
"Mama beliin popcorn nih, mau movie marathon, gak? Mumpung besok weekend." Tawaran menggiurkan Mama, apalagi popcorn caramel di tangannya membuatku mengangguk semangat.
"AYOK!" Kita menjawab serentak.
Setidaknya, sementara ini aku bisa melupakan kecurigaanku terhadap Atha. Kecurigaan yang aku peroleh karena tingkah anehnya, dia emang aneh, sih. Tapi, sekarang lebih aneh lagi. Suka gampang pingsan atau mimisan gitu.
"Pa, Azki mau ambil guling dulu, ya, ke atas. Siapa tau nanti nonton film horor. Jadi, pas Azki liat adegan yang ada setannya, Azki bisa langsung tutup mata sama guling," cerocos Azri.
"Eh, Azri! Ambil dua, ya. Kali aja gue ketiduran." O, Adikku, aku gak bayangin kalo mereka nonton di bioskop. Masa bawa-bawa guling.
"Mama sama Papa ke atas dulu, ya."
Setelah Mama dan Papa ke atas. Aku, Bang Rengga, dan Azka diam bergelut dengan pikiran masing-masing.
"Ini guling buat gue, ini buat Azka, terus ini bantal spongebob buat Abang Rengga, ini boneka teddy bear segaban punya Kak Retta, terus... apa lagi, ya." Dia diam sebentar lalu berkata. "Oh ya! Selimut biar anget."
"Azki, ribet banget, sih. Gue, kan, gak minta bawain." Bang Rengga berdiri, lalu membantu Azki yang kerepotan membawa barang.
"Huah, makasih cogan!" ucap Azki sambil mengedipkan sebelah matanya, yang membuatku jijik.
Aku sibuk mengotak-atik ponselku, tanpa aku sadari tiga orang cogan memperhatikanku yang sedang senyam-senyum sendiri.
"Berhenti senyum-senyum sendiri cewek gila."
Aku menatap garang tiga cogan yang sedang diam dengan ekspresi datarnya itu. "Gak suka banget liat gue senyum."
"Iya, gak suka. Kenapa? Gak boleh?"
"Apa lagi?" Ketiganya tersenyum cerah menatapku. Ciri jika mereka menginginkan sesuatu dariku adalah berbicara bebarengan.
"Rangkul kayak Azka tadi," rengek Azki yang kemudian sudah duduk di sampingku dan memposisikan dirinya seperti Azka tadi. "Kakak wangi jeruk, seger jadinya."
"Kayak cabe-cabean gue jadinya."
"Azka pengen, Kakak buatin cokelat panas."
Bang Rengga menyahut. "Gue pengen kiss," seringaian mesum tercetak di bibirnya.
"Mesum banget sih, Bang."
"Gue gak minta apa-apa." Bang Rengga nyengir.
"Oke."
Aku menyingkirkan kepala Azki dari pundakku. "Ih, Kakak! Kenapa di singkirin, udah nyaman juga," sungut Azki tak terima.
"Bentar, Kakak mau buat cokelat panas dulu. Azki sama Bang Rengga, mau?" Aku menatap sekeliling meminta jawaban.
"Azki sih, yes."
"Abang juga, yes."
Aku beranjak dari tempat dudukku, dan berjalan menuju dapur untuk membuat cokelat panas yang mereka minta. Aku ini sering sekali di jadikan babu oleh saudara kandungku sendiri. Miris.
Empat buah cokelat panas sudah tertata rapi di atas nampan, dan segera saja aku berjalan santai dengan hati-hati menuju ruang tengah.
"Nih." Aku menyodorkan masing-masing gelas cokelat panas kepada mereka, satu gelas lainnya untuk aku sendiri.
"Ini jadi nonton gak, sih?" tanyaku bingung, karena pintu kamar kedua Orang Tuaku tak kunjung terbuka.
"Mau intip?" saran Bang Rengga dengan mata berbinar dan cengiran lebar.
"Boleh deh boleh." Azri yang tak kalah sengkleknya dengan Bang Rengga mengikuti langkah kakak laki-lakinya itu dengan semangat.
Azka berdehem. "Gak boleh intip-intip kamar orang tua sendiri, gak baik." Azka menasehati. Sedangkan aku hanya diam mendengarkan, dan sesekali menyesap cokelat panas yang tadi kubuat.
"Gue aja, deh. Azki gak usah ikutan."
"Apa kata lo, Bang." Azki menyahut pasrah.
Dengan langkah mengendap-endap Bang Rengga mengintip dari celah pintu. "Yah, bonyok udah tidur."
"Kita juga tidur aja gimana?" Azka menyarankan.
"Yodah, yuk, Azka bobo sama Azki, ya." Azki menyeret pelan Azka ke kamarnya.
"Bang, gue ke atas ya," pamitku yang hanya dihadiahi gumaman Bang Rengga yang tengah menonton TV.
Sampai di kamarku yang berbau jeruk, aku langsung merebahkan diri dan mengambil ponsel yang berada di saku celana yang kukenakan.
Atha: gabisa bobo nih :(
Retta: sama, nyanyiin dong.
Balasanku untuknya hanya di-read. Songong nih, anak. Lima menit menunggu tak kunjung ada tanda bahwa ia akan membalas. Aku mendengus lalu memeluk guling untuk tidur. Tak lama, notifikasi dari LINE terdengar. Aku segera membukanya, dan dilanda kekecewaan karena itu hanya notifikasi dari Getrich.
Aku menggulingkan tubuhku kekiri dan kanan, mencari posisi nyaman itu tidur.
Lagi-lagi notifikasi LINE terdengar.
Atha mengirim suara.
"Apaan ini anak ngirim vn malem-malem." Aku bergumam.
Setelah loading, intro lagu yang di mainkan secara acoustic mulai terdengar.
I drove by all the places we used to hangout getting wasted.
I tought about our last kiss, how it felt the way you tasted.
And even tought you friends tell me you're doing fine.
And you somewhere feeling lonely even tought he's right beside you?
When he says those word that hurt you, do you read the ones I wrote you?
Sometimes I start to wonder, I was it just a lie?
If what we had was real, how cold you be fine?
Cause i'm not fine at all.
I remember the day you told you were lieving.
I remember the make-up running down your face.
And the dreams you left behind you didn't need them.
Like every single wish we ever made.
I wish that I could wake up with amnesia.
And forget about the stupid little things.
Like the way it felt to fall asleep next to you?
And memories I never can escape.
Cause I'm not fine at all.
The picture that you sent me they're still living in my phone.
I'll admit I like to see them, I'll admit I feel alone.
And all my friend keep asking why I'am not around.
It hurt to know you're happy, yeah, it hurt that you've moved on.
It's hard to hear your name when I haven't seen you in so long.
It's like never happened was it just a lie?
If what we had was real, how you could you be fine?
Cause I'm not fine at all.
I remember the day you told you were lieving.
I remember the make-up running down your face.
And the dreams you left behind you didn't need them.
Like every single wish we ever made.
I wish that I could wake up with amnesia.
And forget about the stupid little things.
Like the way it felt to fall asleep next to you.
And the memories I never can escape.
If today I woke up with you right beside me.
Like all of this was just some twisted dream.
I'd bold you closer than I ever did before.
And you'd never slip away.
And you'd never hear me say.
I remember the day you told you were leaving.
I remember the make-up running down your face.
And the dreams you left behind you didn't need them.
Like every single wish we ever made.
I wish that could wake up with amnesia.
And forget about the stupid little things.
Like the way it felt to fall asleep next to you.
And the memories I never can escape.
Cause I'am not fime at all.
No, I'am really not fine at all.
Tell me this is just a dream.
Cause I'am really not fine at all.
Alunan suara gitar dan suara merdu yang bass itu hilang. Berganti dengan helaan napas.
Good night Retta, have a nice dream.
Vn yang berdurasi 4 menit lebih ini berakhir. Aku membuka LINE yang di kirim Atha sesudah mengirim vn ini.
Atha: maaf bales lama, nyari gitar gak ketemu-ketemu. Jangan kepo ya gue ngerekam vn gimana, secara gue kan maen gitar. Malam.
Aku tersenyum lebar, tak berniat membalas LINE dari Atha.
Bahagia itu sederhana, sesederhana kau menyanyikanku dengan suara indahmu itu.
Di tengah ketenangan hati,
Adsila-
◀▶◀▶
An//
Hmm. 2K words loh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top