EPISODE KESEPULUH: SAHABAT
Setelah kejadian aku diterima oleh Nisya, kami jadi canggung. Entah kenapa, padahal saat pura-pura kami biasa saja, tapi kenapa sekarang kami menjadi canggung? Apakah karena kami sudah mengetahui perasaan kami masing-masing? Setiap kali aku bertemu dia atau menatap mukanya saja, secara spontan aku mempalingkan wajah.
"Kau tidak putus, kan?"
"Putus? Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Habis, dari kemarin kau dan Nisya tidak saling berbicara lagi. Memangnya kalian kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Baiklah. Oh ya Iki, bagaimana kalau besok kita main?"
"Ke mana?"
"Jalan-jalan, anggap saja sebagai pengganti yang waktu itu, dan penghibur untukmu."
"Baiklah, terima kasih, Sobat."
(Keesokan harinya, di dalam mall)
"Bagaimana kalau kita makan?"
"Iya," jawabku dengan wajah murung.
"Bagaimana kalau di sana saja, kelihatannya enak."
"Terserah."
"Iki..."
(Di tempat makan)
"Kau tidak memakan itu?"
"Tidak, aku tidak suka."
"Begitu ya. Kalau begitu biar aku yang makan."
"Siska?" ucap seorang wanita yang sudah berdiri di samping kami. "Apakah kau Siska?" Dia berbicara kepada Waskito.
"Bu...Bu...kan."
"Tapi kau..."
"Sudah kubilang bukan!"
Terjadi keheningan di antara mereka berdua, wanita itu berbaju putih dan hitam garis-garis, bercelana pendek selutut berwarna biru, rambut diikat kuda berwarna coklat, berkulit putih, dan tinggi mungkin sama seperti Waskito.
"Begitu, ya... maaf sepertinya aku salah orang." Lalu dia pergi begitu saja dengan wajah murung.
"Apakah kau mengenalnya?" tanyaku.
"Tidak."
"Benarkah? Kelihatannya..."
"Sudah kubilang tidak!" Dia memukul meja dan berdiri. "Maaf, Iki, sepertinya aku enggak enak badan. Aku mau pulang duluan." Dia pun pergi dengan wajah murung.
"Dia kenapa, ya?"
(Di rumah Kiki)
"Aku pulang."
"Selamat datang!" Kak Reza menghampiriku. "Sebaiknya kau bersikap baik, ya?"
"Memangnya kenapa?"
"Nanti kita akan kedatangan tamu, dan tamu ini sepesial."
"Siapa?"
"Pacarku."
"Hah?"
(Kemudian)
"Seperti apa ya pacar Kakak? Apakah dia normal? Ataukah dia tante-tante?" Kemudian terdengar suara pintu rumah terbuka. Datanglah Kak Reza bersama seorang wanita, dan ternyata dia...
"Kiki?"
"Kalian sudah saling kenal?" tanya Kak Reza.
"Iya, dia adik kelasku."
"Siapa ya?"
"Hei, Kiki!"
"Sudahlah, tidak apa-apa, wajar saja dia lupa. Kami baru bertemu sekali. Namaku, Yuni, Adik Pak Erik."
"Oh... Yuti."
"Kiki!"
"Sudah tidak apa-apa. Mungkin dia sedang bercanda."
"Maaf ya, aku tidak sedang bercanda."
"Baiklah, baguslah kalau kalian sudah saling mengenal. Walau adikku ini lupa."
"Kakak nyindir, ya?"
(Selesai makan)
"Kau yakin tidak mau ikut?" tanya Kak Reza.
"Iya, aku sedang tidak ingin ke luar."
"Baiklah kalau begitu, jaga rumah, ya." Mereka berdua pun pergi kencan. "Oh ya, kalau ada yang mau Kakak belikan, sms, ya."
"Baik." Kututup pintu. "Jadi, apa yang akan aku lakukan?" gumamku.
(Di kamar Kiki)
"Akhirnya selesai juga, tinggal dikirim." Aku berdiri dan menghampiri ranjangku, dan bersandar melepaskan rasa penat. "Kira-kira Nisya sedang apa, ya?" 'TING' ternyata itu pesan dari Nisya.
'Kai, sedang apa?'
'Menyelesaikan naskah novel.'
'Sudah beres?'
'Sudah, tinggal dikirim.'
'Kutunggu ceritanya.'
'Makasih. Kau sedang apa?'
'Mengerjakan tugas sekolah. Kai, aku mau minta maaf, tadi aku enggak menyapamu.'
'Tidak apa-apa.'
'Maaf ya, soalnya aku malu.'
'Enggak apa-apa, aku juga sama.'
'Tadi Kai sama Kak Waskito pergi ke mana?'
'Cuma jalan-jalan. Kenapa kau bisa tahu?'
'Tadi saat aku membeli bahan makanan, aku enggak sengaja melihat kalian. Maaf ya, enggak nyapa.'
'Enggak apa-apa.'
'Kai, sudah dulu, ya. Aku harus segera menyelesaikan tugasku.'
'Iya.' Setelah itu percakapan kami dari pesan sudah selesai. Walau kami canggung, tapi kami selalu berkomunikasi melalui sms.
"Jadi mau martabak." Lalu aku mengirim pesan kepada Kakak.
(Keesokan hari, di sekolah)
Saat sampai di kelas, aku melihat Waskito tidak seperti biasanya. Dulu dia selalu menyapaku dengan ceria, tapi sekarang dia hanya duduk melamun ke luar jendela.
"Waskito." Kucoba menyapa dia.
"Oh Iki, selamat pagi." Dia masih melihat ke luar jendela.
"Kau kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Begitu, ya." Lalu aku duduk di bangkuku.
Selama pelajaran dimulai, Waskito terlihat sangat murung, dia selalu melamun di saat guru menerangkan pelajaran, dan selalu mendapatkan teguran dari guru.
(Jam istirahat, di perpustakaan)
Kami tidak saling memandang satu sama lain, kami mempalingkan wajah kami, kalaupun melihat wajah, pasti di saat salah satu kami tidak memperhatikan. Intinya kami malu untuk bertatapan wajah.
"Ba...Bagaimana pelajarannya?" tanyaku.
"Se...perti biasa, K...ai."
"A...pakah ada masalah?"
"Ti...dak ada." Setelah itu kami kembali hening.
(Di perjalanan menuju rumah)
"Hei kau," ucap seorang wanita, ternyata dia adalah wanita yang sebelumnya menyapa Waskito di mall. "Kau temannya Siska?"
"Siska?"
"Maksudku, Waskito."
"Iya, ada apa?"
"Tidak, aku hanya ingin bertanya sesuatu kepadamu. Bagaimana dia di kelasnya?"
"Dulu dia ceria dan semangat. Tapi, saat dia bertemu denganmu, dia menjadi sebaliknya."
"Begitu ya, maaf kalau aku mengganggu."
"Maaf, tapi kenapa kau menyebutnya Siska?"
"Aku pernah bilang, kan? Aku salah orang." Dia hendak pergi, tapi kutahan.
"Kalau memang salah orang, kau tidak akan menghampiriku."
"Sebetulnya, dia itu dulunya wanita."
"Hah?"
"Iya, dia adalah wanita yang baik, periang, cantik, dan disukai di kalangan laki-laki di sekolah kami. Aku... Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri, namaku Gabriel."
"Kiki."
"Baiklah, aku lanjutkan. Aku adalah sahabatnya sejak kecil, kami selalu bersama. Suatu hari, Siska pindah rumah tanpa memberitahukan aku. Aku mencari tahu kenapa dia pindah, terus kucari dengan keringat yang banyak..."
"Ternyata kau itu seorang puitis."
"Aku bukan puitis, dan jangan memotong pembicaraan orang!"
"Maaf, aku mencoba menghibur."
"Kau orang yang aneh. Baiklah, akan kulanjutkan. Akhirnya aku mendapatkan sebuah informasi dari Bibinya, yaitu dia mengalami transgender alami."
"Maksudnya perbuahan kelamin secara alami?"
"Iya, begitulah ceritanya. Aku harap dia bisa memaafkanku, kemarin aku melakukan hal yang bodoh."
"Tenang saja, akan kusampaikan permintaan maaf darimu."
"Terima kasih."
(Di rumah Waskito)
"Saat aku terbangun dari tidurku, aku merasakan nyeri di sekitar "itu", aku dibawa ke rumah sakit. Aku disuntik dengan obat bius, dan saat aku bangun, "itu" aku sudah berubah menjadi milik laki-laki. Kedua orang tuaku sangat sedih, apalagi aku. Akhirnya kami pindah, dan merubah identitasku, supaya aku tidak dikucilkan. Silahkan kau tertawa!"
"Untuk apa?"
"Karena..."
"Aku tidak peduli dulunya kau apa, mau kau dulunya pencuri, atau pembunuh. Bukankah kau pernah mengatakan bahwa menjadi teman itu menerima apa adanya?"
"Iya, tapi aku kan dulunya wanita, dan sekarang laki-laki. Pasti semua orang tidak akan menerimaku, dan mengejekku."
"Memangnya apa masalahnya kalau kau dulunya wanita? Dan sekarang kau menjadi laki-laki? Kau tahu, temanmu yang bernama Galiel itu menyapamu kemarin, apakah kau tahu kenapa? Karena dia peduli, dan itulah artinya ada yang masih menerimamu apa adanya. Kalau ada yang mengejekmu, aku akan selalu menerimamu!" Dia hanya menundukkan kepalanya.
"Namanya Gabriel... Kau itu pemurung, tapi sekarang kau sudah berubah menjadi seorang pria yang baik. Sungguh sejarah yang luar biasa!" Dia kembali semangat.
"Itu baru Walkito yang aku kenal."
"Waskito!"
(Di rumah Kiki, kamar Kiki)
'Terima kasih ya, Sobat'
'Iya, sebaiknya kau minta maaf kepada Gariel.'
'Namanya Gabriel. Sudah, malahan dia akan datang ke rumahku besok sore.'
'Baguslah kalau begitu.'
'Apakah kau punya rencana, di liburan semester nanti?'
'Ada.'
'Apa?'
'Akan kuberi tahu kalau berhasil.'
'Oh... baiklah, semoga sukses.'
"Baiklah!" gumamku semangat. Lalu aku menelopon Nisya. "Nisya?"
"Iya?"
"Kau sedang apa?"
"Diam."
"Begitu ya. Nisya, nanti di liburan semester, kau ada rencana?"
"Aku dan keluargaku akan pergi ke rumah Kakek."
"Begitu ya..."
"Oh ya Kai, Ayah dan Ibuku mengajakmu dan Kakakmu untuk ikut nanti."
"Benarkah?"
"Iya, jadi... nanti kita..."
"Iya, akan kuusahakan untuk berbicara denganmu, dan menatap wajahmu."
"Kalau begitu aku juga sama."
"Baiklah, selamat malam."
"Selamat malam."
Kemudian aku membuat catatan untuk bahan pembicaraan nanti.
"Kiki, ini susunya." Lalu Kak Reza menaruh segelas susu di meja belajarku.
"Terima kasih, Kak."
"Kau sedang apa?"
"Menulis bahan pembicaraan nanti dengan Nisya."
"Hmm... begitu ya. Semoga sukses."
"Oh ya Kak, nanti pas liburan semester, keluarga Nisya mengajak kita untuk berlibur bersama."
"Bagus! Itu adalah waktu yang sangat tepat, tapi..."
"Tapi apa?"
"Aku sudah diundang oleh keluarga Yuni terlebih dahulu. Jadi kau sendiri, enggak apa-apa?"
"Begitu ya."
"Jangan bersedih begitu, lagipula dengan tidak adanya aku, kalian bisa berduan setiap waktu. Bagus, kan!?" Dia menunjukkan jempolnya yang khas.
"Itu baru Kakakku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top