vi

[REVISI]

Seorang perempuan kecil sedang berjalan menyusuri jalan setapak menuju tempat bermain di kompleknya. Perempun kecil itu bersenandung kecil, sesekali  ia menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mengikuti irama lagunya.

Tanpa ia sadari, seorang bocah laki-laki menguntitnya dari belakang, mengawasi setiap hal yang dilakukan perempuan kecil itu dengan detail. Bocah lelaki itu hanya tersenyum kecil melihat tingkah menggemaskan darinya.

Senyum kecil itu pudar, digantikan oleh raut khawatir dan cemas ketika ia melihat peremuan kecil itu terjatuh. Tanpa babibu lagi, ia langsung berjalan cepat mengampiri perempuannya yang terluka.

"Kamu baik-baik aja, kan? Gak ada yang luka?" tanyanya dengan suara khawatir yang sangat kentara.

Dia mendongak, menatap laki-laki kecil di depannya ini dengan mata bulat tajamnya. "Ssh, lutut aku sakit," ucap gadis kecil itu dengan meringis menahan rasa sakit.

Lalu, bocah lelaki tampan itu, menyodorkan punggunnya. "Kamu naik aja ke punggung aku, aku bawa obat merah. Nanti, aku obatin lutut kamu di bangku itu," ucap lelaki kecil itu sambil menunjuk bangku tempat bermain yang tak jauh dari tempat mereka berada.

Dengan ragu perempuan kecil itu menaiki punggungnya. Saat ia naik ke punggung laki-laki itu, aroma tubuh berbau coklat yang sangat menyengat menyeruak masuk ke indra penciumannya, membuat perempuan kecil tersebut merasa sangat nyaman berada di gendongan lelaki itu. Ia semakin mengeratkan pegangannya karena takut terjatuh. Ia juga menyenderkan kepalanya di punggung yang menurutnya sangat nyaman.

"Kamu duduk dulu, ya," pinta lelaki kecil itu, sambil menurunkan perempuan kecil dari punggungnya.

"Kok turun?" sungut perempuan kecil itu tak terima.

"Kan udah nyampe, tenang aja nanti kamu aku anterin pulang, oke?" Bocah lelaki itu mengedipkan salah satu matanya.

Cengiran lebar tercipta karena ucapan dari bocah lelaki itu. "Beneran?" tanyanya dengan mata berbinar.

"Beneran, dong. Aku, kan, gak pernah bohong sama kamu."

Senyumnya terganti dengan raut heran. Dahi perempuan kecil tersebut mengkerut. "Kamu mau apa?" tanyanya saat ia melihat lelaki kecil itu mengeluarkan obat merah dan handsaplas.

"Aku mau obatin lutut kamu. Nanti kalo gak diobatin lutut kamu bisa dimakan cacing."

Mata perempuan kecil itu membelalak kaget. "Ya udah, cepet obatin. Aku gak mau lutut aku dimakan cacing," ucapnya jijik.

Lelaki kecil itu hanya terkekeh pelan.

"Aw, sakit. Pelan-pelang dong," ringis perempuan kecil itu.

Lelaki kecil tersebut tidak menggubrisnya, dan tetap serius mengobati. "Nah! Selesai!" sorak lelaki kecil itu.

"Aku masih mau main di sini dulu, kamu temenin aku ya," pinta perempuam kecil itu dengan puppy eyes-nya.

Lelaki kecil tersebut duduk bersebelahan dengan perempuan kecil itu. "Kata Mama, aku gak boleh bikin kecewa orang yang aku sayang." Lelaki itu tersenyum konyol dan melanjutkan perkataannya. "Dan kamu termasuk orang yang aku sayang, jadi aku bakalan nemenin kamu."

Perempuan kecil itu menatap lelaki kecil di depannya dengan kepala miring dan sorot bingung. "Aku gak ngerti kamu ngomong apa."

"Kamu gak perlu ngerti. Pulang aja, deh sekarang. Aku anterin kamu pulang. Udah mau maghrib," ajak lelaki kecil itu sambil mengamit tangan perempuan kecil di sebelahnya. Perempuan  kecil itu hanya mengikuti langkah lelaki kecil itu dengan tertatih-tatih.

"Kamu bisa jalan, kan?" tanya bocah tampan itu.

"Bisa kok, tenang."

"Tapi jalannya kayak gitu."

"Udah, aku gak kenapa-kenapa."

"Mau aku gendong lagi?"

"Gak."

"Oh ya, nama kamu siapa?"

"Sila?"

Lelaki tampan itu mengangguk paham.

"Nama kamu siapa?" tanya Sila dengan nada penasaran.

"Nama aku Ir―"

"YA AMPUN, SILA LUTUT KAMU KENAPA? HADUH MAKANYA KAMU KALO JALAN ATI-ATI. JANGAN CEROBOH!" teriak seseorang dengan heboh.

"Mama, aku gak kenapa-kenapa. Tadi dia nolongin aku," ucap Sila sambil menunjuk lelaki kecil di sebelahnya.

"Makasih ya, Nak, udah nolongin anak Tante."

"Iya, Tante sama-sama, aku pulang dulu ya, nanti dicariin Mama. Sila, aku pulang dulu ya," pamit lelaki kecil tampan itu. Dan berjalan menjauhi rumah Sila.

"GANTENG! MAKASIH YA, ATI-ATI PULANGNYA!" teriak Sila dengan semangat. Lelaki tampan itu menoleh dengan wajah sumringahnya dan tersenyum sangat lebar sehingga memperlihatkan deretan gigi susunya yang rapi.

Dan Sila sangat menyukai senyuman itu.

◀▶◀▶

Retta terbangun dari mimpinya. Sial, kenapa aku  mimpi itu lagi. Siapa si cowok itu, kenapa mukanya gak jelas, Retta membatin.

Jam menunjukkan pukul 01.23, Retta sering terbangun tengah malam, dan bermimpi bahwa ia sangat mengagumi ketampanan laki-laki yang sering datang di mimpinya itu. Retta sangat ingin mengingatnya, tapi ia tidak bisa. Retta sangat ingin menghirup aroma coklat milik lelaki itu, tapi sakit kepala yang luar biasa selalu menyiksanya jika ia berusaha mengingat lelaki itu.

Pikirannya kosong, Retta mencoba tidur kembali. Tapi, lagi-lagi banyak pikiran memenuhi otaknya.

Laki-laki itu.

Aroma coklat.

Bangku tempat bermain.

Punggungnya.

Deretan gigi susunya yang rapih.

Handsaplas.

Hanya itu yang mampu Retta ingat.

◀▶◀▶

Retta berjalan cepat di koridor yang lenggang. Tak banyak siswa bersliweran. Hanya satu atau dua, termasuk Retta sendiri.

Terlambat. Hanya kata itu yang berputar-putar dibenaknya. Retta berhenti berjalan cepat ketika sampai di kelas yang bertuliskan X-IPA 2. Dengan perasaan campur aduk Retta mengetuk pintu kelas.

"Maaf, Bu, saya telat," ucap Retta sambil menundukkan kepala, melihat converse hitamnya. Ia selalu takut melihat wajah gurunya. Apalagi yang berwajah galak seperti Pak Slamet, siapa yang berani? Mungkin cuma Atha.

Ah, laki-laki itu, Retta tersenyum sendiri membayangkan wajah lugunya. Bagaimana bisa laki-laki yang belum genap satu minggu Retta kenal, bisa membuatnya tersenyum-senyum sendiri seperti ini layaknya orang gila?

Sebelum Retta dianggap gila oleh teman satu kelasnya karena senyum-senyum sendiri―padahal ia telat, sebuah suara tajam dan kejam menusuk indra pendengarannya.

"Kenapa telat?"

"Karena gak tepat waktu, Bu," jawab Retta ngawur. Sedetik kemudian, Retta menepuk dahi karena jawabannya sendiri.

"Saya gak nanya kalo soal itu." Suara guru di hadapan Retta semakin tajam.

"Kan tadi Ibu nanya, gimana, sih?"

Atha yang melihat Retta berargumen dengan guru di depan sana hanya tersenyum geli. Bisa-bisanya menjawab asal ceplos seperti itu. Walau Atha sendiri juga suka seperti itu, sih.

"Sudah, kamu ini, duduk."

Kedua sudut bibir Retta tertarik. Perempuan itu berjalan ke bangkunya dengan senyum sumringah, mengabaikan teman-teman sekelasnya yang sedang menatap ia dengan geli.

"Dasar. Gak takut apa jawab asal nyeplos kayak gitu?" Atha melontarkan pertanyaan sambil menaikkan satu alis saat Retta sudah duduk manis di sebelahnya.

Retta mengerling jenaka. "Ngapain? Gue gitu."

"Oh, ya, ikut eskul apa?"

Kening Retta terlipat, sok berpikir, padahal aslinya dia sudah menentukan ekskul yang akan dipilihnya nanti.

"Sok mikir banget."

Retta tertawa. "Fotografi sama luk―"

Perkataan Retta berhenti saat sebuah penghapus papan tulis terlempar ke arahnya. Sial, pasti Retta akan diusir dari kelas sebentar lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top