Bagian XVIII : Taking a Chance

Jihyo menatap pemandangan di luar jendela dengan malas. Ia sungguh tidak berselera dengan apapun setelah melewati hari ini dengan cerita yang membosankan. Jihyo membiarkan Hera yang mengambil alih kemudi mobil, seperti biasanya. Lantas ia menghembuskan napas pelan. "Bisakah kita singgah di mini market Hera? Aku ingin minum soju."

Hera langsung menoleh walau sebentar. "Soju? Minuman itu tidak baik untuk kesehatan Kak Jiyo. Tidak, tidak ada soju," ucap Hera sambil menggelengkan kepala.

Mata Jihyo melirik ke arah Hera dengan frustrasi. Rasanya, isi kepalanya ingin meledak. "Aku butuh itu untuk melupakan sejenak masalah yang ada."

Memang, bukan hal baru Jihyo dengan hal itu. Dengan menikmati soju atau alkohol sejenis, ia memang sejenak bisa melupakan peliknya masalah hidup yang menimpanya. Hera sendiri memang tahu, tetapi ia yang sudah tinggal bersama  dengan Jihyo cukup lama hanya khawatir jika akan berdampak pada kesehatannya sendiri.

Walau sejak mengumumkan untuk melakukan pembalasan dendam, Jihyo memang sudah mengabaikan masalah kesehatan. Ia hanya berusaha bertahan hidup, sebesar apapun luka dalam tubuh atau dirinya.

Hera hanya diam saja. Berbicara dengan Jihyo juga soal ini tidak akan menemukan jalan keluar. Jihyo begitu keras kepala.

"Jangan lupa untuk singgah Hera," ucap Jihyo mengingatkan lagi yang mendapatkan dehaman sebagai balasan. Alhasil, Jihyo kembali mengamati pemandangan luar yang tengah dibasahi akan air hujan. Untuk sementara waktu kala mobil tiba-tiba berhenti.

"Hera, ada apa?" tanya Jihyo yang menoleh pada Hera, tetapi sang empu langsung menunjuk sesuatu yang berada di depan.

"Ada seseorang di sana. Apa dia kecelakaan atau bagaimana?" tanya Hera yang menampilkan kekhawatiran. "Apa kita perlu menolongnya?" tanya Hera lagi karena Jihyo memang hanya diam saja.

Jihyo masih mengamati begitu lekat. Seorang pria yang berbaring di atas aspal dengan kondisi hujan yang terus jatuh begitu deras. Terdapat mobil yang berada tidak jauh dari pria itu dan Jihyo mengamatinya begitu lekat hingga ia mengerjapkan mata melihat plat mobil itu.

"Itu mobil milik Jungkook."

"Apa?" Hera bertanya spontan dan ingin memastikan.

Jihyo masih menatapnya dengan lekat. Kemudian, ia tersenyum miring saat menoleh ke arah Hera. Seakan rencana sudah tercipta dikepalanya. "Hera, aku akan ke sana. Tunggu sebentar."

Namun, Hera langsung menahan lengan Jihyo. Seakan ingin memberikan penolakan. "Bagaimana jika itu bukan Jungkook? Bagaimana jika malah seorang perampok?"

"Tidak. Percaya saja padaku. Tunggu aba-aba dariku," ucap Jihyo yang kemudian keluar. Ia memaksakan diri saat Hera berusaha menahannya.

Jihyo mengambil payung yang disediakan dibagian belakang mobil kemudian bergegas mendekat ke arah pria yang berbaring mengenaskan. Ada aliran darah yang mengalir dari kepalanya dan kedua matanya masih terbuka.

Jihyo sudah benar dalam menebak. Perlahan, ia merendahkan tubuhnya, ingin semakin dekat dengan Jungkook yang begitu lemah. Rasanya menyenangkan melihat Jungkook lemah, tetapi ada sedikit tidak suka karena bukan ia yang membuat Jungkook lemah.

"Ji ... Jih ... yo ..."

Jihyo tersenyum miring lalu mengulurkan jemarinya mengusap kepala Jungkook dengan pelan. "Iya, Presdir. Ini saya, Jihyo dan saya akan menolong Presdir."

Lalu, Jihyo memanggil Hera untuk membantunya. Lagipula, bagaimana caranya ia membawa tubuh besar dan kekar Jungkook untuk masuk ke dalam mobil seorang diri?

***

Jihyo membawa Jungkook ke rumah sakit terdekat. Ia bersama dengan Hera sungguh basah kuyup saat mencoba untuk menolong. Demi citra yang baik, Jihyo akan melakukan apapun itu, walau Hera tampak menahan rasa sebal karena mendapati dampak buruk dalam kebaikan yang dilakukan oleh Jihyo.

Ketika mereka tiba di rumah sakit, perawat dan dokter langsung bergegas menyambut mereka di pintu masuk UGD. Jungkook segera ditangani dan dibawa masuk ke ruang perawatan. Jihyo dan Hera menunggu di ruang tunggu dengan cemas, pakaian mereka basah dan rambut mereka meneteskan air.

"Kak Jihyo, kenapa harus menolongnya? Aku tahu ini demi citra, tetapi ... apakah itu sepadan?" tanya Hera dengan suara pelan.

Jihyo menatap Hera sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Hera, kita tidak pernah tahu kapan bantuan kecil bisa berbalik menjadi sesuatu yang besar."

Hera hanya bisa mengangguk, mencoba memahami pemikiran Jihyo yang selalu penuh dengan strategi dan tanda tanya. Mereka duduk dalam diam, menunggu kabar dari dalam ruang perawatan.

Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang perawatan dan menghampiri mereka. "Pasien dalam kondisi stabil sekarang, tetapi dia membutuhkan waktu untuk pulih. Kami akan memantau kondisinya dengan seksama."

Jihyo mengangguk, merasa lega namun tetap waspada. "Terima kasih, Dokter. Bisakah kami menemuinya?"

"Untuk saat ini, pasien perlu istirahat. Mungkin beberapa jam lagi," jawab dokter itu dengan sopan sebelum pergi.

Jihyo masih diam, tetapi kemudian menoleh ke arah Hera. "Kau pulanglah. Aku akan di sini."

"Kak Jihyo ingin menunggu dia sampai sadar?" tanya Hera memastikan. Tatapan penuh makna Jihyo nyatanya menjawab hal itu dan Hera tidak memiliki pilihan lain selain menurut.

Ia mengangguk paham. "Baiklah. Aku akan membawa pakaian untuk Kak Jihyo kalau begitu. Kalau butuh sesuatu, Kak Jihyo harus mengatakannya padaku," ucap Hera yang kemudian pergi meninggalkan Jihyo di rumah sakit.

Jihyo hanya mengamati sekilas, lantas fokusnya kembali mengarah pada ruangan perawatan di mana Jungkook berada. Di luar ruangan, tidak ada yang ia lakukan dan pihak keluarga dari Jungkook sendiri pun belum menampakkan dirinya. 

Jihyo berdiri di depan pintu ruangan perawatan Jungkook, hatinya berdebar tak beraturan. Tidak berselang lama, ia pun telah mendapatkan izin dari dokter untuk masuk, namun perasaan campur aduk melingkupi benaknya. Melihat Jungkook dalam kondisi lemah seolah memberikan perasaan aneh—antara senang dan kesal, karena bukan dirinya yang membuat pria itu terpuruk.

Saat Jihyo melangkah masuk, suara derit pintu terdengar samar di ruangan yang sunyi. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Jungkook yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tubuh pria itu tampak besar, tetapi kini terlihat tak berdaya di bawah sinar lampu redup ruang perawatan. Beberapa perban menutupi kepalanya, sementara alat-alat medis terhubung ke tubuhnya, memantau setiap detak jantung dan napasnya.

Jihyo mendekat dengan langkah perlahan hingga ia sudah ada tepat di samping Jungkook. Sungguh, begitu saja terjadi pada dirinya saat nalurinya yang tiba-tiba mendorongnya untuk menyentuh wajah Jungkook, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. 

Jemarinya terulur, hanya beberapa senti dari pipi pria itu. Akan tetapi, mata Jungkook perlahan terbuka begitu saja. Ia tidak sepenuhnya terjaga, tetapi cukup sadar untuk menangkap sosok Jihyo di hadapannya.

Mata mereka bertemu. Seketika, Jihyo merasa tubuhnya kaku, seperti dihantam oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Tatapan Jungkook terlihat lemah, tetapi ada sedikit ketenangan di dalamnya, seolah ia sedang mencoba memahami apa yang terjadi. Jungkook membuka mulutnya perlahan, suara seraknya nyaris tak terdengar.

"Ji... Jihyo?" Suara lemah itu keluar dari bibirnya, membuat Jihyo tersentak. Ada seberkas kelegaan dalam suaranya, seolah ia menemukan seseorang yang dikenalnya di tengah-tengah kekacauan.

Jihyo tersenyum miring, menahan perasaannya yang bergejolak. "Iya, Presdir. Ini saya."

Jungkook hanya bisa menatapnya, terlalu lemah untuk merespon lebih banyak. Jihyo tahu betul bahwa kondisi Jungkook saat ini bukanlah hasil dari rencananya. Namun, entah bagaimana, ia merasa di posisi yang unggul. Melihat pria yang biasanya begitu dominan dan tak tergoyahkan kini terbaring tak berdaya, membuat hatinya bergetar dalam cara yang aneh.

"Ji ... hyo ..."

Secara perlahan, Jihyo semakin mendekat dengan senyum merekah. "Ya, Presdir. Saya di sini. Saya ...."

"Kenapa kau pergi dan meninggalkanku sendiri? Aku ... aku mencarimu dan kau--"

"Presdir, apa kau baik-baik saja? Astaga, maaf. Saya begitu khawatir dan Nona Shin? Kau ada di sini?" tanya Dohyun yang tiba-tiba masuk ke kamar inap Jungkook dan bahkan berterus terang tanpa berpikir jika ia berada di rumah sakit. 

Jihyo mengerjapkan mata, sebenarnya cukup terkejut dan ia berusaha menetralkan diri. "Itu, saya menemukan Presdir seperti orang sekarat dan langsung membawanya ke sini. Tetapi saya lupa untuk mengabari siapapun karena begitu terkejut," ucap Jihyo yang beralasan walau sebenarnya ia yang memang sengaja tidak memberitahu siapapun.

Dohyun mengangguk. Ia sekilas menoleh ke arah Jungkook yang meringis sembari memegangi kepalanya. "Oh, sebelumnya terima kasih, Nona Shin. Saya pun bisa datang ke sini karena panggilan dari pihak kepolisian perkara mobil dan semuanya terjadi begitu saja. Selebihnya, kau bisa mempercayakan Presdir pada saya. Oleh karena itu, pulanglah. Saya akan menyuruh orang untuk mengantar--"

Jihyo menggeleng. "Tidak perlu. Saya bisa pulang sendiri. Saya permisi dulu kalau begitu. Selamat malam," ucap Jihyo yang bahkan langsung pergi setelah membungkukkan sedikit tubuhnya tanpa berhenti lagi saat namanya dipanggil oleh Jungkook berulang kali.

Jihyo hanya menaikkan satu sudut bibirnya sembari mengambil ponsel dan hendak menghubungi seseorang.

Halo, guys. Lama  banget ya aku baru nulis dan lanjut di sini, hehe. Aku minta maaf banget soalnya banyak yang terjadi di RL hingga kemarin aku abis kelar operasi. So, saatnya lanjut halu di sini.

Beberapa cerita yang ongoing bakalan lanjut dan ada yang akan aku unpub buat publish cerita yang menurutku lebih menarik, hehe. Tungguin aja karena aku bakalan mulai aktif di wp dan ig lagi.

See u dan makasih buat yang masih stay!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top