EPISODE KELIMA: DIANDALKAN

Diandalkan, orang-orang yang selalu membantu pasti selalu diandalkan. Mungkin bisa dibilang mirip dengan sifat tergantung. Coba pikir, kalau orang itu selalu diandalkan, mungkin orang itu awalnya akan senang, tapi lambat laun akan kesal. Kenapa? Karena kalau orang selalu menyuruhmu ini dan itu, kau pasti akan merasakan kelelahan. Memang, awalnya kau bisa membanggakan diri, tapi itu hanya sementara. Sumber, aku.

"Mau sampai kapan kau beristirahat?" tanya kakakku.

"Entahlah, aku hanya ingin merasakan ketenangan," balasku.

"Boleh saja kau merasa tenang, tapi "mereka" sudah seperti sapi mengamuk."

"Aku sudah selesai makan." Aku berdiri dan pergi ke kamar.

"Dia tidak tahu, ya?" gumam Kak Reza.

(Di sekolah, di kelas sebelum jam masuk)

"Kiki, bagaimana kencan kalian?" tanya Waskito dengan nada menyindir.

"Itu bukan kencan."

"Jangan malu-malu begitu, tidak perlu disembunyikan lagi."

"Terserah kau mau menyebutnya apa."

"Akan kuanggap jawabannya adalah menyenangkan."

"Boleh."

"Ternyata benar."

"Terserah."

(Di perpustakaan, jam istirahat)

"Ibu mengandalkanmu." Bu Julie menepuk punggungku berkali-kali, dengan pelan.

"Baiklah." Lalu dia pergi. "Dasar." Aku mulai menyimpan buku-buku itu kembali, yang sebelumnya berserakan. "Bisakah mereka tidak merepotkanku?" keluhku, yang tertuju kepada pengunjung perpustakaan ini.

"Kak Iki, sini saya bantu." Entah sejak kapan dia sudah ada di sampingku.

"Terima kasih."

(Kemudian)

"Akhirnya selesai juga," ucap Nisya.

"Ya, terima kasih, ya."

"Bukan apa-apa, itu sudah menjadi tugas pustakawan." Dia memberiku sebuah senyuman yang manis.

"I...ya."

"Ngomong-ngomong, kenapa mereka belum datang, ya?"

"Tung..." Belum menyelesaikan kalimatku, mereka sudah berdatangan. Lalu kami kembali ke pos kami. "Kuharap mereka tidak melakukan hal yang merepotkan lagi," ucapku dalam mode Nin. Karena merasa sedikit kesal, aku berkeliling perpustakaan ini, sambil melihat orang-orang yang mungkin selalu membuatku kerepotan.

"Kakak... bisakah Kakak membantuku?" ucap seorang wanita, mungkin kelas satu. Dia sedang berdiri di depan rak buku. "Tolong ambilkan buku itu." Dia menunjuk ke buku yang ada di atas, walau tidak terlalu tinggi.

"Baiklah." Karena tinggiku, tanpa bantuan tangga aku bisa mengambilnya. "Ini."

"Terima kasih, Kak." Lalu dengan wajah tersenyum dia pergi.

"Kak Iki, tolong ambilkan buku itu."

"Dia sebenarnya apa sih? Sudah ada di belakangku lagi, dan aku tidak menyadarinya. Baiklah." Aku mengambil buku itu. "Ini."

"Terima kasih." Lalu dia pergi dengan wajah tersenyum, seperti wanita yang barusan.

"..."

(Di ruangan laboratorium)

"Maaf ya merepotkanmu," ucap Pak Chris. Dia guru IPA Fisika.

"Tidak masalah." Aku menyimpan gelas tabung percobaan ke raknya.

(Di ruangan BK)

"Maaf ya merepotkanmu," ucap Bu Siti, dia guru BK.

"Tidak apa-apa," ucapku menyusun kertas identitas murid-murid.

(Di ruangan olahraga)

"Maaf ya merepotkanmu," ucap Pak Erik.

"Tidak apa-apa." Aku menyimpan kembali bola-bola itu ke keranjangnya.

(Di kelas, selesai sekolah)

"Kau tidak ke perpustakaan?" tanya Waskito melihatku menempelkan kepalaku ke meja.

"Aku masih capek."

"Memang sih, kau itu selalu disuruh oleh guru-guru. Kau itu benar-benar diandalkan, padahal kau bukan murid yang seperti itu."

"Aku juga bingung."

"Baiklah, aku harus segera pulang. Maaf ya, aku tidak bisa menemanimu."

"Tidak apa." Aku masih menempelkan kepala ke meja.

"Tapi jangan bersedih, nanti saat di perpustakaan, kau akan bertemu dengan kekasih tercintamu." Setelah mengatakan hal itu, dia berlari ke luar dengan cepat.

"Udah tahu aku masih capek, kenapa malah lari?" Setelah itu aku berdiri dengan malas.

(Di perjalanan menuju perpustakaan)
"Iki, tolong kemari," ucap Pak Ridwan. Dia guru bahasa Inggris.

"Ada apa, Pak?"

"Tolong simpan buku ini ke perpustakaan." Dia menyerahkan lima buku paket Inggris.

"Baik." Lalu aku pergi. "Guru-guru di sini sepertinya sangat menyukaiku, ya?"

(Di perpustakaan)

"Terima kasih, Nisya, kau sudah membantuku."

"Ini bukan apa-apa, kok."

"Di mana Bu Julie?"

"Katanya sih dia sedang ingin pergi ken...can."

"Begitu, ya."

"Oh ya Kak, sebaiknya kita segera pulang. Sudah sore."

"Oke."

(Di perjalanan pulang)

"Jadi begitu, ya," ucap Nisya setelah aku menjelaskan siapa Alex itu, dan kenapa aku bisa lupa. "Syukurlah kalau Kakak bisa mengingatnya."

"Ya."

"Ada apa, Kak?" tanyanya, karena aku tiba-tiba berhenti.

"Bukan apa-apa." Aku membuka HPku.

"Kakak sedang apa?"

"Sedang mengirim pesan ke Kakakku." Lalu aku menyimpan kembali HPku ke dalam saku celana. "Nisya, bolehkah aku menginap di rumahmu?"

"Eh?! Kenapa tiba-tiba?"

"Aku mohon."

"Bo..."

"Bagus." Dengan cepat aku menarik lengannya, dan pergi ke rumahnya.

(Di depan pintu rumah Nisya)

"Kakak, sebetulnya ada apa?"

"A...ku baru ingat kalau Kakak Reza akan kedatangan tamu. Karena aku ini tidak suka dengan banyak orang, aku memilih untuk tidak ke rumahku untuk sementara waktu."

"Tapi, di rumahku juga banyak orangnya."

"Enggak apa-apa, mereka bukan orang asing, kan?"

"Tapi bagi Kakak, mereka itu orang asing."

"Tidak apa-apa."

"Ba-Baiklah." Dia membuka pintu. "Aku pulang."

Muncullah seorang wanita berbaju pink dengan rok putih selutut, berambut pendek pirang, berkulit putih, berbadan ideal, tinggi mungkin sama seperti Nisya, dan berwajah hampir mirip dengan Nisya. "Selamat da..." Dia menghentikan kalimatnya karena melihatku. "Ada tamu ya, selamat datang!" Dengan girangnya dia menghampiriku. "Aku Ibunya Nisya, kau boleh memanggilku Ibu," ucapnya dengan girang.

"Eh?!" kagetku.

"Ibu!"

"Heheheh, hanya bercanda. Tapi kalau kau ingin memanggilku Ibu, aku akan dengan senang hati memanggilmu... siapa namamu?"

"Kiki Otaki."

"Aku akan memanggilmu Nak Iki," ucapnya dengan wajah tersenyum.

"Ibuuu!"

"Ayo masuk." Dengan cepat dia menarikku ke dalam. "Ayah, kita kedatangan tamu," ucapnya kepada seorang pria yang sedang duduk sambil membaca koran.

"Ta..." Dia melepaskan pandangannya dari koran dan melihatku, tapi reaksinya sama seperti Ibu Nisya. "Selamat datang, silahkan duduk..."

"Nak Iki," ucap Ibu Nisya.

"Nak Iki, silahkan duduk." Lalu aku duduk dengan dipandu oleh Ibu Nisya. "Ibu, ambilkan minuman yang segar, untuk menghilangkan rasa hausnya." Oh iya, dia adalah pria berbaju kaos abu-abu kebiruan, celana hitam kebiruan, berambut hitam bercampur putih pendek, berkulit putih kecoklatan, tinggi mungkin sama sepertiku, dan berwajah ceria walau kesan awalnya mirip pria tegas.

"Ini dia minumannya."

"Ayah! Ibu!" teriak Nisya.

"Jadi kau Kakak kelas Nisya, ya?" ucap Ayah Nisya. Sekarang mereka sudah bisa kembali normal, setelah Nisya menjelaskan siapa saya.

"Iya, maaf aku merepotkan kalian. Tapi, bolehkah aku menginap di sini, hanya untuk hari ini saja?"

"Boleh, iya kan Ibu?"

"Iya, kau benar Ayah."

"Terima kasih banyak."

"Baiklah, sekarang sebaiknya kau makan dulu. Oh ya, sebelumnya sebaiknya kau mandi dulu. Nisya tolong antar."

(Selesai mandi, di ruang makan rumah Nisya)

"Jadi Nak Iki, bagaimana kau bisa mengenal Nisya, anak kami?" tanya Ibu Nisya.

"Panjang ceritanya, Bi..."

"Panggil saya Ibu."

"Ya, Ibu."

"Sudah ceritakan saja, panggil saya Ayah."

"Hmm... kami mengikuti eskul yang sama."

"Eskul apa?"

"Pustakawan."

"Ayah, tidak salah lagi!" ucap Ibu Nisya mendadak.

"Ya, kau benar Ibu!" Setelah itu mereka berdua pergi entah kemana.

"Apakah mereka selalu begitu?" bingungku.

"Eh? Di mana Ayah dan Ibu?" tanya Nisya.

"Entahlah, tadi aku melihat mereka berlari ke atas."

"Hmm, ini dia makanannya." Dia menyimpan makanan yang sudah dia masak. "Aku akan memanggil Ayah dan Ibu dulu, Kakak boleh makan duluan." Lalu dia pergi.

"Walau mereka seperti itu, lebih baik menghadapi keluarga ini dibanding "mereka"."

"Maaf Kak, sepertinya mereka sudah tidur." Dia muncul setelah aku menunggu cukup lama. "Ini baju ganti untuk Kakak."

"Terima kasih, maaf aku merepotkanmu. Aku akan mengganti bajunya sekarang." Aku kembali ke kamar mandi.

(Kemudian)

Pada akhirnya, kami hanya makan berdua. Entah kenapa, kami terasa canggung saat makan, atau hanya aku saja yang canggung. Setelah selesai berganti baju, kami tidak saling berbicara. Mungkin wajar kalau canggung, karena makan dengan orang yang belum lama kenal, terus menginap di rumahnya lagi. Tapi, waktu SMP dulu aku tidak secanggung ini. Apakah ini yang namanya proses kedewasaan? Tunggu! Kenapa malah ke proses kedewasaan? Mungkin tepatnya, makan bersama dengan orang yang disukai.

"Kak... Kak Iki," ucap Nisya setelah selesai makan.

"Iya?"

"Bu...Bukan apa-apa."

"Begitu, ya." Kami saling mempalingkan wajah.

"Ku-Kuantar ke kamar sekarang." Kami pun pergi. "I-Ini kamarnya." Kamarnya cukup luas, ada TV, beberapa buku yang tersimpan di raknya, beranda, dan ranjang yang cukup besar. "Ini kamar Kakak saya, sekarang dia sedang pergi ke luar negeri untuk bekerja."

"Terima kasih."

"I-Iya." Lalu aku masuk ke dalam, melihat beberapai buku yang tertempel di rak.

"Oh, ini, kan?" Aku mengambil salah satu buku.

"Oh itu, Kakak suka dengan novel itu. Tapi sayangnya, ceritanya masih buntu."

"Kau sudah membacanya?"

"Iya, ceritanya lumayan seru."

"Begitu, ya."

"Kalau mau, Kak Iki boleh meminjamnya."

"Tidak usah." Aku menyimpan buku itu kembali. "Apakah kau benar-benar suka ceritanya?"

"Iya, aku tidak sabar untuk menunggu kelanjutannya."

"Sepertinya tidak akan datang," gumamku.

"Kakak mengatakan sesuatu?"

"Tidak, bukan apa-apa. Sebaiknya kau segera tidur, besok kau tidak boleh terlambat sekolah."

"Kakak benar, sebaiknya Kakak juga segera tidur. Selamat malam."

"Ya, selamat malam." Lalu dia pergi. 'NGIKKK NGIKK' Hpku berdering. "Halo, bagaimana, Kak?"

"Para wartawan itu sudah pergi, kau benar-benar akan tidur di sana?"

"Iya, maaf merepotkan Kakak lagi."

"Kalau kau tidak ingin merepotkan Kakakmu ini, cepat lanjutkan ceritanya!"

"Maaf Kak, sepertinya aku tidak bisa."

"Kau ini, jangan terlalu dipikirkan. Belum tentu semuanya seperti itu."

"Maaf Kak, aku harus segera tidur."
"Tung..." Aku langsung menutup teleponnya. Aku berjalan menuju ranjang, dan membaringkan tubuh ini. "Apakah benar-benar bisa berguna?"

Alfa, itu adalah nama penaku. Iya, aku adalah seorang pengarang novel. Sudah cukup lama aku membuat novel, mungkin sudah empat buku yang sudah diterbitkan. Tapi belakangan ini aku berpikir, apakah ini bisa berguna? Semua novelku ini, apakah mereka berguna? Aku berpikir kalau aku membuat cerita novel hanya untuk menyenangkan orang-orang, tapi lambat laun aku menyadari satu hal. Kesenangan orang-orang hanya kesenangan, tidak bermanfaat. Apakah mungkin novelku ini bisa memberi pelajaran untuk orang-orang? Karena alasan itulah aku berhenti menulis novel.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top