"Jadi kamu jualan online?" tanya Lingga. Saat ini ia dan Elina sedang berjalan kaki menuju pasar malam yang ada di dekat kompleks perumahan mereka.
Elina mengangguk. Ya, akhirnya setelah pertempuran sengit antara jin hitam dan jin putih, ia pun setuju untuk ikut Lingga. Mereka juga memutuskan untuk berjalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh. Lagipula, mobil Lingga tidak bisa masuk ke sana, sementara motor Elina juga tidak mungkin karena Elina sangat jarang dibonceng atau membonceng seorang lelaki. Jadi berjalan kaki adalah satu-satunya opsi.
"Jualan apa?" tanya Lingga lagi. Ia akhirnya menanyakan perihal tumpukan kotak dibungkus kertas kado yang secara tidak sengaja ia lihat tadi.
"Buku," jawab Elina singkat. Pandangannya terus ke arah depan.
Lingga sedikit terkejut, tapi ia tidak ekspresif seperti Elina yang akan spontan berteriak saat terkejut. Wajah Lingga tetap terlihat santai.
"Buku bacaan maksudnya?"
"Ya masa buku nikah?" Elina menjawab dengan pertanyaan juga.
"Keren-keren!" puji Lingga tulus.
"Apa kamu bilang? Keren?!" Elina tampak tidak percaya. Apa Lingga sedang mengeluarkan kalimat sarkas? Ia tidak tahu.
Sejauh ini, ekspresi orang saat mendengar Elina berjualan, kebanyakan cenderung meremehkan. Atau jika tidak, Elina seolah bisa membaca kalau seseorang itu berkata dalam hati, jualan? Kenapa nggak kerja aja sih, Elina?
Hanya saja Lingga ini beda, ia malah mengatakan Elina keren. Makanya Elina jadi berpikir mungkinkah hanya sarkasme belaka?
"Maksudnya keren apa, ya?"
"Saya baru tahu buku bacaan berpeluang juga buat dijual online. Setahu saya kalau beli buku ya ke toko buku seperti Gramedia, Gunung Agung atau toko buku lainnya."
"Berarti kamu mainnya kurang jauh," jawab Elina. "Ada jutaan transaksi via online setiap harinya, salah satunya transaksi buku, entah lewat marketplace atau bukan. Yang pasti miliaran uang wara-wiri setiap harinya. Ini udah bukan zaman dulu lagi. Zaman sekarang beli bakso aja bisa online kok," lanjut Elina.
"Kalau beli bakso bisa online, berarti mi ayam juga dong?" tanya Lingga yang membuat Elina sangat peka terhadap maksudnya.
"Nyindir saya? Kan kamu yang berdalih belum pernah ke sini. Saya bahkan tadi bilang mager dan nggak mau ikut. Ya udah deh mendingan sekarang saya balik lagi terus pesan makanan online aja!"
Elina yang sudah berbalik -tentu saja hanyalah gertakan-
Tapi tangan Lingga secara refleks menyentuh tangan Elina untuk menahannya.
"Saya bercanda buat itu. Saya mau kamu ikut, Elina," ucap Lingga.
Elina langsung melepaskan tangan Lingga.
"Maaf," kata Lingga.
***
Dua mangkuk mi ayam sudah tersaji di depan Lingga dan Elina. Mereka duduk di angkringan yang ada di pasar malam dengan menu utamanya mi ayam dan bakso.
Elina masih sibuk membalas pesan via WhatsApp dari beberapa customer-nya.
"Silakan," ucap Lingga. Tangannya sudah meraih sendok dan garpu yang ada di meja. Tak lupa menambahkan saus dan sedikit sambal pada makanannya.
"Oh iya, iya." Elina menjawab tanpa mengalihkan fokus dari layar ponselnya.
"Ya udah kalau mau main hape aja. Saya makan duluan, ya."
"I-iya ini mau makan juga kok." Elina pun meletakkan ponselnya tepat di sampingnya. Lingga melirik layar 5 inci itu sangat jelas notifikasinya banyak sekali.
"Pacar kamu nggak marah kalau kamu sibuk balasin pesan-pesan orang terus?" tanya Lingga memecah suasana kaku.
"Boro-boro marah, ada juga nggak!" Elina mulai mengambil sendok dan garpu. Ia sedikit menambah kecap pada mi ayamnya.
"Maksudnya?"
Tidak mungkin kan Elina to the point mengatakan, 'saya jomblo!'
Itu sangat tidak lucu. Sebagai jomblo karena pilihannya, artinya bukan karena tidak laku. Elina merasa bisa menjatuhkan harga dirinya kalau mengatakan jomblo pada seseorang yang bahkan belum lama dikenalnya.
Ya, mengatakan jomblo pada orang lain apa bedanya dengan lemparan kode? Tidak! Elina tidak mau seperti itu.
"Pacar saya lagi sibuk membahagiakan perempuan lain."
Lingga mengangguk-angguk, perlahan menelan makanannya.
"Menarik sekali!" balasnya kemudian.
"Apanya yang menarik? Pacar saya lebih milih nikah sama Listya! Kamu tahu nggak, saya itu udah telanjur cinta sama yang namanya Mahesa Ramaditya Hasan, tapi dia malah lebih milih perempuan itu!"
"Sabar, sabar. Tuhan udah persiapkan yang terbaik buat kamu kok. Jangan disesali," jawab Lingga. Ia sama sekali tidak tahu kalau yang Elina bicarakan adalah tokoh novel.
"Dari dulu juga sabar banget LDR-an sama Mahesa. Kalau ada orang bilang berpisah kota, berpisah pulau, negara bahkan agama itu berat. Mereka belum tahu LDR yang saya rasakan."
"Emang LDR kamu gimana?"
"LDR saya ini lebih jauh dari jarak yang saya sebutkan tadi."
"Beda alam maksudnya?" tebak Lingga.
Jelas saja LDR yang Elina merasa jalani itu lebih jauh lagi. Betapa tidak, Mahesa hanyalah tokoh fiktif yang ada di novel. Mereka berdua jelas berpisah dunia, yakni dunia nyata dan dunia fiksi.
"Kok jadi bahas Mahesa, sih? Udah ya, saya lagi malas bahas itu," ucap Elina akhirnya.
Sementara Lingga mengangguk-angguk paham. Jelas saja ia mengira Elina memang memiliki orang spesial. Namanya Mahesa. Meskipun Elina sendiri sempat menyebut-nyebut nama perempuan lain yang dipilih Mahesa.
Setelahnya hanya ada keheningan antara mereka. Keduanya fokus pada mangkuknya masing-masing.
Sampai beberapa saat kemudian, Elina bertanya, "Oh ya, kamu kerja di mana?" tanya Elina setelah cukup lama mereka saling hening dan sibuk dengan mi ayam di mangkuk masing-masing. Saat ini mangkuk mereka sudah sama-sama kosong.
"Saya satu bidang seperti kamu," jawab Lingga.
"Satu bidang sama saya? Jualan online juga?"
"Jualannya iya, tapi nggak pakai online."
"Jualan apa ya?" tanya Elina penasaran.
"Jualan es krim," jawab Lingga. "Rencananya besok opening."
"Waw! Di daerah mana?"
"Sekitar lima belas menit dari rumah. Di dekat bank BCA."
"Wah pintar kamu cari tempat! Daerah situ kan emang rame banget. Saya juga sempat sih mau tinggal di daerah situ, tapi rumahnya mahal-mahal. Akhirnya saya putusin tinggal di rumah yang sekarang aja deh."
"Dan akhirnya kita tetanggaan," balas Lingga. "Kamu suka es krim?"
"Banget!" jawab Elina mantap, meskipun ia akan diceramahi Mamanya jika es krimnya menetes dan menghasilkan noda di bantal sofa.
"Kalau kamu nggak sibuk, besok ikut aja. Launching EL Ice Cream, saya memberikan banyak diskon di sana. Karena kamu tetangga saya satu-satunya, kamu bisa sepuasnya makan apa pun yang kamu mau. Gratis."
"Serius?" Elina sangat antusias.
"Iya, itu juga kalau kamu mau."
"Jam berapa emangnya?" Jangan sampai terlalu pagi, pikir Elina.
"Jam sepuluh."
Elina langsung menunjukkan jempolnya.
"Mbak Elina ya ampun!" teriak seorang wanita dengan perut yang membesar. Ya, wanita itu memang sedang hamil. Elina sempat berpikir selama beberapa saat untuk mengingat siapa sebenarnya wanita tersebut.
"Waaah, ternyata pacarnya Mbak Elina ganteng juga, ya? Fix ini mah laki-kaki terganteng kedua di dunia karena nomor satunya jelas suami saya," ucap wanita itu lagi.
Elina masih mengernyit, sementara Lingga diam sambil terus memperhatikan wanita hamil yang sangat heboh itu.
"Padahal ya, saya sama suami berpikir kalau Mbak Elina ini jomblo. Tapi ... ternyata pacarnya ganteng banget! Sebentar ya, saya panggilkan suami saya tercinta dulu ... Papi! Ini Mami ketemu seseorang!" teriak wanita itu lagi.
Setelah sales bublewrap yang ternyata suaminya itu datang, Elina baru ingat tentang siapa mereka. Ya Tuhan.
"Eh, Mami. Kok malah teriak-teriak?" tanya Ujang yang baru datang. Setelah itu ia menoleh ke arah Elina dan Lingga yang masih duduk terpaku dan bingung dengan kehebohan ini.
"Wah, Mbak Elina sama pacarnya, ya? Kenalin Mas, saya Alexander D'Caprio. Tapi karena lidah orang Indonesia kadang susah menyebut nama saya, jadi panggil aja Ujang." Ujang tampak menyodorkan tangan ke arah Lingga.
"Lingga," jawab Lingga refleks sambil bersalaman.
"Oh jadi pacar Mbak Elina namanya Lingga?" timpal wanita hamil itu.
Elina hanya bisa menghela napas karena tidak tahu harus berbuat apa. Menyanggah tidak akan membuat semuanya jadi lebih baik. Akhirnya ia memilih bungkam.
"Tapi maaf nih, istri saya lagi hamil jadi nggak bisa mampir dan ngobrol dulu takut keburu malam," kata Ujang. "Selamat menikmati malam Minggu selama pacaran ya, nanti kalau udah nikah mah malam Minggu cukup di rumah aja tapi nikmat," lanjut Ujang sembari berbisik pada Lingga.
Setelah kedua orang aneh itu pergi, Elina menopang kepalanya dengan dagu.
"Sori ya, dua orang aneh itu asal aja kalau ngomong. Mereka emang aneh!"
"Mereka, siapa emangnya?"
"Sales bublewrap," jawab Elina masih dengan nada kesal.
Belum sempat Lingga menjawab, ponsel Elina sudah berdering menandakan ada panggilan masuk.
Sontak Elina terkesiap dan langsung mengangkatnya.
Selama beberapa detik ia bungkam, mendengarkan seseorang di ujung sana berbicara tanpa henti. Namun saat kalimat terakhir itu terucap. Elina lemas. Ya, seperti sesuatu runtuh menimpa tubuhnya. Elina bahkan belum sempat menjawab, saat panggilan terputus. Ponsel yang ia genggam lolos begitu saja dan mendarat dengan sempurna di meja.
Tentu saja Lingga yang memperhatikan gadis di sampingnya itu langsung merasa heran.
Ada apa dengan Elina?
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top