EPISODE KESEMBILAN: PENGUNGKAPAN
Aku merasa tidak enak, aku berpura-pura berpacaran, tapi mirip dengan asli. Setelah aku berpikir dari siang sampai malam, dan selama aku bertemu dengan dia di sekolah, sampai kepikiran di rumah. Akhirnya aku memutuskan untuk menembak dia. Mungkin kalau dipikir-pikir mudah, tapi kenyataan tidak seindah dengan dunia khayalan. Mungkin di film-film, mereka dengan mudah menembak karena sesuai dengan skenario, tapi di dunia nyata, perasaan takut ditolak adalah permasalahannya.
"Baiklah, aku akan melakukannya!" gumamku semangat.
"Cepat habiskan sarapanmu, jangan melamun aja!" teriak kak Reza
"Baik, Kak!" Tiba-tiba kak Reza memegang dahiku.
"Ternyata kau panas, lebih baik kau tidak sekolah hari ini."
"Panas apanya?"
"Kau merasa sakit, tidak?"
"Enggak!"
"Atau kau sedang kerasukan roh jahat?"
"Kakak yang kerasukan roh jahat!"
(Di sekolah)
"Kemarin kau hebat, tak kusangka kau bisa bermain Baseball," kagum Waskito.
"Tidak, itu bukan apa-apa."
"Oh ya, kenapa kau menolak penawaran dari klub Baseball?"
"Kau tahu sendiri, kan? Aku tidak suka dengan banyak kegiatan."
"Begitu, ya... Tak kusangka kau bisa memutuskan untuk menantang mereka."
"Mau bagaimana lagi, itu juga demi menyelamatkan Nisya..." Lalu aku membayangkan senyuman Nisya.
"Kiki? Kau baik-baik saja?" Dia melambaikan tangannya di depan mataku.
"Baik-baik saja, memangnya kenapa?"
"Daritadi cara bicaramu sangat semangat, ada apa?"
"Bukan apa-apa." Tiba-tiba dia menarik lenganku. "Mau dibawa ke mana aku?"
"Ke ruang kesehatan, kau mungkin sedang demam."
"Aku baik-baik saja!"
(Di perpustakaan, jam istirahat)
"Kau baik-baik saja, nak Iki?" tanya bu Julie.
"Iya, aku baik-baik saja."
"Hmm... Sebaiknya saat pulang nanti kau langsung pulang ke rumah saja."
"Kenapa semua orang yang aku kenal mengatakan itu?"
"Dimana Nisya?"
"Eng..." Ponselku berdering. "Tunggu sebentar." Aku membuka HPku, dan ternyata itu pesan dari Nisya. "Maaf aku tidak bisa datang, ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Begitulah kata Nisya."
"Begitu ya, berarti kau jaga perpustakaan sendiri?"
"Enggak apa-apa, mungkin belum waktunya."
"Waktu apa?"
"Bukan apa-apa. Sebaiknya Ibu segera makan, nanti sa..." Pintu perpustakaan terbuka, ternyata itu Nisya.
"Kai, ini bekalnya. Maaf aku tidak bisa menemanimu," ucap Nisya.
"Iya... enggak apa-apa."
"Saat pulang sekolah, baru aku bisa menemanimu." Dengan cepat dia sudah ke luar.
"Aku jadi iri," ucap Bu Julie dengan nada antara sedih dan senang. "Dia memanggilmu Kai. Berarti kau sudah punya nama panggilan khusus untuknya?"
"Belum. Sudahlah bu, mungkin Ibu bisa membuatkan bekal untuk pak Erik."
"Ternyata, kau benar-benar sedang sakit!"
"Tidak!"
(Jam pulang, di perpustakaan)
"Bagaimana bekalnya?"
"Seperti biasa, enak."
"Begitu ya, syukurlah. Oh ya, Kakakku mengucapkan terima kasih, dan dia ingin membaca lanjutan ceritanya."
"Itu sudah tamat."
"Apa? Tapi ceritanya seperti ada lanjutannya?"
"Begitulah, mau bagaimana lagi? Kalau dilanjutkan, mungkin ada yang merasa bosan."
"Begitu, ya. Lalu, Kai akan menulis lagi?"
"Iya, tapi cerita lain."
"Baguslah, akan kuberitahu Kakak. Oh ya, Kakakku juga berpesan untuk menilai hasil ceritanya nanti, mau enggak, Kai?"
"Memangnya kapan?"
"Nanti, saat dia pulang ke sini."
"Akan kutunggu." Setelah itu kami tidak berbicara lagi, mungkin tidak tahu topik pembicaraan apa yang cocok saat ini. Dan pikiranku mengatakan untuk saatnya mengungkapkan perasaanku. "Nisya..."
"Iya?"
"Sebenarnya..."
"Halo kalian semua!" teriak Waskito saat membuka pintu. "Kalian ketahuan sedang bermesraan."
"Ternyata Kak Waskito, jangan bikin kaget dong!"
"Hehehe, maaf..."
"Kenapa harus datang di saat seperti ini?"
"Lalu, apa yang mau Kai katakan?"
"Nanti saja."
"Aku menganggu, ya? Aku akan segera pergi." Dia pun pergi.
"Dasar!"
"Kak Waskiot sudah pergi, jadi apa yang mau Kai katakan?"
"Hmmm.... Nisya, sebenarnya a..."
"Nak Kiki! Nak Nisya!" Tiba-tiba Bu Julie muncul dan berlari ke arah kami. "Gawat!" Dia memasang wajah serius.
"Gawat apa, Bu?!" tanya Nisya ikut gelisah.
"Pak Erik sedang berjalan dengan wanita lain!"
"Kupikir apa, ternyata tentang Pak Erik. Lalu, siapa wanita itu?" ucapku.
"Dia adalah murid kelas tiga!"
"Bisakah Ibu pelankan suaranya?"
"Tidak! Ini masalah dunia!"
"Itu masalah untuk Ibu saja."
"Mungkin itu hanya kebetulan saja," ucap Nisya berusaha meredakan kegelisahan Bu Julie.
"Tidak! Pasti dia sedang selingkuh!"
"Memangnya Ibu sudah pacaran dengannya?"
"Itu..." Ekspresinya berubah menjadi seperti terkena dehidrasi. "Belum."
"Kalau begitu, itu bukan selingkuh. Oh ya, kalau tidak sa..."
"Kalian ikut aku!" Dia menarik kami berdua.
(Di sekitar pertokoan)
"Lihat, mereka sedang selingkuh!" Kami sedang bersembunyi di gang, dan mengintai Pak Erik, dan seorang wanita yang katanya selingkuhannya, wanita itu berambut hitam terurai, berkulit putih, berseragam sekolah, dan tinggi mungkin sepantar dengan Nisya. Mereka sedang berjalan bersama, dan yang lebih bagus lagi, mereka bergandengan tangan. "Apakah kalian sudah pernah bergandengan tangan?" tanya Bu Julie tiba-tiba, dengan nada biasa.
"Belum," jawabku.
"Ck ck ck." Dia menggelengkan kepala. "Kenapa kalian belum pernah? Padahal kalian sudah paca..."
"Lihat Bu, mereka masuk ke sebuah restaurant," ucapku.
"Apa!? Ayo kita ikuti mereka!" Dia menarik kami lagi.
"Padahal tadi dia bisa tenang."
(Di dalam restaurant)
Kami duduk cukup jauh dari mereka. Terlihat mereka sedang berbincang, dan bercanda. Di sisi lain, Bu Julie selalu memasang wajah ingin memangsa.
"Mengerikan. Sudahlah Bu, jangan ter..."
"Tidak, Ibu harus mengintai pergerakannya," kesal dia, tapi dengan suara pelan. 'KRUKK' tiba-tiba wajah Bu Julie memerah.
"Hah... ternyata Ibu belum makan?"
"Tidak kok, Ibu su..." Tapi suara perutnya beda pendapat. Dia memegang perutnya dengan wajah memerah.
"Ibu jangan memaksakan diri, akan saya pesankan. Tenang saja, aku yang akan traktir."
"Tidak perlu Nisya, I..."
"Sudahlah Bu, ini kan kali-kali. Pelayan!"
(Selesai makan)
"Te-Terima kasih, Nak Nisya."
"Sama-sama."
"Maaf Bu, aku punya kabar buruk. Kita kehilangan target kita."
"APAAAA!?" Dengan cepat dia berlari ke luar restaurant.
"Untung saja bukan Bu Julie yang akan mentraktir."
"Hahaha, Kai ternyata bisa melawak."
"Itu bukan lawakan. Mungkin inilah saatnya. Nisya, sebenarnya... Aku mencintaimu! Eh? Di mana dia?"
"Ayo kita kejar Bu Julie, Kai." Dia ada di belakangku.
"Tadi kau ada di mana?"
"Tadi aku ke kasir, membayar makanan, memangnya kenapa?"
"Bu-Bukan apa-apa. Dasar."
"Ayo kalian berdua!" Tiba-tiba Bu Julie sudah ada di depan kami, dan menarik kami.
(Di dalam toko boneka)
Kami bersembunyi tidak jauh dari mereka. Mereka sedang memilih boneka beruang.
'TEKTEKTEKTEK' gigi Bu Julie tak berhenti bergetar. "Tenangkan dirimu, Bu," ucap Nisya mengusap pundak Bu Julie.
"Tidak bisa, bagaimana kalau dia membelikannya untuk dia? Bagaimana kalau dia membelikannya untuk dia? Bagaimana ka..." Terus Bu Julie mengatakan itu dengan giginya yang tidak berhenti-hentinya bergetar.
"Apakah Bu Julie benar-benar waras?"
"Sudahlah Bu..."
"Coba bayangkan, kalau itu adalah Nak Kiki! Bagaimana perasaanmu?!"
"Aku tidak a..." 'TEKTEKTEKTEK' tiba-tiba Nisya menggeretakan giginya. "Kenapa malah jadi ikutan?"
(Di taman bunga)
"Kenapa Nisya jadi ikut-ikutan gelisah begini? Apakah ini gara-gara Bu Julie?" ucapku melihat mereka berdua duduk menundukkan kepala dengan wajah muram. Oh ya, setelah itu Pak Erik membelikan boneka dan memberikannya kepada gadis itu. Lalu, membelikan baju, dan bunga. Dan di saat pemandangan itu terjadi, mereka berdua seperti kesakitan, entah kenapa mereka menjadi seperti itu. Tapi yang pasti, seharusnya Nisya tidak seperti ini.
"Kai, kau tidak akan berselingkuh, kan?" tanya Nisya dengan nada gelisah.
"Tentu saja tidak... karena... aku ini hanya..."
"Bu Julie, Kiki, Nisya, kenapa kalian ada di sini?" muncul Pak Erik dan gadis itu.
"Kenapa datang gangguan lagi?"
"Pak Erik?!" Bu Julie bangkit dari tempat duduknya dan berlari ke arahnya. "Dia siapa?" lanjutnya dengan nada kesal.
"Ini..."
"Lalu, kenapa tadi kau ada di toko boneka, terus tempat baju, terus tempat bunga?"
"Itu..."
"Cepat jelaskan!"
"Ini untuk Bu Julie," ucap gadis itu menyodorkan baju, dan bunga.
"Ehhh?!" kaget mereka berdua.
"Aku Adik Pak Erik, Yuni."
"Jadi... Dia Adikmu?"
"Benar, sebetulnya Kak Erik membelikan ini semua untuk Bu Julie, kecuali boneka ini."
"Tapi kenapa?"
"Selamat ulang tahun, Julie," ucap Pak Erik malu-malu.
"Oh iya, sekarang ulang tahunnya Bu Julie, kenapa aku bisa lupa ya?" ucap Nisya.
"Tenang saja, yang lupa bukan kamu saja," ucapku datar.
"Te-Terima ka...sih."
"Sa...Sa...Sama-sama." Pak Erik menggaruk kepala dan menundukkan kepala.
"Baiklah, sebaiknya kita pulang. Ayo, Bu Julie." Mereka bertiga pergi meninggalkan kami.
"Oh ya, aku baru ingat. Waskito pernah bilang, kalau Pak Erik itu punya Adik. Ternyata dia."
"Kenapa Kai tidak mengatakannya tadi?"
"Tadi aku kan lupa."
"Tapi, syukurlah. Dengan ini Bu Julie tidak akan marah-marah lagi."
"Begitulah, sebaiknya kita juga pulang."
"Iya." Nisya berbalik arah.
"Nisya, ada yang perlu saya katakana." Dia berbalik kembali. "Sebenarnya... aku..." Ponselku bordering. "Maaf. Halo?"
"Iki, gawat! Wartawannya sudah kemari, sebaiknya kau cepat pulang!"
"Baiklah, Kak."
"Sebaiknya kau cepat pulang."
"Iya Maaf Nisya, aku duluan." Aku berbalik arah dan berjalan, tapi aku berhenti dan berbalik lagi. "Nisya, sebenarnya aku benar-benar mencintaimu!" Lalu aku berlari.
Aku terus berlari, sempat aku melihat dia, dia sedang berdiri kebingungan, mungkin bingung dengan ucapanku yang tadi. Tapi rasanya sangat lega bisa mengatakannya, dan paling penting aku tidak seperti film-film yang mau nembak, tapi tidak jadi gara-gara ada gangguan, terutama dari telepon. Mungkin ada manfaatnya aku nonton film.
(Di kamar Kiki)
'Kai, apakah kau benar-benar mencintaiku?'
'Iya, sungguh! Jadi maukah kau jadi pacarku yang sesungguhnya?'
'Aku malu...'
'Aku juga malu mengungkapkannya tadi.'
'Iya.'
'Bener?'
'Iya, aku juga suka sama Kai. Dari hatiku yang sebenarnya, jadi kita tidak perlu pura-pura lagi.'
"HOREEE!"
"Iki! Jangan berisik!"
"Maaf!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top