[1] Rajendra Group
Rajendra Medical Centre, 09.55 WIB
Berteman baik dengan tempat ini mungkin sudah menjadi sebuah keharusan. Suka tidak suka, mau tidak mau, ini adalah pilihan yang kuambil dua belas tahun yang lalu.
Ya, memilih bekerja di tempat orang lain—sekalipun itu omku sendiri—daripada menggantikan kursi Papa di Top Manajemen Rajendra University yang berada di bawah naungan Rajendra Group, sama dengan tempatku bekerja saat ini.
“Dokter Fachry, saatnya visit.”
Nah, itulah aku. Seperti inilah rutinitas pagi yang selalu menjadi lakon utama memulai hari.
“Ada berapa pasien?” tanyaku kepada perawat Gina, asistenku.
“Ada tiga, Dok. Dua pasien lama, satu DB grade II, satunya lagi hipertensi visit terakhir, dijadwalkan pulang hari ini.”
“Satu lagi?”
“Pasien kiriman dari IGD semalam, suspect Prancreatitis.”
“Kita ke pasien baru terlebih dahulu,” ucapku sambil menerima status pasien yang diberikan Gina. “Panggilkan koas untuk ikut visit sekalian,” lanjutku.
Begitu sampai di bangsal Seruni—salah satu bangsal penyakit dalam—aku langsung menuju bed pasien sesuai yang Gina tunjukkan sebelumnya. Sambil meengeluarkan stetoskop, penlight, dan beberapa alat perang lainnya aku mulai menjalankan prosedur pemeriksaan fisik seperti biasa. Anamnesis dari hasil laporan Gina juga status pasien yang kupegang tadi. Aku mengarahkan stetoskop ke abdomen pasie, mulai mengobservasi sambil menekan bagian-bagian tertentu.
“Di sini sakit, Pak?”
“Argh, sakit, Dok.” Terlihat pasien merespon cepat akibat tekanan yang kuberikan pada abdomennya tersebut.
“Berapa suhunya?”
“38.7, Dok,” jawab Gina dilanjut penjelasan TTV lainnya. (Read: Tanda-tanda vital)
“Sudah berapa lama merasakan seperti ini, Pak?”
“Se... Selasa, Dok.” Terdengar lirih jawaban dari Bapak tersebut.
Sebenarnya tidak tega juga, tapi bagaimanapun ini bagian dari pemerikasaan. Aku harus mendapat informasi sebanyak-sebanyaknya untuk menegakkan diagnosis yang kuambil nanti.
“Walinya mana?”
“Tadi ijin ke perawat jaga untuk pulang mengambil pakaian, dan belum ada yang menggantikan, Dok.”
Aku mengamati Bapak tersebut sekilas, sebelum akhirnya segerombol koas datang sedikit berlari sambil mengatur napasnya.
Hah, ya begitulah koas. Aku tak ingin berkomentar lebih. Nyatanya, bisa sampai di titik ini karena dulu aku juga pernah melalui fase tersebut. Coass life is about liar adventure.
“Koas?”
“Siap, Dok.”
“Pasien datang dengan kesadaran yang mengalami penurunan. Gula darah tinggi mencapai 400, tapi tidak ada riwayat DM. Nyeri epigastrium, gelisah, muntah-muntah, demam disertai keringat dingin. Apa diagnosisnya?”
“Apendicitis, Dok?” jawab salah satu koas.
“Bukan. Bising usung positif, perut tidak keras, dan tidak ada tanda-tanda Peritonitis.”
“Pancreatitis, Dok.” Koas lainnya ikut menyahut.
“Nah, pemeriksaan penunjang apa lagi yang diperlukan?”
“Cek kadar amilase, lipase dan fungsi ginjalnya. Kalau perlu diperkuat lagi dengan USG perut, Dok.”
“Good, kamu lakukan itu dibantu sama perawat Gina.”
“Baik, Dok.”
“Untuk terapinya, Dok?”
“Resusitasi cairan, berikan Asering tapi guyur dulu. Puasakan, kemudian injeksi obat lambung proton pump inhibitor double dose. Injeksi antibiotik, lainnya simtomatik saja. Obeservasi TTV jangan lupa.”
Aku melihat ada sebagian koas yang sedang sibuk mencatat. Entah itu benar-benar mencatat atau hanya sekadar pura-pura menyibukkan diri?
Ada juga yang memerhatikanku sedari tadi sampai tak sadar bahwa penjelasannku telah selesai.
Terpesona, eh?
“Koas, Paham?”
“Siap, paham, Dok,” jawab mereka serentak.
Tapi, aku nggak yakin sih. Bisa saja yang mereka pahami adalah kharisma dokter Fachry yang terpancar dan tak bisa terelakkan lagi. Hmmm, aku.
Iya, kan?
“Ya sudah, kalian buat laporan kasusnya, besok presentasikan ke saya.”
Kemudian aku beralih ke pasien selanjutnya yang masih berada dalam bangsal yang sama.
Ini baru jam delapan pagi, dan kesibukan sudah nyata di depan mata.
Ikhlas, mengabdikan diri untuk masyarakat sesuai sumpah yang telah kuambil beberapa tahun silam. Resiko, untuk sebuah keputusan yang kutekadkan dua belas tahun lalu. Bersyukur, karena nyatanya terpilih sebagai salah satu perantara tangan Tuhan itu adalah anugerah, bukan musibah.
Ajegile, bahasa gue sok iya banget.
Baiklah, setelah menyelesaikan visit pagi, kini aktivitasku beralih ke poli. Masih ada tiga puluh menit sebelum waktu buka praktik dimulai. Kampretnya, aku lapar.
Tapi, nggak oke banget jika harus sarapan pagi-pagi begini di kantin rumah sakit. Sendiri pula.
Miris.
Naas.
“Selamat pagi dokter Fachry ganteng.” Satu suara dari arah samping sedikit mengagetkanku.
Sedikit, karena jangan bayangkan ada adegan dimana aku terhenyak, terjinggat, atau apapun sebutan untuk mendeskripsikan ekspresi orang kaget. Intinya seperti itu.
“Iih, Yik. Disapa juga!!!” sungut perempuan yang kini menyejajarkan langkahnya di sampingku.
“Hmm,” sahutku singkat.
Ah, Iya. Dia, rekan sejawatku. Mmm, lebih dari itu sih sebenarnya.
“Lo nggak pernah dapet conversation class ya?” tanyanya yang hanya kubalas dengan lirikan singkat juga kernyitan nggak paham.
“Sumpah, nyebelin banget pagi-pagi.”
Dan, sumpah juga bahwa aku harus menahan debaran nggak bisa santai yang selalu hadir di saat ada perempuan ini.
Stay cool, calm. Jangan menjatuhkan harga hanya karena ketahuan gugup dengan konyolnya.
“Apa, Frey?”
“Rumusnya, kalau ada orang nyapa itu ya disapa balik. Kalau ada orang tanya ya dijawab. Kalau ada orang ngajak bicara ya ditanggapi.” Repetan panjang dari bibir peach itu, membuatku semakin gemas.
Ah, Freya. Kenapa harus dia dari sekian perempuan di dunia yang membuatku normal karena perasaan ini? Membuatku berpikir soal rasa yang banyak disebut orang-orang sebagai cinta.
“Yik!!!! Tau deh.... Bye!!!”
Hhh, itulah perempuan. Di belahan bumi manapun, hal seperti ini akan selalu melekat dalam jiwa kaum tersebut.
Freya berniat pergi, tapi tentu aku nggak akan membiarkannya begitu saja. Sedikit berlari untuk menyamakan langkahnya. Kuraih pergelangan itu dan kini giliranku yang mengambil kendali. “Temani gue sarapan,” putusku, tanpa ia bisa membantah.
“Always!!!” Dia mencebik, tapi nggak urung juga nurut.
Freya, dia bukan sahabatku. Terlalu sederhana rasanya jika hanya sebagai sehabat.
Soulmate? Bisa jadi. Tapi, sesuatu di dalam sini menginginkan lebih dari itu. Suatu ketidakmungkinan yang masih berusaha kusangkal.
Cinta....??!! Aish.
“Bubur soto kayak biasanya sama teh hangat satu, Frey,” ujarku kepada Freya yang sudah menuju stand makanan.
Sementara, aku harus berjuang mencari tempat kosong di antara kepadatan kantin di prime time seperti sekarang, yang mustahil dari kata sepi.
Untungnya, nggak sampai ubanan Freya telah datang dengan senampan bubur soto pesananku.
“Makasih, cantik.”
Bukannya membalas, dia hanya menatapku jengah kemudian roll eyes begitu saja.
Hahaha, oke sepertinya aksi balas dendam sedang dilakukannya.
“Trus lo nggak sarapan?”
“Gue nggak kayak lo yaa, sekalipun kagak ada yang masakin, seenggaknya gue sadar buat jaga kesehatan diri sendiri. Nah lo? Ada Bibi yang masakin, ada tante Farida yang selalu ngingetin sarapan. Sumpah, kurang-kurangin deh, Yik!!! Gak malu sama pasien lo gitu? Nyuruh untuk makan teratur, sementara lo sendiri?”
Yeah, kultum pagi ala emak-emak tersaji dengan manis di depanku. Sekalipun tadi itu memekikkan telinga, tapi fokusku berbeda.
Ampun!!!! Wajah imut sambil manyun gitu, siapa yang tahan, Frey?
Sabar, Yik. Ini cobaan.
Oke.
(One Direction – Perfect)
BigBoss Calling...
Begitu nama yang tertera di layar ponsel, segera kugeser ikon berwarna hijau jika nggak pengin mendapat semprotan sepagi ini.
“Assalamualaikum,” salamku, sambil memberi isyarat kepada Freya untuk menunggu.
“Waalaikumsalam, Hari ini kamu selesei praktik jam berapa, Yik?” suara di ujung sana dengan nada khas yang sudah tak asing lagi.
“Belum tau, Pa, sekitaran jam dua atau jam tiga mungkin, tergantung.”
“Oke, Papa tunggu di kampus, ada hal penting yang akan Papa sampaikan.”
“Tapi—”
Klik.
Begitu saja tanpa sempat aku membalas iya, oke, tidak, tunggu, atau nanti, atau—ah, sudahlah. Papa memang selalu begitu.
“Om Rahman?” tanya Freya penasaran.
“Iya, biasa gak basa basi gak apa langsung main tutup aja.” Aku menggerutu sendiri sambil melanjutkan sarapan yang mulai mendingin.
“Sebelas dua belas lah ya.”
“Hmm?” balasku datar.
“Iya persis kayak lo, tanpa minta persetujuan nyuruh gue nemenin sarapan sementara gue hanya ngeliatin aja,” balasanya kesal.
Dan—oh, tidak!!! Mata hazelnya... Astaga!!! Bisa gila hanya karena seorang Freya.
Lambaikan tangan. Nggak kuat, Nyerah.
“Eh, lo nggak ke poli?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
Eh, apa katanya tadi?
Poli!!! Bego!!!
“Ya ampun, cerdas lo. Gue cabut dulu, nih tolong bayarin Frey.” Ucapku mencari uang lima puluh ribu dari dalam dompet dan kuletakkan di depannya. “Thanks, cantik.” Aku masih sempat-sempatnya mengacak rambutnya kemudian pergi.
Frey, andai.... Ah, ya sudahlah.
-------000-------
Rajendra University, 14.48 WIB.
Setelah bergulat dengan kesibukan tiada tara, kini saatnya melaksanakan titah Big Boss untuk menemuinya. Berada di sinilah aku sekarang, bangunan dua belas lantai yang menjadi pusat diantara bangunan lain di komplek kampus ini.
Sedikit melirik smartwatch yang melingkar di pergelanganku, sepertinya tidak terlalu buruk. Lagi, tidak ada ketentuan yang mengharuskanku untuk datang tepat jam sekian. Sepertinya, ini juga bukan meeting, gathering, atau anything dengan syarat kehadiran on time.
Tanpa snelli dan antek-anteknya, aku memasuki Centre Building meninggalkan Porsche White yang telah terparkir di halaman parkir bertuliskan 'Parkir Ekslusif'.
“Selamat pagi, Mas Fachry,” sapa salah satu security begitu aku memasuki gedung.
Gedung ini sebenarnya adalah gabungan dari Rektorat dan kantor Top Manajemen Rajendra Group, sehingga wajar saja jika gedung ini adalah yang tertinggi daripada gedung-gedung lain dalam satu kawasan Rajendra University.
Rajendra, ya, nama yang sama dengan seorang dr. Rajendra Fachry Anugrah, Sp.PD dimana itu adalah saya.
Hahahah, ketawa setan.
Oke, aku memang tidak pernah melihat secara langsung bagaimana setan tertawa sih. Tapi yaa seperti itulah setidaknya.
Heh, ketawanya saja ya!!! Orangnya bukan seperti setan!!!
Rajendra itu adalah kakekku, memiliki putra bernama Reikhan Rajendra—pemilik RMC tempatku bekerja saat ini—dan Rajendra Rahman, seseorang yang sudah menunggu di lantai dua belas itu. Big Boss yang sel spermanya telah bertemu dengan sel telur Ibu Farida—istri satu-satunya—kemudian menghasilkan seorang bayi laki-laki. Dan kini, bayi tersebut telah menjelma menjadi pria terkeren, terganteng, atau ter- lainnya. Lihatlah para kaum hawa, ngecess begitu saja saat aku lewat di depannya.
Inilah aku. Hahaha.
Sekarang mari coba perhatikan ekspresi perempuan satu ini.
“Sore Miranda,” sapaku ramah kepada resepsionis di lantai dua belas ini.
Perempuan itu sudah melihatku. Tapi belum ada balasan atas sapaanku tadi. Hening. Pandangannya kosong.
See? Betapa pesonaku bisa membuatnya diam tanpa kata.
“Miranda?” sapaku lagi sambil menggerakkan lima jariku tepat di depannya.
“Eh, iya maaf, sore, Mas Fachry. Lama ya nggak ke sini?” tanyanya basa basi.
Memangnya kenapa kalau nggak pernah ke sini? Kangen?
Hah, tapi aku nggak setega itu untuk melayangkan pertanyaan tesebut kepadanya. Sudahlah, tidak terlalu penting juga.
"Iya, sibuk di rumah sakit, Bapak ada? Masih belum pulang kan ya?"
“Ada, Mas. Sudah ditunggu dari tadi, silahkan masuk,” ucapnya tersenyum sambil menunjuk ruangan Bapak Rajendra Rahman yang terhormat.
Setelah sedikit basa-basi tersebut, aku membalas senyumnya dan berlalu menuju ruangan Papa.
Aku mengetuk pintu sebentar lalu memutar gagangnya setelah mendapat sahutan dari dalam ruangan.
“Duduk.” Papa meletakkan kacamata, kemudian bangkit dari singgasananya menuju sofa tempatku berada saat ini.
Perasaanku tiba-tiba saja memburuk. Ada semacam firasat menyeramkan perihal kehadiranku kali ini. Dan, Bapak Rajendra Rahman memang selalu penuh teka-teki misterius.
“Ada apa, Pa? Papa nggak minta aku buat datang on time kan?” tanyaku membuka man session dua generasi berbeda ini.
“Senin besok kamu harus mulai ngantor di sini, ya walaupun seminggu berapa kali terserah kamu, yang penting harus,” ucap Papa sukses membuatku nyaris henti jantung.
Rencana apalagi ini?
Aku menahan napas sejenak. Untung saja aku masih ingat bahwa pria berumur ini adalah orang yang mewarisi separuh DNAnya kepadaku. Kalau tidak, segala umpatan yang tertahan ini, sudah tentu kumuntahkan begitu saja.
“Ini berkas sebagai pedoman selama kamu ngantor di sini. Apa saja yang perlu kamu urus dan ambil alih dari Papa, semua lengkap di situ. Nanti Miranda akan menjelaskan detailnya sama kamu,” lanjutnya sambil menyerahkan tumpukan map berisi entah apa yang sama sekali tak membuatku tertarik.
Papa memang selalu begitu. Punya titah tak terbantah, membuat lawan bicaranya tak bisa sekedar menyampaikan intrupsi. Jelas sekalipun aku berusaha melayangkan sanggahan, Papa tetaplah pemegang kekuasaan tertinggi.
“Harus?” tanyaku masih meragukan sabda Bapak Rahman tersebut.
“Papa anggap kamu 'Iya' dan Papa juga sudah menghubungi Om Reikhan untuk setting jadwal kamu di RMC agar tidak bentrok di sini!!” tambahnya membuatku hanya bisa mendesah lelah.
Ya, sebenarnya wajar saja sih Papa melakukan hal demikian. Kalau dirunut mulai awal, sudah bisa dipastikan bahwa akulah tersangka di balik semua ini.
Sebagai anak pertama dan laki-laki, tentunya tanggung jawab terkait bisnis keluarga ini mutlak diturunkan kepadaku. Tapi, apa yang aku lakukan?
Lebih memilih menjadi dokter seperti omnya, sepupunya, dan juga sahabat cantiknya itu.
Aish, bukan. Serius, soal profesi, tolong jangan ragukan. That's my passion, dan sepenuh hati akan kukerahkan sebagai abdiku.
Jadi, yaa setidaknya dicoba dulu lah. Berusaha untuk tidak membuat Papa kecewa. Belajar menyeimbangkan antara kedua profesi yang bakal kulakoni bersama.
“Oke, ada lagi?” tantangku kepada Papa.
Haish, nantang?
Yang tadi itu oke?
Ya sudahlah, cukup dijalani. Toh, tidak ada ruginya. Siapa tahu saat jadwal di rumah sakit mulai menjemukan, tempat ini bisa jadi pelarian sesaat.
Baiklah.
“Ah iya, jadi kamu kapan kenalin calonmu ke Papa dan Mama?”
Oke, Papa semakin konyol sih ya. Dan pertanyaan baru saja itu cukup membuatku jengah.
“Papa tahu pasal 335 ayat 1 KUHP?”
“Kamu tahu Papa bukan orang yang suka main tebak-tebakan, Yik.”
“Papa bisa aku tuntut dengan pasal itu karena melayangkan pertanyaan seperti tadi. Itu termasuk perbuatan tidak menyenangkan kalau Papa nggak tahu.”
Sebentar Papa menatapku heran.
Kemudian, tertawa.
Menertawakanku lebih tepatnya.
Sial!!!
Nah, jadi bagian mana yang menggambarkan bahwa Papa memiliki sisi tidak menyebalkan?
“Hahaha, kamu lucu. Papa cuma tanya calon, Yik. Papa kan juga pengin segera punya cucu kayak teman-teman Papa yang lain.”
Aku tahu, Pa. Tapi, perihal jodoh tak semudah order GoFood setengah jam kemudian sudah sampai. Mencari jodoh nggak sebercanda itu, Pa.
Memangnya, saat lelaki hampir memasuki kepala tiga dan belum berumah tangga, apa selalu terlihat menyedihkan?
Aku tak semenyedihkan itu. Ada pencapaian karir yang bisa kubanggakan. Lulus spesialis sebelum usia tiga puluh—di saat sejawat lain masih menjadi residen—itu adalah prestasi. Bagiku, wajar saja, karena semakin berkualitas seseorang sudah pasti Tuhan akan mengirimkan jodoh yang sama kualitasnya.
Ah, lagipula, sama halnya dengan satu sepupu kunyukku, masih saja jomlo sekalipun soal karir tak perlu diragukan. Ya, Arga, satu lagi selain Freya yang bisa mengertiku luar dalam. Kami bertiga sejak kecil, karena itu tercetuslah Threever sebagai pengikat di antaranya.
“Lagian, itu ada Freya yang jelas di depan mata. Masih mau cari yang seperti apa?”
Nah, itu masalahnya, Pa.
Bahwa tentang Freya tak pernah ada kata mudah untuk menaklukkannya. Mendekati mustahil itu lebih tepat. Dan entah bagian mana yang membuat hati Freya bisa sedikit saja terbuka untukku. Atau aku yang terlalu takut untuk sekedar mengungkapkan?
Sial, begini sekali balada orang galau cinta?
“Pa, kalau nggak ada yang dibicarakan lagi, saya duluan ya.”
Seolah paham raut mukaku yang semakin masam, Papa menepuk pundakku untuk menenangkan. “Maafin, Papa. Bukan maksud Papa untuk nekan kamu segera dapat jodoh, tapi hal seperti itu perlu dijemput, Yik. Bukan Cuma ditunggu.”
“Aku paham, Pa."
“Ya sudah, ketemu di rumah. Papa masih ada ketemu klien setelah ini.”
Hhhh, cukup Papa saja yang membuatku semakin galau. Kalian jangan ikutan.
Sudahlah lupakan mellow yellow tak berfaedah itu tadi. Kini, saatnya melepas penat dari hectic seharian itu.
Aku mulai menjalankan si pewe—panggilan untuk Prosche White kebangganku ini—dan membawanya keluar dari plataran. Kemudian, aku berpikir untuk menghubungi Freya. Sepertinya menghabiskan sore di kafe dengan alunan akustik dan sajian espresso, bisa menjadi pilihan terbaik untuk mengembalikan moodku. Ditambah kesediaan Freya untuk menemani. Lengkap. Perfect.
Mencari kontak Freya diponsel sambil satu tangan fokus mengemudi ternyata tidaklah mudah. Aku terus menscroll hingga tak sempat memerhatikan jalan. Dan, terlihat sebuah kubangan bekas hujan tepat berada lima meter di depan mobilku. Sudah terlambat untuk menghindar jadi—oke, aku harus rela si pewe menerjang kubangan itu yang bisa kupastikan setelah ini aku harus membawanya ke car wash.
Shit, ini hari apa sih?
Tapi itu belum seberapa, sepuluh meter setelah berhasil menerjang kubangan yang cukup dalam itu, terdengar....
PYAAAAAR!!!
....itu suara pecahan kaca yang berasal dari arah belakang pewe. Spontan aku menghentikan laju si pewe. Saat kutengok ke belakang—astaga, derita apa selanjutnya?
Pewe gue... Shiiit !!!
“Woey turun lo!!!” teriak seseorang.
Aku melihat ke arah sunvisor, ada cewek berkacak pinggang terlihat geram berdiri tepat di sebelah kubangan.
Kampret banget tuh cewek!
Baiklah, lupakan soal bersantai sore hari menikmati senja di kafe.
Lupakan!!!
Tentang pewe, tak akan kubiarkan satu orang pun yang membuatnya sampai cacat seperti ini. Siapapun, harus menerima tanggung jawab itu. Dan cewek itu, jangan pernah berpikir bahwa dia bisa lari begitu saja. Aku turun dari pewe, menghampiri si tersangka. Tapi bukannya takut, cewek itu malah memasang muka garang siap menerkamku.
Heh, nggak kebalik tuh? Situ oke?
Mau nantangin tuh cewek?
Kita lihat saja, seberapa berani dia menghadapiku.
“Lo, sarap?” tanyaku tepat di depan mukanya.
Kali ini, dia mulai bergidik ngeri dan bersiap untuk kabur.
Kucekal tangannya,“Jangan pernah berpikir lo bisa kabur setelah apa yang lo lakukan barusan!!!”
“Gu... Gue—”
“Lo, harus tanggung jawab,” putusku final.
Dan, permainan itu dimulai dari sini.
__________________TBC________________
Amandemen III
Krian, 25 Jan 18
Full of sayangs
😍😘😘
Chaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top