EPISODE KETIGA: CINTA
Sudah satu tahun berlalu, kami sudah menjadi siswa kelas dua. Mulai sekarang, kami memiliki adik kelas, dan kakak kelas. Aku tidak peduli dengan senior atau junior, karena menurutku kita semua sama, hanya beda usia. Tapi, bukan berarti yang tua harus menindas yang muda, apalagi sebaliknya. Menurutku kita semua harus saling menghormati. Baiklah, kita singkirkan dulu masalah junior dan senior, sekarang aku ingin membahas dengan kata "cinta". Pernyataan ini tidak bisa dihindari kalau kita sudah mengalami kedewasaan, mencari teman hidup untuk masa depan kelak. Menurut buku yang pernah aku baca, cinta adalah suatu nafsu yang akan kita alami, dan itu membutuhkan keegoisan.
"Bagaimana?" tanya Kak Reza dengan nada khas.
"Apa?" jawabku hendak minum.
"Tentu masalah cinta." Aku langsung menyemburkan air minum.
"Kenapa malah membahas itu?!"
"Ya, kau sudah besar. Sudah saatnya kau mencari calon teman hidupmu!" Dia memberiku jempolnya lagi.
"Kalau Kakak sendiri?"
"Hah, Kakak sedang berusaha!" Dia melakukan pose aneh.
"Bilang aja belum punya."
"Ada siswi yang kamu incar?"
"Enggak."
"Kenapa enggak ada?"
"Kakak tahu sendiri, kan? Aku ini enggak terlalu suka berbicara."
"Wahhhh! Tadi kau mengucapkan kalimat yang panjang, kau sudah dewasa!" Sekali lagi dia memberiku jempolnya.
"Apa benar dia Kakakku?" keluhku dalam hati. "Baiklah, aku berangkat." Aku berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.
"Nanti kalau sudah dapat pacar, ajak ke sini, ya?!"
"Terserah."
(Di sekolah)
"Aku putus! Huhuhu!" ucap Waskito tiba-tiba. Sekarang kami sedang duduk di taman sekolah.
"Putus?"
"Saat liburan, aku sudah dekat sama cewek. Tapi, belum seminggu, dia udah minta putus lagi. Huhuhuh!" Kali ini dia sedang sedih.
"Kurasa aku tahu kenapa dia minta putus." Aku menepuk pundak Sobatku ini. "Ya sudah, mungkin ada yang lebih baik lagi."
"Benarkah?"
"Benar, pasti ada."
"Bukan itu. Tapi, benarkah tadi kamu berusaha menghiburku? Ini sejarah!" Dia kembali semangat lagi.
"Memangnya aku ini robot? Tapi, syukurlah dia tidak sedih lagi." Lalu aku berdiri. "Ayo kita lihat papan pengumuman."
(Di depan papan pengumuman)
Kami baru memasuki tahun pelajaran baru, jadi kami belum tahu harus masuk kelas mana.
"Kita sekelas lagi!" Dia terlihat sangat bahagian, terbukti dia langsung loncat kegirangan.
"Ya."
"Kita memang tidak bisa dipisahkan!" Dia melakukan pose yang mirip dengan Kak Reza.
"Kata siapa? Buktinya pas di rumah kita enggak bersama."
"Ki, lihat!" Dia menarik lengan bajuku sambil menunjuk ke seorang wanita berambut perak panjang diikat pita putih, berbadan ideal, tinggi 150cm, berkulit putih, berseragam sekolah dengan rok selutut. "Dia cantik ya?"
"I...ya." Aku terus melihat dia.
"Kiki!"
"Apa?!"
"Jangan-jangan kau naksir dia, ya?"
"Hah?"
"Soalnya daritadi aku panggil, kamunya enggak nanggapin."
"Maaf."
"Engak perlu minta maaf, itu hal yang wajar. Berarti itu tandanya kau se..." Bel pun berbunyi. "Yah, bel sudah berbunyi. Ayo kita ke kelas."
(Di perpustakaan, jam istirahat)
Seperti biasa, saat jam istirahat aku selalu berjaga perpustakaan ini. Tapi, hari ini ada yang berbeda, biasanya perpustakaan ini sepi, tapi sekarang ada seorang wanita yang sedang duduk manis sambil membaca buku. Ya, wanita itu adalah wanita yang sebelumnya pernah kulihat saat melihat pengumuman pembagian kelas. Tidak disangka ternyata dia suka membaca buku, biasanya orang yang merelakan membaca buku daripada makan adalah seorang kutu buku. Tapi, menurut buku yang pernah aku baca, seorang kutu buku biasanya selalu menggunakan kacamata, sedangkan wanita itu tidak menggunakan kacamata. Tunggu, aku kan tidak menggunakan kacamata, dan aku seorang kutu buku. Jadi, tidak semua kutu buku selalu berkacamata, buktinya aku dan dia.
"Ternyata ada seorang pengujung."
"Eh?!" Entah dari mana Bu Julie sudah ada di sampingku, yang sedang duduk menjaga perpustakaan. "Bikin kaget saja."
"Benarkah?"
"Tentu saja bikin kaget."
"Bukan, ekspresimu yang awalnya mirip ikan mati, tapi tadi berubah menjadi ikan hidup. Ini sejarah baru."
"Oi oi, sebetulnya aku dianggap apa, sih? Dan kenapa semua orang bilang itu sejarah?"
"Dia cantik, ya?"
"Hah?"
"Dia cantik, ya!" teriak dia.
"Ini perpustakaan, Bu! Jangan teriak-teriak!" Entah kenapa aku ikut teriak. Karena kami melakukan hal itu, wanita yang duduk di sana hanya melihat kami kebingungan. Aku hanya bisa membalas tatapannya dengan senyuman malu. "Tuh Bu, gara-gara Ibu aku jadi malu nih."
"Benar..."
"Benar, dan ini adalah sejarah!"
"Hebat!"
"Hebat?"
"Tadi kamu marah."
"Aku tidak tahu, apa aku benar-benar dianggap manusia?"
(Saat jam pelajaran di mulai, di koridor)
"Ternyata aku memang orang aneh, ya? Atau mereka yang aneh?" gumamku berjalan menuju kelas. Saat di belokan, aku melihat ada seorang wanita berbaju olahraga sekolah sedang membawa keranjang yang berisi bola sepak yang banyak. Tiba-tiba di belakangnya ada seorang pria yang sedang berlari dan menabrak wanita itu.
"Maaf ya!" ucap pria itu. Lalu dia lari meninggalkan wanita itu yang sedang mengambil bola-bola yang jatuh.
"Dasar, tidak bertanggung jawab." Aku menghampiri wanita itu dan membantunya. "Kau baik-ba..." ucapku terhenti karena ternyata dia adalah wanita yang ada di perpustakaan. Dia tidak merespon apa-apapun, karena tidak mau berlama-lama lagi, dengan cepat aku membantu dia memasukan bola-bola itu ke dalam keranjang.
"Te...rima ka...sih," ucapnya terpatah-patah. Lalu dengan cepat dia pergi.
(Sore hari, di perpustakaan sekolah)
"Ini Nak Kiki." Bu Julie menyodorkan confetti yang cukup besar.
"Buat apa?" Kami berdiri di depan pintu.
"Untuk menyambut anggota baru pustakawan, dia seorang wanita kelas satu. Namanya Nisya Yuli."
"Begitu, ya."
Terdengar suara pintu terbuka. 'DORRR' Bu Julie sudah melepaskan confetti.
"Aku disambut dengan meriah!" Ternyata itu Waskito.
"Jangan salah sangka, kita mau menyambut anggota baru! Bukan kamu!" tegas Bu Julie.
"Maaf maaf, aku bercanda. Ini pesanan Bu Julie." Dia memberikan lima confetti kepada Bu Julie.
"Banyak sekali, padahal cuma satu orang yang akan jadi anggota."
"Siap ya, Nak Kiki." Waskito berdiri di sampingku dengan dua confetti di tangan. Cukup lama menunggu kedatangan anggota baru kami, mungkin sudah lima menit kami menunggu.
"Di mana orangnya? Lama banget?" keluh Waskito.
"Sabar, sebentar lagi pasti datang."
(Sepuluh menit kemudian)
"Ternyata belum datang," ucapku datar.
"Luar biasa!" kagum Waskito.
"Apanya?"
"Kau memulai pembicaraan!" jawab Bu Julie.
"Kurasa aku benar-benar dikelilingi orang-orang aneh."
Terdengar suara pintu terbuka.
"Maaf, aku tadi ada tugas dari gu..." Ternyata dia adalah wanita yang sebelumnya aku temui.
'DORR DORR DORR DORR' dengan serempak mereka melepaskan confetti, tapi aku tidak, karena aku terpana melihat dia. Tentu, dia juga.
"Selamat datang!" ucap mereka berdua semangat.
"I...ya." Dia masuk dengan langkah ragu-ragu.
"Perkenalkan, namaku Bu Julie."
"Aku Waskito."
"Sa...lam ke...nal," jawabnya patah-patah.
Aku masih menatapnya dengan perasaan aneh, entah kenapa. Waskito langsung memukul lenganku dengan sikutnya. "Oh, namaku Kiki Otaki!"
Dia hanya diam menundukkan kepalanya. "Baiklah Nak Nisya, kegiatan pustakawan ini akan dijelaskan oleh Nak Kiki. Tolong ya!" Dia pergi meninggalkan kami.
"Dasar, seenaknya saja."
"Oh ya Kiki, aku lupa, aku ada kegiatan di klub sepak bola. Saya pergi dulu."
"Tu..." Dia sudah pergi. Sekarang kami hanya berdua, berdiri di depan pintu dengan hening. Waktu terasa lama, suara detik jam terdengar jelas.
"Kak Ki...ki," ucapnya lembut, itu membuatku terlepas dari lamunanku.
"Pa-Panggil saja Kiki."
"Ta...pi aku kan adik kelasmu." Dia masih dalam keadaan menundukkan kepala.
"Baiklah, panggil saja Kak Iki. Enggak enak kalau pake Kiki."
"Ba...ik, Kak Iki. Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
Aku melihat jam perpustakaan, sudah menunjukkan pukul tiga sore. "Sepertinya kita mulai besok saja."
"Begitu ya, maaf kalau aku tadi terlambat."
"Enggak apa-apa, sebaiknya kita pulang. Biar kujelaskan di perjalanan pulang." Selama kami berbicara tadi, kami tidak saling menatap satu sama lain.
(Di perjalanan pulang)
Aku menjelaskan kegiatan pustakawan, dia terlihat sangat serius saat mendengarnya.
"Begitu, ya."
Sedari tadi aku merasakan hal yang aneh, entah kenapa rasanya aku gugup berbicara dengan wanita ini.
"Baiklah, saya duluan ya." Dia pergi menyebrang jalan.
(Di rumah, di ruang makan)
"Kiki!" teriak Kak Reza, karena melihatku melamun.
"Iya?!"
"Kau kenapa?"
"Ti...dak apa-apa kok."
"Bohong!"
"Bener..." ucapku terhenti karena melihat tatapannya yang mengerikan. "Hah... baiklah. Jadi begini...(menjelaskan kejadian di perpustakaan). Jadi begitu Kak, kira-kira aku kenapa ya?"
"Luar biasa!"
"Ya, aku berbicara panjang lebar! Tapi, bukan itu masalahnya!" kesalku.
"Hahahah! Maafkan Kakakmu ini, itu bagus!" Dia menunjukkan jempolnya lagi.
"Bisakah Kakak tidak melakukan hal itu?"
"Kenapa harus tidak melakukannya? Ini kan keren." Sekali lagi dia menunjukkan jempolnya.
"Itu menurut Kakak. Jadi kira-kira aku kenapa, Kak?"
"Kau sedang jatuh cinta!"
Aku langsung mengeluarkan minuman yang barusan aku minum. "Apaaa?!"
"Ya, kau sedang jatuh cinta. Kau sudah dewasa, bagus!" Dia melakukan pose yang aneh lagi.
"Bisakah Kakak menghentikan itu!"
"Tidak bisa! Ini adalah ciri khas seorang pria sejati!"
"Ciri khas pria apanya? Malah mirip pria yang kesetrum listrik berskala tinggi."
"Jadi, seperti apa dia?" Sekarang Kak Reza sudah menjadi normal kembali.
"Dia... (menjelaskan ciri-ciri Nisya)."
"Hmm, ternyata kau suka yang muda."
"Apa maksudnya?" Tapi dia membalas dengan jempolnya. "Benarkah dia Kakakku?"
(Di perpustakaan sekolah, jam istirahat)
Mulai sekarang aku tidak sendiri lagi menjaga perpustakaan, sekarang aku ditemani oleh seorang wanita yang menurut Kakakku membuatku jatuh cinta.
"Ka...k I...ki tidak makan?" tanyanya. Dia duduk di sampingku, jaraknya agak jauh.
"Ti...dak, bagaimana dengan kau?"
"Sa...ma." Kami masih tidak bisa saling menatap satu sama lain.
"K...au tidak bekal makanan?"
"Ti...dak, bagaimana dengan Kakak?"
"Sa...ma."
Detik jam perpustakaan terdengar jelas, ini membuktikan bahwa kami tidak berbicara lagi. Tentu saja, pertama, ini adalah perpustakaan. Dan kedua, kami tidak bisa mencari topik pembicaraan.
"Apa yang harus aku lakukan ya? Aku bingung?"
"Sebenarnya..." Kami serentak berbicara itu. "Kau dulu," ucapku. Kali ini kami saling menatap satu sama lain.
"Kak I...ki, ada yang ingin aku katakana." Setelah mendengar itu, jantungku terasa aneh, berdetak kencang. "Sebenarnya..." Dia menghentikan kalimatnya itu, karena menarik nafas. "Maukah... Kak Iki..." Jatungku terasa mau copot. "Menjadi temanku!" Setelah mengatakan itu, dia mempalingkan wajahnya.
"Boleh." Perasaan deg-deganku hilang.
"Benarkah?"
"Bener."
"Syukurlah, kukira Kakak tidak mau berteman denganku." Sekarang dia berani melihatku. "Lalu, Kakak mau mengatakan apa?"
"Sama sepertimu." Aku menggaruk kepalaku, walau tidak gatal.
"Kupikir Kakak mau menya..." Dia menghentikan kalimatnya.
"Apa?" Wajahnya langsung memerah.
"Bukan apa-apa!" Dia kembali menundukkan kepalanya.
Mungkin benar, aku sedang jatuh cinta. Tapi, aku tidak akan menembak dia sebelum mengenal dia. Seperti kata pepatah, "seperti air yang mengalir" kami akan berteman dulu, lalu mengenal satu sama lain lebih dalam, dan terakhir menjadikannya pacarku. Tapi masalahnya, apakah dia punya perasaan sepertiku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top