Bagian IX : a Burning Sensation
Hari ini, kantor cukup senggang dan bahkan Jihyo beserta rekan lainnya mendapatkan kesempatan untuk datang ke kantor saat pesta perayaan akan di mulai, sekiranya sejam sebelum dari waktu ditentukan. Kata Chaomin seperti itu—sebagai hadiah lembur sehingga Jihyo mengulur waktu, sesuai dengan apa yang sang ketua sampaikan.
Mengingat lembur, Jihyo bahkan harus pulang sekitar pukul sepuluh malam. Benar-benar ia sampai rumah saat jarum panjang jam berada di angka sebelas. Perjuangan yang begitu melelahkan, belum lagi ia harus berada di dapur toko selama sejam hingga setibanya di kamar pun ia langsung berbaring. Ia terbangun saat matahari mulai naik. Sebenarnya, Jihyo masih ingin berbaring, tetapi ia memiliki agenda lain sebelum ke kantor untuk menghadiri pesta perayaan itu.
Jihyo sudah menyiapkan gaun yang mengagumkan. Jelas Jihyo ingin menjadi pusat perhatian dan memulai sebuah rencana manis. Menggelikan jika Jihyo seketika mengingat kejadian semalam. Ciuman itu memang memabukkan, tetapi diselingi alkohol rasanya tidak menyenangkan.
"Sudah, lupakan soal ciuman itu!" ucap Jihyo yang meraih sling bag. Rambutnya kini ia ikat kuncir, sedikit ingin melakukan perubahan. Lantas, Jihyo meraih kunci mobil sebelum menuruni anak tangga. Baru berada di anak tangga, Jihyo sudah mengendus aroma kue-kue yang begitu memabukkan. Setibanya di lantai dasar, ia melihat Hera yang menata begitu telaten berbagai macam roti yang tersedia.
"Hera, aku pergi dulu. Aku akan kembali sebelum makan siang lantas bersiap untuk ke pesta!" ucap Jihyo memberikan informasi. Sang empu mengangguk, bersamaan dengan memberikan sebuah paperbag berwarna merah muda.
Hera tersenyum, seakan paham ke mana akan perginya Jihyo. "Aku titip salam untuk Bibi Jena, Kak dan semoga Bibi Jena diberikan panjang umur juga kesehatan agar bisa berkumpul dengan Kak Jihyo!" katanya dengan mata yang sedikit berkaca, membuat Jihyo diam membeku.
Ia memang tidak mengatakan apapun, tetapi Hera paham karena Jihyo pernah bercerita jika kemarin adalah hari tepat ibunya ulang tahun. Jihyo selalu memberikan cheesecake kepada ibunya, bahkan ia memang sudah mempersiapkan kue itu semalam sebelum tertidur. Jihyo memang menitipkan pada Hera agar tidak diganggu gugat, tetapi ia tidak berkata itu untuk ibunya.
Perlahan, senyum terbit di wajah Jihyo. Ia mengangguk seraya meraih paperbag itu. "Terima kasih dan aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi!" katanya dengan kedua kaki yang terus melangkah menuju mobil sedan berwarna putih yang sudah terparkir di depan toko. Seperti yang ia katakan, hari ini ia ingin menemui ibunya untuk memberikan sedikit kejutan manis walau ibunya sama sekali tidak mengingat siapa dirinya.
Sangat menyedihkan.
Jihyo membutuhkan sekitar lima belas menit untuk tiba di tujuannya. Beruntung, jalanan aspal kali ini tak sepadat seperti biasanya, sehingga ia bisa tiba di tujuan tanpa melalui banyak kendala seperti saat ia ingin berkunjung ke sana. Jika ke tempat itu, semua ingatan mengenai masa lalu yang amat buruk melintas tiada henti. Itulah kenapa Jihyo tak bisa sesering ke sini, hanya diwaktu-waktu tertentu dan saat ia merasa kuat.
Perjalanan itu, membawa Jihyo ke sebuah bangunan putih dengan halaman yang cukup luas nan asri akan jejeran tanaman hijau yang tumbuh. Jihyo masih berada di bagian depan tatkala ketersediaan parkiran memang belum memadai. Mata bulatnya menyusuri pemandangan lewat jendela dan ia bisa melihat kesibukkan staf berpakain putih yang tengah melakukan tugasnya, hingga Jihyo berhenti pada papan nama bangunan itu.
Moon Psychiatric Hospital. Rasanya sesak jika berada di tempat ini. Jihyo tidak bisa membayangkan jika sosok yang begitu ia cintai dan hormati harus terpenjera selama beberapa tahun ini, tak bisa sembuh saat dokter sudah memberikan vonis mengenai sang ibu, Jena yang mengalami masalah psikis yang akut. Sistem otaknya sudah tidak berfungsi seperti manusia pada umumnya, membuat Jihyo tak tahu harus melakukan apa lagi agar ibunya bisa sembuh saat dokter saja sudah mengangkat tangan, mereka menyerah dan hanya tersisa perawatan intens agar pasien tidak melukai sekitarnya.
Jihyo menahan napas, kemudian menghembuskannya. Hari ini sangat spesial, jadi ia seharusnya tidak boleh merasa sedih. Lekas Jihyo meraih paperbag berisi kue yang sudah dipersiapkan lantas keluar dari mobil, melenggang masuk ke dalam area rumah sakit.
Ini bukan kali pertama Jihyo ke sini, tetapi kesannya seperti jika baru ke tempat ini. Menyedihkan dan menyesakkan. Ia mendengar suara teriakan, tawa yang menggema hingga tangis yang terisak pilu sepanjang Jihyo melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Pandangannya fokus ke depan, ia tidak ingin menoleh atau membalas sapaan yang diberikan kepadanya. Nurse yang ada di sana juga paham akan kepribadian Jihyo yang mereka kenal sebagai kerabat pasien bernama Jena yang tak lain adalah ibu Jihyo sendiri.
Secara spontan, langkah kaki Jihyo berhenti disebuah ruangan. Dibalik jendela, Jihyo melihat seorang wanita yang memeluk dua boneka bernampilan perempuan dan laki-laki. Wanita itu bercerita dengan begitu bahagia, tetapi wajahnya terlihat sangat lelah. Jihyo selalu melihat raut wajah keriput yang tercipta di wajah ibunya.
"Sayang, kita nanti pergi berlibur bersama Ayah. Setelah ayah kembali. Jadi, Jihyo harus tidur siang dulu, ya?"
"Tenang saja, ibu dan ayah tidak akan meninggalkan Jihyo! Selamanya kita akan bersama." Kembali, Jihyo mendengar kalimat sosok ibu yang begitu ia rindukan. Dengan langkah pelan juga kedua mata yang pecah, Jihyo mendekat seraya mengeluarkan cheesecake dari paperbag. Jihyo mencoba menetralkan diri.
"Selamat ulang tahun .... Selamat ulang tahun .... Selamat ulang tahun ibu, semoga panjang umur!" Jihyo bernyanyi dengan hati, berhasil mengalihkan pandangan Jena yang terlihat begitu bingung. Namun, gerakan spontan dilakukannya. Ia memeluk erat boneka itu seakan merasa bahaya datang kepadanya.
Hati kecil Jihyo yang masih tersisa begitu perih dengan apa yang dirasakannya kini. Satu-satunya keluarga yang ia miliki kini begitu asing dan tak bisa merasakan pelukannya lagi. Jihyo bahkan melihat ibunya menggeleng kuat dengan mata memerah, tidak bisa menahan luapan amarah.
"Pergi! Aku bilang pergi! Jangan ganggu aku! Jangan ambil keluargaku!"
Jihyo tidak memedulikan teriakan ibunya. Langkahnya terus mendekat pelan seraya bibir yang terus bersenandung dengan kue yang diperlihatkan begitu jelas. Tak kuasa, Jihyo merasakan air matanya satu persatu jatuh membasahi pipi.
"Ibu, ini Jihyo. Putri kecil ibu dan ayah. Dan ya, tidak akan ada yang memisahkan kita. Sekalipun ada, Jihyo akan menghancurkannya. Sedikit lagi, berikan Jihyo sedikit kesempatan untuk membalas rasa sakit dan penderitaan kalian selama ini!"
***
Game League of Battle begitu mendapatkan popularitas dikalangan penikmatnya. Bukti nyata karena menjadi game online nomor satu di Asia dan mulai merangkap ke kancah seluruh dunia. Melalui pesta yang akan diselenggarakan menjadi momen rasa syukur Jone Tech yang menduduki puncak teratas di industri game. Sekaligus pengumuman akan peluncuran season dua yang sangat dinanti-nantikan. Salah satu alasan kenapa pekerjaan Jihyo semakin menumpuk hingga harus lembur saat itu.
Setidaknya, Jihyo merasa senang karena bisa menikmati pesta yang diselenggarakan dan katanya, lantai sepuluh sudah disulap memanjakan mata. Tidak ada dresscode yang diberikan selain para pria harus mengenakan setelan jas dan untuk semua peremuan perlu menggunakan dress. Karena tidak ada penentuan yang lebih jelas, Jihyo saat ini mengenakan dress belahan samping yang menjuntai hingga ke bawah dengan bahan satin berwarna agak keunguan. Selangka dan bahu Jihyo begitu terekspos karena menggunakan tali tipis di setiap sisinya, bahkan kesan atas dress yang mengetat membuat belahan dadanya tercekik—seakan ingin menyembul keluar.
Jihyo merasa nyaman dengan apa yang ia kenakan. Tidak merasa terintimidasi dengan tatapan beberapa orang yang mungkin ingin mengatai dirinya dengan sorot mata sinis. Jihyo berpendapat, selama ia suka dan tak merugikan dirinya, ia tidak merasa keberatan. Alhasil, dengan langkah anggun—kaki jenjang yang dibalut high heels berwarna gold melangkah menyusuri lorong menuju lift karena pesta yang berada di lantai sepuluh—aula yang berakhir disulap menjadi tempat berlangsungnya pesta.
Jihyo sudah berada dalam lift. Ia hendak menekan tombol angka sepuluh, tetapi harus tertahan saat seseorang datang begitu saja, berada di sisinya dengan raut wajah tak berdosa. Jihyo sedikit heran, senyum memang terbit di wajahnya, tetapi rasa herannya tidak bisa ia tahan begitu saja. "Presdir ada di lift khusus staf? Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Dengan cepat, sosok yang bersetelan jas hitam lengkap dengan aura yang mendominasi menoleh dengan tatapan tajam bak elang. "Menurutmu?"
Jihyo masih memasang wajah keheranan, tetapi ia lekas menoleh ke arah lift khusus petinggi. Benar saja, ia mendapati papan peringatan untuk tidak dimasuki karena mengalami proses perbaikan. Jihyo mengangguk paham. "Saya minta maaf karena bertanya seperti itu, Presdir." Lalu Jihyo kembali pada posisinya, ia hendak menekan tombol tujuan. "Saya akan menekan tombol lantai sepuluh."
Namun, tidak ada sahutan dari Jungkook. Jihyo mengartikan persetujuan dari Jungkook, sehingga lift tertutup begitu saja. Hanya terdapat mereka berdua di dalamnya, naik dengan pelan ke lantai tujuan. Tidak ada suara yang tercipta, tetapi selang beberapa detik, sebuah suara tercipta dari lift—mengejutkan Jihyo yang nyaris terjatuh karena efek goncangan dari lift. Namun, Jungkook memiliki respon cepat dengan meraih tubuh Jihyo.
Mereka begitu dekat, saling berdempetan. Bahkan, Jihyo juga langung berpegangan di kedua pundak Jungkook, tidak merasa keberatan dengan jemari kekar Jungkook yang bertengger di area pinggangnya. Terlihat raut wajah Jungkook yang menahan rasa kesal. "Teknisi sialan, apa yang mereka kerjakan hingga kedua lift mengalami kerusakan seperti ini? Aku tidak akan mengampungi mereka!" ucap Jungkook dengan luapan amarah yang langsung keluar.
Jihyo mengerjapkan mata, tetapi seperkian detik langsung tersenyum. "Presdir harus tenang. Dalam kondisi seperti ini, kita harus tetap tenang dan damai ...." Jihyo berujar begitu lembut. Berhasil mengalihkan seluruh kinerja otak Jungkook yang langsung menoleh pada Jihyo.
Mereka saling memberikan tatapan. Jihyo bisa merasakan Jungkook begitu dekat kepadanya. Bahkan, aroma tubuh mint Jungkook juga terasa memabukkan dalam penciumannya. "Saya tidak pernah membayangkan jika aroma mint ternyata begitu memikat dan menggairahkan."
"Hentikan omong kosongmu!" Jungkook berkata dengan nada tertahan. Tahu-tahu, lift seakan kembali bekerja seperti biasanya, tetapi posisi intim mereka masih tercipta. Keduanya sama-sama belum ingin melepaskan diri.
Alhasil, Jihyo terkekeh. Bukannya takut dengan aura mengintimidasi Jungkook, Jihyo malah menuntun jempolnya mendekat ke arah Jungkook. Lebih tepatnya berhenti di area bibir dan mengusap begitu pelan. "Saya memang lancang dalam bertindak saat ini. Jika bersama dengan Presdir, selalu saja seperti itu dan ya ... saya menerima hukuman apapun itu karena rasanya, Presdir sudah tidak menyimpan maaf secara gratis untuk saya lagi."
Jihyo menjalankan apa yang tercipta dipikirannya dan bergerak secara alami seakan ia memang merasa seperti itu. Ia masih memainkan jari di sana, tetapi Jungkook dengan sigap menahan tangan Jihyo. Tidak sampai di sana, Jungkook juga mendorong tubuh Jihyo hingga ke dinding lift. Tanpa membiarkan Jihyo mengambial kesempatan untuk kabur, Jungkook langsung menyumpal bibir yang telah dipoles dengan lipcream merah muda dan lipgloss itu. Memberikan apa yang seharusnya Jihyo dapatkan akibat melemparkan umpannya sendiri kepada Jungkook.
Bagi Jungkook, ia tidak akan menahan diri lagi sehingga semuanya mengalir begitu saja. Aroma tubuh mereka yang menyatu, menciptakan rasa candu, melebihi nikotin ataupun alkohol sekalipun. Baik Jungkook maupun Jihyo tidak mau berhenti—memisahkan diri saat lift sudah ingin tiba di tujuan. Seakan tidak peduli jika mereka berada di tengah pesta. Jungkook menaikkan paha Jihyo yang tidak ditutupi kain karena model gaun Jihyo yang dibiarkan terekspos ke dirinya, membuat mereka semakin menempel dan rasanya sensasi ingin meledak tercipta di kepala mereka.
Jihyo terengah-engah kala Jungkook hanya memberikan sedikit jeda dan kembali pada kegiatan yang menciptakan sensasi panas. Jemari kekar Jungkook juga sudah menelusuri ke tiap-tiap bagian yang rasanya meledakkan tubuh Jihyo, mendesah tak terhahan. Akan tetapi, lift yang seketika terbuka—menampakkan kehadiran tamu yang berdatangan dan tengah menikmati pesta, terkejut dengan apa yang terjadi dilift. Keduanya tidak menyadari jika mereka sudah menjadi bahan tontonan.
"Apa yang kalian lakukan?!" Suara itu, langsung saja menghentikan kegiatan mereka. Jungkook terlihat terkejut, seakan tidak menyadari apa yang sudah ia lakukan, pun Jihyo, ia memasang wajah terkejut, tetapi dalam hati tersenyum puas.
Hola, aku update lagi! Sabar ya kok, harus di cut rame-rame nih. Nanti aja dilanjutnya abis pesta. Kan udah dapat lampu hijau tuh dari Jihyo, hekhem.
Wkwk, see u pokoknya guys di bab selanjutnya, haha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top