iii

[REVISI]

Apel hari kedua MPLS membuat Retta mendengus. Cuaca saat ini tidak mendukung sama sekali untuk mengadakan apel. Maksud Retta, bukan cuaca buruk seperti hujan, tapi cuaca yang terlalu baik sampai matahari bersinar dengan terik di atas sana. Padahal, ini masih menunjukkan pukul delapan pagi.

Retta meneliti sekitar, sebagian besar peserta MPLS yang akan mengikuti apel pun raut wajahnya tidak jauh berbeda dengan Retta. Sumpek. Malas. Apalagi, para perempuan yang sudah berdandan sebelum pergi ke sekolah. Pasti mereka sedang menyumpah serapah, takut makeup yang sudah mereka poles dengan baik dengan waktu lama, kini luntur begitu saja.

Retta sendiri bukan malas karena itu, ia hanya tidak suka saat matahari menyengat kulitnya. Ia merasa akan gosong jika hal itu terjadi.

"Bengong aja. Ayo baris!"

Retta mengangguk, matanya menatap ke depan, lamat-lamat memerhatikan seorang laki-laki bertubuh tegap yang selalu menghindar ketika Retta mendekati. Sebenarnya, laki-laki itu kenapa?

"Sha." Retta menarik rambut perempuan di hadapannya ini, mencari perhatian.

Sedangkan yang ditarik rambutnya hanya mendengus. "Apa?" tanya Keisha malas.

"Lo tau cowok yang itu, gak?" Retta menunjuk seorang laki-laki yang sedang berbincang riang dengan kedua orang temannya. Laki-laki yang Retta ketahuin bernama Fairel Atharizz C.

Sejena, Keisha terdiam, rahangnya terasa jatuh saat Retta bertanya. "Eh, itu? Dia Atha. Kenapa emang?"

"Nggak apa, aneh aja dia selalu menghindar sama gue."

Keisha menarik napas, lalu membatin, "Jelaslah dia menghindar."

"Oh." Hanya itu jawaban yang sanggup Keisha utarakan atas pernyataan Retta.

Merasa awkward dengan suasana ini, Keisha segera mengalihkan topik dengan membahas seputar film yang akan tayang pada tahun ini, seputar kegiatan Keisha selama liburan atau perempuan berkuncir itu akan bercerita tentang kekasihnya.

Retta sendiri pun menanggapi celotehan Keisha dengan semangat, tidak lupa juga ia menceritakan perihal hubungannya yang sudah menginjak hampir enam bulan. Retta tidak pernah menyangka bisa mempertahankan hubungan sejauh ini. Apalagi, hubungan yang sedang dijalaninya ini adalah hubungan jarak jauh. Tentu saja, itu bukan sesuatu yang mudah dilakukan, perlu kepercayaan yang sangat tinggi sebagai dasar hubungan itu.

"Lo nggak ada masalah kan, Sha, sama Tista?"

Keisha menggeleng sebagai jawaban, bibirnya melengkungkan senyum tipis yang membuatnya semakin cantik. "Baik-baik aja. Lagian lo tau sendiri kalo Tista itu slengean, jadi gue gak pernah bosen kalo ada di deket dia."

Melihat kawannya yang tengah berbinar-binar karena kekasihnya, Retta hanya bisa tersenyum masam saat menyadari bahwa ia tidak seberuntung Keisha yang memiliki kekasih hampir sempurna. Ia hanya memiliki kekasih yang cuek, jarang memberi kabar, tapi Retta menyayanginya. Bahkan, ketika seluruh orang menyarankan Retta untuk putus, mengakhiri segala hubungannya, Retta hanya menjawab dengan senyum kecil disertai gelengan.

Untuk apa mempertahankan sejauh ini jika pada akhirnya berakhir? Prinsip Retta selalu begitu.

Lalu, selama apel berlangsung, kedua perempuan itu membicarakan hal-hal penting sampai tidak penting yang mereka alami. Hebatnya, mereka tidak ditegur oleh OSIS atau guru yang sedang mengikuti apel.

Tanpa mereka sadari, dua pasang bola mata sedang memandangi mereka dengan jarak sekitar lima baris dari tempat mereka berdiri. Dia Atha, sejak tadi ia mengamati Retta dalam diam. Memerhatikan tawanya, wajah kesalnya, cengiran jenaka miliknya, semua itu masih sama seperti yang Atha pernah lihat dulu.

Ia jadi ingin menghampiri Retta, berbincang dengan perempuan itu setelah Retta lebih dari satu tahun tidak pernah tampak dari pengelihatannya. Namun, Atha terlanjur merespon Retta seperti laki-laki antipati kepadanya kemarin. Atha jadi menyesal. Harusnya, kemarin Atha bersikap biasa saja, bukan malah berlagak seperti menghindar.

"Elah, diliatin terus aja. Samperin, kek."

Atha mendengus mendengar perkataan Nizar. "Samperin gundulmu!" semprot Atha sebal.

Lenggang sejenak, Nizar memerhatikan lamat-lamat objek utama yang tengah ditatap Atha sejak tadi. Lalu, laki-laki itu menghela napas. "Kalo kangen itu disamperin. Kalo lo pengen dia, setidaknya lo harus berjuang. Jangan cuma diem di sini doang, ya kali ngarepin ada mukjizat."

Deheman ogah-ogahan terdengar dari samping Nizar. Atha hanya menganggukkan kepalanya sekali sebelum kembali fokus mendengarkan arahan dari panitia pelaksana MPLS. Sesekali ujung matanya kembali melirik ke arah Retta yang masih mengobrol dengan Keisha.

Rasanya, Nizar ingin sekali memberi tahu kepada Atha bahwa saat ia memfokuskan perhatiannya pada panitia MPLS yang sedang berbicara di depan, Retta melihat ke arah laki-laki itu dengan sorot penasaran!

"Lo ngapain, sih, Jar? Gerak-gerak terus kayak cacing kepanasan."

"Gue lagi bingung, Ren."

Rendi, salah satu teman dekat Atha yang lain itu mengerutkan keningnya. "Pegangan sama tiang, gih. Kali aja nanti lo jatuh, kan bisa pegangan sama tiang yang super lucu itu," jawab Rendi sekenanya.

Ngomong-ngomong, perkenalkan, dia Narendi atau lebih sering dipanggil Rendi oleh kawan-kawannya. Ia baru saja kembali dari Australia menuju Indonesia minggu lalu, karena ia memaksa orang tuanya untuk menyekolahkan ia di Indonesia, bukan di luar negeri tempat Ayahnya bekerja. Sungguh, Rendi tidak suka berada di sana, dia dituntut untuk hidup teratur dan menjadi anak sopan. Hah, Rendi bukan tipe anak penurut seperti itu.

"Jayus ah jayus, gak temen lagi." Nizar memajukan bibirnya. Hal itu sontak membuat beberapa siswa yang berbaris di samping Rendi terkekeh geli.

"Terus apa? Bingung kenapa?"

"Retta sekolah di sini," Nizar berbisik pelan di telinga Rendi.

"Lah, terus?"

Mendengar nada datar Rendi, Nizar berdecak kesal. "Lo tuh―"

"HAH RETTA?"

Sial. Dasar toa.

Nizar mendelik kepada Rendi, lalu ia membekap mulut Rendi dengan kasar. "Dikondisikan, dong! Monyet lo, anjir, sialan!"

Semua omongan kotor yang tidak disaring itu keluar dari mulut Nizar saat ia melihat banyak sekali mata yang menatap ke arah mereka berdua. Termasuk Retta dan Atha. Nizar yakin sekali bahwa ia sudah menodai citranya di SMA.

Beruntungnya, ia tidak diberi hukuman karena menimbulkan kekacauan kecil.

"Maafin, aku ya, Jar." Rendi menatap Nizar memelas.

Sedangkan Nizar malah melayangkan satu jitakan keras di kepala Rendi. "Suara udah nge-bass gitu masih aja toa. Gak cocok banget, tau!"

Rendi hanya cengengesan. "Bodo amat."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top