11


"Makasih In."

Inayah mengangguk, lalu melangkah menuju ke arah belakang tanpa berkomentar apapun, ia melangkah ke arah kamarnya di samping taman. Andra menatap tubuh wanita yang tinggi menjulang itu.

"Orang aneh, kayak punya dua kepribadian, kalo di sini kadang cuek, kadang nyambung, kadang gak nyambung, tapi kemarin di vila cerewetnya minta ampun, apa dia akting apa gimana ya?"

Andra menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melangkah masuk, dan langkahnya sempat ragu saat melihat papanya telah menunggu di ruang tamu.

"Assalamualaikum Pa."

"Wa Alaikum salam, sudah kamu putuskan sama wanita itu harus bagaimana ke depannya? Jangan permalukan papa dan nama keluarga besar kita, mereka sudah susah payah membangun semuanya dan hanya dengan sekedip mata ingin kau hancurkan?"

Andra melangkah mendekati papanya, ia duduk lalu menatap mata laki-laki yang terlihat lelah itu.

"Pa, aku ingin membahagiakan Papa dan Mama."

"Cukup kau tak bertingkah aneh-aneh, kami sudah sangat bahagia."

Andra merasa tertohok dengan ucapan papanya.

"Sudah aku akhiri semuanya Pa, aku minta maaf kalau aku ..."

"Aku kaget Ndra, kau begitu jauh berubah, aku seperti tak mengenalmu lagi, kita memang tak pernah kekurangan, pergaulan kita pun dengan mereka yang berlebihan tapi satu hal yang tetap selalu diingatkan oleh para pendahulu kita, kakek dan nenekmu jangan sampai salah langkah dalam bergaul karena akan menentukan langkahmu di kemudian hari, cam kan itu, semoga kau selalu baik-baik saja dan apa yang kamu lakukan tak akan membuatmu susah kelak."

Andra diam saja, iya sadar apa yang ia lakukan sudah terlalu jauh, tapi rasanya menghentikan kebiasaan yang sudah tiga tahun ia lakukan terasa agak sulit, kadang ada keinginan ke club lagi dan menghibur semua kepenatannya dengan wanita-wanita cantik yang ada di sana tapi entah mengapa akhir-akhir ini wajah mama, papa serta nasehat Inayah seolah selalu berdengung di kepalanya.

Andra bangkit melangkah pelan ke kamarnya. Semua yang papanya katakan seolah semakin menenggelamkan dirinya. Ada rasa bersalah tiap kali melihat wajah lelah papanya, sementara selama tiga tahun ia hanya bersenang-senang, bekerja pun seolah hanya selingan saja. Sedang papanya selama ia tinggal telah berjuang mati-matian membesarkan perusahaan dan saat ia datang tiba-tiba saja seolah akan ia hancurkan hanya gara-gara obsesi membesarkan perusahaan dengan cara instan.

"Pak."

Langkah Andra terhenti, ia menoleh lalu melihat Inayah yang menyerahkan obat-obatannya.

"Makasih."

Inayah mengangguk dan menatap Andra sekilas lalu menunduk.

"Jangan libatkan saya lagi Pak, saya ngeri lihat wanita kayak gitu, seolah saya juga ikut dosa, membiarkan Bapak berdua dengan wanita yang jelas-jelas bukan apa-apa Bapak, kita sama-sama dewasa, melihat dari tatapan wanita itu saja Bapak pasti mengerti apa yang dia inginkan, cara dia berpakaian seolah menawarkan diri pada Bapak, lalu apa diharapkan dari wanita seperti itu? Saya tidak mau memfonis seseorang, tapi dari cara dia menatap, berbicara bahkan memeluk Bapak seolah dia mau diapakan saja oleh Bapak, lalu wanita seperti itu yang Bapak ajak bekerja sama? Itu sama saja menambah panjang dosa Bapak, ini yang pertama sekaligus terakhir kali, kalau bukan karena untuk menghormati Bapak dan Ibu Pak  Andra saya tidak akan mau, asal Bapak tahu saat saya akan berangkat Ibu berbisik pada saya agar tiap saat berada di sisi Bapak, makanya saya terus menjaga Bapak bukan apa, itu semua karena Ibu."

Inayah berbalik dan melangkah menuju bagian belakang rumah besar itu. Sekali lagi Andra bingung dengan sikap Inayah, mengapa anak itu kembali berwajah dingin?

.
.
.

"Andi!"

"Iya Pak? Bapak nggak pulang lagi?"

"Iyaaa biasalah aku di sini sampe malam, kamu saja yang belum terbiasa lihat aku, bisa minta tolong?"

Andi mengangguk dengan cepat.

"Belikan aku makanan sekitar sini, terserah kamu, nasi goreng ta apa gitu."

"Baik Pak!"

"Kamu juga loh yaaa!"

"Siap Pak!"

Setengah jam kemudian Andi kembali dengan membawa bungkusan di tangannya.

"Makan di sini Andi, sama aku."

"Eh nggak papa ya Pak?"

"Ck, kamu ini, di sini lah dekat aku, terus terang kamu ini orang baru tapi nggak tau aku kok kayak cocok sama kamu, mungkin karena kamu yang cepat menyesuaikan diri dan orang-orang di sini ternyata suka juga sama kamu karena sopan, sini lah dekat aku makannya."

Andi tersenyum dan duduk di dekat Rafka, duduk berdua menikmati makan malam yang meski sederhana terasa nikmat.

"Rumah kamu di mana Andi?"

"Saya kos di sekitar sini Pak," sahut Andi sambil menguyah nasi goreng.

"Oh kamu bukan asli sini?"

"Bukan Pak, saya merantau ke sini, Bapak kok betah di sini sih, kan mending pulang, tiduran di rumah."

"Males aku di rumah, mama papa sibuk, kadang-kadang saja kami bisa bertemu tapi lebih sering kami ngapa-ngapain sendiri, papa dan mama kan pekerja keras Andi meski usianya sudah waktunya istirahat tapi mereka tetap saja bekerja tak kenal lelah karena adikku yang sudah waktunya menikah tetap jadi benalu di rumah, bisanya cuman ngamuk-ngamuk gak jelas dan nggak malu minta uang ke mama, hidupnya juga nggak jelas, dan tiap kali aku lihat dia, aku jadi sakit hati."

Andi meraih botol air mineral yang ia beli tadi lalu meneguknya. Setelah mengusap mulutnya ia terlihat menatap Rafka dengan mata penuh tanya.

"Emang kenapa Pak, sama adik sendiri kok sakit hati."

Rafka menggeleng, ia terlihat murung.

"Suatu saat nanti jika siap aku akan bercerita semua padamu, kesakitan ku karena dia, dia yang memulai dan dia juga yang melenyapkan kebahagiaanku, di awal-awal aku kehilangan rasanya aku tak ingin hidup, tapi demi mama aku bisa pulih dan bangkit dari kesedihan, mama banyak tahu tapi ia diam saja, ia saksi semua kesakitanku tapi ia hanya bisa diam karena tak mungkin ia menyakiti salah satu dari kami, kami sama-sama anak-anaknya."

"Waduh saya kok nggak ngerti Bapak ini cerita apa? Kayaknya peristiwa besar dan menakutkan ya Pak? Serba rahasia dan Bapak kayak takut mau membuka semuanya."

Rafka mengangguk dengan wajah sedih, ia seperti tak berselera lagi untuk melanjutkan makannya.

"Belum saatnya, aku masih belum siap Andi, tiap mengingatnya seluruh sendi-sendi di tubuhku rasanya luluh lantak, butuh waktu lama bagiku untuk terlihat normal lagi, aku berterima kasih pada pimpinan perusahaan ini yang sangat mengerti kondisiku yang hancur saat itu."

"Sampe segitunya kondisi Bapak ya Pak, Alhamdulillah Bapak bisa sehat lagi."

"Yah aku berangsur bisa menerima kenyataan, jika semua yang kita alami adalah takdir Tuhan, hanya rasanya harapan indah yang ingin aku wujudkan jadi hancur seketika."

"Bapak ini ngomongin orang yang Bapak cinta kan ya? Yang kata Bapak sudah meninggal?"

Rafka mengangguk.

"Meninggal karena apa Pak?"

"Bunuh diri!"

"Innalilahi! Beneran Pak?" Mata Andi terbelalak.

"Aku menemukan bukti mengapa ia sampai melakukan hal itu."

💖💖

7 Juli 2021 (20.43)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top