[3] Kedua, Apa Masih Kebetulan?
Istana Rajendra 18:43 WIB
Perempuan itu?
Ah, kenapa jadi kepikiran begini?
Rasanya, nggak penting untuk tahu siapa dia. Tapi, bagaimanapun dia adalah tersangka penimpuk pewe. Karenanya, pewe jadi cacat. Yah, walaupun sangat mudah untukku mengobati cacatnya si pewe, tapi tetap saja, rasa kesal itu masih ada.
Kalau diingat-ingat, perempuan itu cantik juga?!
Anak Ebis tahun keempat?
Fakultas Ebis itu luas, Yik!!! Bego!!
Ah, baru kali ini ada seseorang yang berhasil mengalihkan pikiranku akan Freya. Eh, tidak! Freya tetap dan masih akan tetap berada di sini. Hati ini.
Ya, sekalipun aku nggak yakin perasaan ini berbalas, tapi ya sudahlah.
“Baaang!!!”
Timpukan bantal dan suara melengking dari sosok paruh baya yang entah sejak kapan berdiri di dalam kamarku ini, seketika membuyarkan lamunanku terhadap perempuan sarap yang tadi hilir mudik memenuhi otakku.
“Sudah ditunggu Papa untuk makan malam di bawah, ayo!” ajaknya, eh bukan ding, perintahnya, titahnya.
Ah, itulah, mama.
Sebaiknya aku segera menuruti titahnya sebelum sang baginda ratu mengeluarkan semburan api yang siap memporak porandakan semuanya, termasuk hati ini.
Dunia dan seisinya akan selesai kalau emak-emak sudah tersulut emosinya.
Healah, apaan dah?
Sudah lengkap personil di ruang makan, rasanya mereka hanya menunggu satu orang lagi, ya siapa lagi kalau bukan aku.
“Si pewe kenapa, Bang?” tanya perempuan yang duduk di sebelah wanita paruh baya tadi.
Iya, Fahira Rajendra Putri, adik perempuanku satu-satunya, dan tepat di sebelahnya adalah Farida Safitri, wanita yang membawaku ke dunia ini, tiada dua tiada tiga, cukup satu saja. Satu aja udah cukup buat kuping pengang kalau bawelnya kambuh.
“Ditimpuk orang,” jawabku datar.
Kulihat mereka saling bertatap. Sudah tentu mereka belum puas dengan jawabanku baru saja itu. Lihat saja, bakal ada sesi interview lanjutan setelah ini.
“Kok bisa?” tanya Fahira lagi.
Nah, kan?
“Gila kali,” utarku singkat.
“Gak ada asap kalau gak ada api.” Papa menyahut tanpa basa-basi.
Strike, telak seolah memang aku sendiri yang menyebabkan si pewe hingga bisa sampai cacat begitu.
Yaa.... Memang sih.
Tapi tetap saja, perempuan itu adalah pelakunya.
"Memangnya Abang ngapain? Sampai orang itu nimpuk pewe?"
Kali ini Mama yang mengintimidasiku, melancarkan segala tanya asal muasal kenapa pewe bisa jadi begitu.
“Iya, memang aku duluan yang salah. Aku bawa mobil nggak lihat kalau depan ada kubangan air. Muncrat deh. Trus, tuh cewek nggak terima. Ngelempar batu ke kaca belakang pewe. Lebay memang. Mahasiswa Papa tuh,” jelasku lengkap.
Sementara mereka saling melempar pandang kemudian geleng-geleng dengan sendirinya.
Ada yang anehkah dengan ceritaku?
“Memangnya itu kejadiannya di kampus, Bang?” Papa giliran bertanya.
“Ya, sebelah lapangan rektorat. Jalanan mau ke pintu keluar kampus. Perlu diperbaiki tuh, Pa.”
“Memangnya jalannya rusak sampai ada kubangan gitu?” tanya Mama penasaran.
“Nggak, ah. Di kampus kita nggak ada ya jalan yang rusak. Itu karena memang kontur tanahnya yang nggak rata tinggi. Jadi ada satu bagian dimana lebih rendah dari yang lain. Jadilah itu menimbulkan kubangan.”
Kini, giliran aku dan Fahira yang saling memandang. Oke, kalau Papa sudah mulai berbicara panjang seperti itu, bersiaplah untuk kuliah malam yang akan segera dimulai.
Segala pakai bahasan kontur tanah. Tolong, Pah!
“Eh... Eh. Ngomong-ngomong cewek yang nimpuk pewe cantik nggak, Bang?” Fahira menyahut mengalihkan topik pembicaraan.
Penyelamat dari kuliah malam.
Cerdas memang adik gue satu itu.
“Biasa saja. Khas mahasiswa, ya begitulah. Kayak lo!” balasku kepada bungsu Rajendra itu.
“Jangan-jangan, itu jodoh Abang. Macam FTV gitu, Bang. Pertemuan pertama tak terduga yang membawa takdir,” celetuk Fahira seiyanya.
Ya, kali!!
Bagiku, pertemuan singkat seperti itu, hanyalah sebuah kebetulan tak bermakna. Tidak perlu diperpanjang atau sampai ada pikiran jauh ke depan seperti Fahira tadi. Dunia nyata itu luas. Tidak sesempit layar televisi dimana takdir bisa tercipta hanya dalam beberapa episode saja.
“Kebanyakan nonton drama lo! Hidup lo jadi ikutan drama kan?!”
Kemudian tawa renyah dari Fara juga senyuman singkat Mama dan Papa ikut meramaikan meja ini.
“Adikmu nggak salah kali, Bang. Ya, kita kan nggak pernah tahu soal jodoh. Jangan bilang nggak mungkin terlebih dahulu.” Mama menyahut.
“Nah, Yik. Dengerin tuh, bukan cuma Papa yang pengin kamu segera bawa calon mantu ke sini. Mama juga pengin. Iya kan, Ma?” Sekarang, Papa ikutan mengompori obrolan yang kian menjurus ke sebuah topik lainnya.
Dan aku salah jika berpikir bahwa pengalihan topik tadi lebih baik dari sebelumnya. Karena pembahasan soal jodoh tak pernah ada baiknya untuk ketentraman hati ini.
Fix, aku mulai gila.
“Pa, Ma, sepertinya aku sudah selesai makan malam. Aku duluan ya, ada bawa pulang kerjaan soalnya.” Aku pamit, beranjak dari meja makan, meninggalkan mereka yang masih terpaku.
Mungkin, sekarang sedang membicarakanku. Antara merasa bersalah atau malah mencari cara lain agar aku segera tertarik soal pernikahan dan segala macamnya.
Dan, tolong maafkan aku jika terkesan kurang sopan pergi seenaknya di tengah makan malam yang belum usai.
Serius, kalau sudah menjurus ke hal-hal demikian, selera makanku menguar begitu saja entah ke mana.
Ah sudahlah, mereka memang seperti itu.
Lebih baik, kini aku kembali berkutat dengan tumpukan status pasien yang perlu ku-review.
Tapi, dering nada tanda panggilan masuk membatalkan niatku untuk mulai menekuri kertas demi kertas di meja kerja. Fokusku beralih ke layar ponsel—oh, ternyata Freya.
Tolong, jangan salahkan kalau aku mengabaikan status pasien tersebut untuk saat ini. Lagi, ini bukan jam kerja kan? Mungkin lepas Subuh nanti bisa kukerjakan. Sekarang, perempuan ini adalah prioritas.
Tak ingin lebih lama lagi, aku segera menggeser ikon hijau di layar lima inch itu.
“Hallo, iya Frey?”
“Lo besok nganggur?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.
“Tergantung,” jawabku datar.
Kami ini lucu. Sudah bersahabat puluhan tahun, tapi untuk urusan ngobrol terkadang satu sama lain tidak pernah sinc. Sekalipun begitu, tetap saja dilanjut, karena sudah sangking pahamnya. Jadi, misalkan aku bahas apa, Freya bisa menimpalinya dengan hal lain. Begitu sebaliknya. Dan, kami merasa nyaman saja. Entahlah.
“Jemput gue jam sepuluh dan temenin cari buku,” titahnya kepadaku.
“Oke, cantik,” balasku sedikit menggoda.
Berharap, Freya di sana sedang merona merah karena godaanku barusan, tapi—klik, sambungan telepon terputus begitu saja. Yeah, Freya memang tak pernah bisa sedikit berbasa-basi saja.
Freya, sikap cuek, dingin, tapi tetap perhatian, itulah yang membuatku dirundung rasa penasaran teramat dalam. Lagi pula, sepertinya hanya Freya yang bisa meruntuhkan bongkahan es dalam hatiku ini.
Kami sama-sama keras, dingin mohon ampun, tapi ketika kami bersama, rasanya dingin itu bisa melebur. Meleleh kemudian membaur menjadi suatu emulsi. Kenapa emulsi? Karena aku masih ragu, kita bisa bersatu dalam suatu ikatan keabadian atau tidak. Karena perihal cinta, lagi-lagi tak pernah sesederhana teorinya.
Hah, sudahlah.
-------000-------
Store Book, 11:46 WIB
Freya yang sedari tadi sudah berdiri di deretan rak buku yang berlabel 'medical' ini sepertinya memang belum mendapatkan apa yang ia cari. Sementara aku, cukup memandanginya seperti ini saja bisa menimbulkan rasa berdesir. Strange feels yang entah sejak kapan hadir mengisi hati ini. Perasaan yang nggak bisa kuberontak begitu saja, karena mengelak lebih menyakitkan daripada mengakui sendiri kemudian menyembunyikannya dari Freya. Sampai sekarang.
Bagaimana mungkin ini menjelma nyata atau berimbang lah setidaknya, jika hubungan yang terjalin antara aku dan Freya sudah begitu dekat sehingga sulit untuk diubah statusnya, dari persahabatan yang hampir seperti kakak-adik ini ke hubungan berlabel 'cinta'.
Shit! Perasaan terkutuk ini mengapa hinggap begitu saja?
“Can i help you?” tanyaku mencairkan suasana dingin seperti kutub.
Kami itu sama-sama kutub. Dingin, saling berjauhan tapi seirama. Kutub utara dan selatan yang entah kapan bisa bersatu. Rasanya mustahil. Apalagi kutub sepolar.
Begini sekali.
“Mmm, nggak tau nih belum nemu juga. Ada satu referensi dari Profesor gue katanya ini referensi baru dan bagus. Ya, itung-itung buat nambah bekal lah kalau ada seminar buat nambahin poin SKP,” tuturnya menjelaskan kebingungannya yang sedari tadi muter-muter di depanku. (Read: Satuan Kredit Profesi)
“Oh, apa judulnya?” sahutku sambil ikutan berpura sibuk di depan jejeran buku-buku tebal ini.
Nah, ini salah satu langkah pendekatan kepada sahabat. Menyediakan diri ketika ia membutuhkan bantuan. Sebagai partner berbagi sekalipun terkadang ada hal-hal yang nggak kita ketahui. Cukup melebarkan telinga sebagai pendengar yang baik, itu lebih dari apapun. Menurutku, sih.
Freya masih berkutat dengan segala ingatan terkait buku yang sedang ia cari. Aku tak bisa memberikan suggest sekalipun kami bekerja dalam ranah yang sama. Spesialisasi kami berbeda, ia dengan kegemerannya membius orang sementara aku sibuk menangani jeroan manusia. Jadi, soal text book atau referensi dan segala macamnya, jelas kami berbeda.
Ya, semoga perbedaan kami yang satu ini bisa sedikit menyatukan.
Hahah, semakin ngaco saja.
Aku membiarkan Freya memilah setiap judul buku di rak tersebut. Sedikit beralih ke rak berlabel lainnya. Mengusir kebosanan yang mulai mendera, kukeluarkan ponsel dari saku kananku. Tapi, mataku menangkap satu sosok yang—shit, itu perempuan penimpuk pewe.
Aku penasaran. Kunekatkan diriku untuk mendekat tapi masih kuurungkan niatku untuk menegur langsung perempuan itu.
Terlihat seperti perempuan baik-baik dan berkelas. Tempat nongkrong di book store, bukan kafe kekinian seperti perempuan lain seusinya. Geraian rambut hitamnya tertata apik dengan salah satu sisi disampirkan ke belakang telinga. Terlihat intelek saat dia memindai sekilas buku-buku yang akan dibelinya. Cantik juga.
Shit, gue mulai ngelantur.
Fokus, Yik.
Sudahlah, aku tak ingin memperpanjang masalah. Lagi, ini bukan hal yang begitu penting. Si pewe sudah kumasukkan bengkel. Seminggu lagi mungkin sudah kembali ke keadaan semula. Jadi, perempuan itu tidaklah penting.
Aku berniat berbalik mencari Freya, tapi—“Heh, lo!!”—satu suara mengintrupsi langkahku.
Perempuan itu menyadari kehadiranku yang sedari tadi memperhatikannya.
Oke, kita mulai saja permainan ini.
“Lo???” teriaknya kaget seolah baru tahu bahwa yang dipanggilnya tadi adalah orang yang—mungkin dihindarinya dari kemarin-kemarin.
Hahaha,
“Lo nguntit gue? Astaga, please! Lo belum terima soal kejadian kemarin? Dan sekarang lo nguntit gue sampai ke toko buku? Parah lo!” repetnya panjang langsung di depan mukaku.
Tampak beberapa orang yang mendengar keramaian dari arah kami terlihat memusatkan perhatiannya.
Fix!!! Perempuan ini cari masalah.
Sementara aku cengo harus menanggapinya dengan kalimat apa.
“Apa? Lo nggak bisa jawab? Heh, asal lo tau ya, gue nggak takut sama lo. Harusnya gue yang minta tanggung jawab. Bawa mobil seenak jidat lo di area kampus. Banyak pejalan kaki dan lo asal injek rem gas semau lo. Sarap lo!!!”
Astaga, dia kembali menyemburku tanpa memberiku sedikit jeda untuk menimpalinya.
“Saya—”
“Hah? Apa? Saya? Sok formal lo, biar dikira lo penting pake saya-sayaan? Gue yakin lo cuma mahasiswa bangkotan yang kerjaannya menghambur-hamburkan duit ortu sampai lupa kuliah dan sekarang lo hanya nunggu surat DO keluar. Iya kan?”
“Bentar, kamu tau nggak kalau sekarang kita lagi jadi pusat perhatian?” selaku sebelum ia lebih panjang lagi mengeluarkan ocehannya.
Dia terdiam sejenak, sebelum memutar pandangan ke sisi dan kanannya. Kemudian dia meringis malu dan meringsek ke arah belakangku. Menunduk sambil merapalkan kata maaf kepada pengunjung lain.
Ya ampun, perempuan ini ajaib.
Tak seintelek yang kukira ternyata.
“Ngapain kamu ngumpet gitu? Malu?”
“Kok lo nggak bilang sih kalau dilihatin orang banyak?”
“Gimana saya mau kasih tahu kalau kamu terus nyerococos kayak tadi?”
Dia keluar dari balik punggungku dan mencebik begitu saja.
Ini perempuan apaan deh!
“Intinya gue nggak mau kalau lo minta tanggung jawab. Enak aja! Gue nggak salah!”
“Kamu—”
“Yik, lo di sini? Dicariin dari tadi juga.” Freya datang menginterupsi.
Selamatlah lo bocah tengik!!!
“Sorry, Frey. Gimana? Udah selesai?” tanyaku mengabaikan perempuan itu dan beralih ke Freya.
“Mmm, ini siapa, Yik?” tanya Freya menyadari bahwa aku tak sendiri saat ini.
“Gue bukan siapa-siapa kok mbak. Mbak tenang aja. Mbak pacarnya mas ini ya? Siapa? Yik? Ah siapapun itu. Kalau gitu gue permisi dulu ya. Anggap saja ini pertemuan terakhir kita. Dan, jangan pernah ada lagi pertemuan-pertemuan lain yang memang lo sengaja. Please, case close!” Kembali dia berucap panjang sebelum akhirnya dia merapikan kembali tas selempangnya dan berlalu pergi.
Sementara Freya tentu saja butuh penjelasan atas kejadian yang dilihatnya baru saja itu. Ya, sekalipun tak memintanya secara langaung, tapi aku sudah hapal hanya dengan kedua alis yang dinaikkan seperti itu.
“Itu... Ah nggak penting. Eh, gimana udah dapet?”
“Kok mengalihkan sih, Yik?”
“Anu, ceritanya panjang, Frey. Sambil makan saja yuk,” ajakku sambil merangkulnya keluar book store.
Freya menurut saja dengan perlakuan yang kuberikan. Sementara aku menikmatinya, setiap detik yang terlepas di antara kami. Sebelum saat itu tiba, di mana untuk jalan bersama seperti ini saja akan terasa menyulitkan.
Aku tak ingin hal itu terjadi. Sungguh.
“Gimana-gimana? Udah ketemu buku yang lo maksud?” tanyaku begitu kami sampai di foodcourt dan menempati tempat yang masih tersedia.
“Belum, gue sebel kalau lupa gini. Dan, parahnya nggak gue catet. Hehehe.” Freya mencebik kesal dengan sendirinya lantas kemudian meringis merutuki diri.
Ekspresi yang ia tunjukkan semakin membuatku gemas dibuatnya. Ah, Frey, tolong.
“Makanya lain kali kalau mau ngajakin cari buku, harus jelas mau beli apa, biar nggak buang-buang waktu jadinya.”
“Oh, jadi nganterin gue termasuk buang-buang waktu? Oke, fine.” Aku terkekeh melihatnya memasang aksi merajuk seperti itu.
Serius, ingin rasanya aku mencubit pipi tersapu blass on itu. Terlihat gembil seperti seorang bayi. Belum ditambah mata hazelnya. Uugh, menggoda sekali.
“Sudah-sudah, lo mau makan apa?”
“Fire Combo level 3 tanpa nasi. Nggak usah minum, gue bawa air sendiri.”
“Oke, gue pesankan dulu.”
Setelah itu, aku menuju salah satu stand yang menjajakan makanan sesuai pesanan Freya. Karena tak ingin ribet dan agar cepat, jadi aku menyamakan saja pesananku dengan Freya. Hanya, bedanya aku butuh nasi untuk mengisi Minggu siangku ini.
Setelah membayar dengan selembar pecahan rupiah berwarna merah, aku kembali ke tempat di mana Freya menungguku. Terlihat Freya sibuk memainkan ponselnya.
“Thank you. Ditraktir kan ini btw?” ujarnya dengan binar yang bersemangat.
Please, jangan diteruskan, Frey. Imanku nggak sekuat itu.
Aku hanya tersenyum singkat, mencoba terlihat biasa saja meski debaran ini tak pernah santai jika bersamanya.
“Eh, jadi siapa cewek itu tadi? Lo bikin masalah apaan sampai dia terlihat nggak terima gitu?” tanya Freya disela ia mulai menikmati sajian di depannya.
“Dia bikin pewe cacat.”
“Hah?”
“Si pewe cacat. Kaca belakangnya pecah. Kena lemparan batu. Dan cewek itu tadi pelakunya.”
“Gila, bar-bar juga ya tuh cewek. Lo kenal?” Kalau sudah seperti ini, itu artinya tingkat kekepoan Freya semakin menjadi.
Cengiran khas ditambah dengan gigi gingsulnya yang terlihat ketika tersenyum, membuatnya semakin maanis dan menggemaskan.
“Nggak lah. Cuman, dia anak Ebis tingkat empat.”
“Weh, anak RU?” Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Bisa gitu ya,” sahut Freya.
Kemudian, kami kembali terdiam sambil menghabiskan makanan yang tinggal separuh ini.
Freya sibuk entah pikirannya berlarian ke mana. Pun denganku, yang sibuk memperhatikan setiap inchi sudut paras di depanku ini.
Ah, aku kembali menggila tiap kali debaran ini mulai bertingkah.
Frey, asal lo tahu, gue bisa semaput cuma karena deg-degan nggak berkeseduhan gini. Ya kali gue punya penyakit jantung, amit-amit deh!
_________________TBC_________________
Sekali lagi, segala informasi terkait penerbitan akan saya update di Instagram @risaliaicha
Follow ya gengs.
Dan follow juga ig penerbit Grass_Media
Vote and commens yaaa
Amandemen III 27 Jan 18
Otw pulang
Full of sayangs
😍😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top