EPISODE KEENAM: MANFAAT

Flashback ON

"Akhirnya selesai!" ucapku semangat.

"Tinggal dikirim, kan?" tanya Kak Reza.

"Iya, aku tidak sabar lagi!" Dengan cepat aku pergi ke kantor pos, untuk mengirim naskah novel ke penerbit.

(Sebulan kemudian)

"Berhasil! Aku berhasil, Kak!"

"Bagus! Semoga kau menjadi penulis novel yang terkenal!"

"Iya, tolong doa kan, Kak."

"Siap!" Dia memberiku sebuah jempolan yang khas.

(Di tempat wawancara)

"Jadi, kapan kelanjutannya akan tiba?" tanya sang wartawan.

"Bulan depan!" jawabku semangat.

"Wahhh! Cepat juga."

"Iya, karena aku tidak ingin mengecewakan para pembaca!"

"Apa yang ingin kau sampaikan kepada para pembaca?"

"Jangan lewatkan ceritaku!" Aku langsung mengangkat jempolku.

(Di tempat tanda tangan fans)

"Terima kasih sudah membeli," ucapku, setelah selesai menandatangani buku novelku.

"Apakah ini mimipi?" ucap pria di depanku.

"Ini mimipi terindahmu. Terima kasih sudah membeli bukuku." Lalu aku menyerahkan buku miliknya yang sudah kutanda tangani.

(Di sekolah)

"Hei Rio, kau sudah mengerjakan PR belum?" tanyaku.

"Belum," jawabnya datar, karena perhatiannya sedang melihat buku novel buatanku.

"Hmm, ayo kita kerjakan, pelajarannya kan sudah selesai istirahat."

"Nanti saja."

"Baiklah." Lalu aku pergi ke bangkuku untuk mengerjakan PRku.

(Dua bulan kemudian, di sekolah)

"Rio! Kau lupa mengerjakan PRmu lagi?" tegur Pak Andi.

"Maaf Pak, aku lupa..." jawabnya dengan menundukkan kepala.

"Lupa?! Itu terus alasannya, sekarang kau harus berdiri di luar kelas!"

(Saat istirahat)

"Rio, nanti kita kerjakan PR bareng, yuk!" ajakku.

"Hmm, maaf Ki, aku ada urusan." Perhatiannya masih ke novel yang baru aku terbitkan lagi.

"Jangan baca novel terus, nanti di rumah kamu masih bisa baca, kan?"

"Nanggung nih!" kesalnya.

(Dua bulan kemudian)

"Kalian berdiri di luar!" marah Bu Desy, karena Rio dan teman-teman lain lupa mengerjakan PR.

(Saat istirahat)

"Ternyata dia mati," ucap Rio kepada Meni.

"Iya, enggak disangka. Padahal dia tokoh favoritku," jawab Meni.

"Tak kusangka ceritanya jadi sedih kaya gini. Penulis cerita ini sungguh luar biasa!" ucap Jeki dengan semangat.

Aku hanya bisa duduk diam melihat mereka, kalau saja mereka tahu kalau aku yang menulis buku itu, mungkin sekarang aku akan dikerumbuni mereka. Senang bercampur sedih, karena melihat mereka mengaggumi bukuku, tapi mereka sering jadi lupa dengan PR mereka.

(Dua bulan kemudian)

Aku sudah menerbitkan empat buku, dan aku berhenti dulu karena nanti aku akan mengikuti ujian kenaikan kelas. Tapi masih sebelumnya, Rio dan teman-temanku yang lain masih terlalu fokus dengan novelku. Sebetulnya aku merasa senang, setiap kali mereka mengagumi ceritaku. Tapi, kesenangaanku tidak sebanding dengan rasa kecewaku, karena bukuku membuat mereka melupakan hal yang penting, yaitu belajar.

"Ayo kita belajar bersama di rumahku," ajakku kepada Rio, Jeki, Meni, dan Tio.

"Buat apa belajar sekarang? Masih lama kan ujian kenaikan kelasnya?" jawab Jeki.

"Iya, tenang aja Ki, kami masih bisa mengurus kami sendiri, iya kan teman-teman?" ucap Rio.

"Hm!" jawab mereka serempak.

"Be...Begitu ya, baiklah aku pulang duluan."

(Di rumah)

"Kak, aku akan berhenti menjadi penulis!" ucapku lantang.

"Tentu saja, karena kau ada ujian na..."

"Untuk selama-lamanya!" tegasku.

"Kenapa tiba-tiba?" kaget kak Reza.

"Karena novelku yang membuat teman-temanku berubah!"

"Apa maksudmu? (aku menjelaskan apa yang terjadi kepada teman-temanku) Begitu ya, tapi..."

"Keputusanku sudah bulat!" Lalu aku pergi ke kamar.

Flashback OFF

Itulah alasanku, kenapa aku menghentikan novelku, kenapa aku menjadi pemurung, kenapa aku tidak terlalu suka dengan keegoisan. Sungguh hal yang aneh, awalnya aku berniat untuk membuat para pembaca senang, malah menjadi dampak yang cukup buruk.

"Kak Iki, cepat bangun! Nanti kita telat!" Nisya mengguncang badanku.

"Iya..." Aku menggosokkan kedua mataku.

"Ayo!" Lalu dengan cepat Nisya menarik lenganku.

(Di ruang makan)

"Bagaimana tidurnya, Nak Iki?" tanya Ibu Nisya, setelah selesai makan.

"Nyenyak, terima kasih banyak," jawabku.

"Kau rendah hati. Cocok sekali dengan Nisya," ucap Ayah Nisya.

"Ayah!" tegas Nisya.

"Iya, dia benar-benar cocok sekali dengan Nisya," ucap Ibunya.

"Ibu!"

"Nah, Nak Iki... Kau tidak apa-apa?" tanya Ayah Nisya, karena melihatku sedang melamun.

"Eh?! Tidak apa-apa kok, hanya sedikit mengantuk. Tadi kalian mengatakan apa?"

"Kalian mungkin akan telat kalau berdiam diri saja."

"Oh ya! Ayo, Kak Iki!" Sekali lagi Nisya menarik lenganku dengan cepat.

(Di sekolah, menuju kelas)

"Baiklah, saya duluan, Kak."

"Tunggu!" Dia berhenti menuju kelas. "Nanti sampaikan rasa terima kasihku kepada Ayah dan Ibumu, ya."

"Iya!" Lalu dia masuk kelas.

Selama di perjalanan menuju kelasku, aku selalu memikirkan tentang teman-temanku yang menjadi buruk karena novelku. Entah bagaimana nasib mereka, karena setelah kejadiaan itu aku tidak lagi berbicara dengan mereka sekalipun, dan di saat itulah aku menjadi pemurung. Tak terasa aku sudah sampai lagi di kelasku, aku masuk dan duduk di bangkuku.

"Selamat pagi, Kiki!" sapa Waskito semangat. Dia sudah ada di depanku.

"Selamat pagi," jawabku.

"Kau kenapa?"

"Tidak apa-apa."

"Hmm, memang sih, kau ini pemurung. Tapi, kali ini murunganmu berbeda."

"Tidak apa-apa, kok."

"Baiklah, kemarin ada apa di rumahmu?"

"Memangnya kenapa?"

"Kemarin aku tidak sengaja melewati rumahmu, dan di sana banyak wartawan. Memangnya ada apa?"

"Mungkin Kakakku melakukan hal gila lagi."

"Mungkin? Kok malah mungkin?"

"Tentu saja, karena aku tidak ada di sana. Kemarin aku menginap di rumah Nisya. Aduh, aku kecceplosan."

"Apa!? Di rumah Nisya?! Kau tidak apa-apakan dia, kan?"

"Tentu saja tidak!"

"Keren."

"Apanya yang keren!?"

"Kau marah."

"Dan itu sejarah, kan?"

"Benar sekali." Dia tersenyuman.

"Sebetulnya dia kagum, atau ngejek?"

"Hei, kamu suka tokoh yang mana?" ucap seorang siswa yang duduk di depan kananku, sambil menunjukkan sebuah buku kepada temannya.

"Tentu saja tokoh utamanya," jawab temannya.

"Aku juga sama, tapi mau sampai kapan, ya? Kita menunggu kelanjutannya?"

"Entahlah, mungkin penulisnya sedang mendapatkan masalah?"

"Oh ya Kiki, bagaimana menurutmu tentang buku yang sedang mereka bicarakan?" tanya Waskito tiba-tiba.

"Entahlah, kalau menurutmu?"

"Kerennnn! Ceritanya sungguh menegangkan, banyak sekali cerita yang tidak terduga. Aku sudah membeli semua edisinya!"

"Sebaiknya kau hentikan itu."

"Kenapa?"

"Karena buku itu bisa merubahmu."

"Kenapa kau mengatakan hal itu?"

"Karena buku itu bisa membuatmu melupakan hal yang penting dalam hidupmu!"

"Keren!"

"Apanya yang keren?!"

"Kau berbicara panjang lebar, dan itu adalah keluhan. Aku tidak tahu kenapa kamu mengatakan hal itu, tapi tidak buruk kalau berubah, kan?"

"Tentu saja buruk!"

"Mungkin kalau dari yang baik menjadi jahat, itu memang buruk. Tapi kalau sebaliknya?"

"Apa maksudmu?"

"Kau tahu? Dulu aku tidak seperti ini, aku selalu menjadi anak yang pemurung dan bisa dibilang aku ini benci dengan dunia ini. Tapi, karena buku ini, aku merasakan bahagia, kesenangan. Karena buku ini juga, aku bisa dekat dengan teman-temanku."

Flashback ON (Waskito)

"Hei Waskito, kau sedang baca apa?"

"Novel."

"Oh ternyata kau suka dengan novel itu. Ceritanya bagus, kan?"

"Iya."

"Itu belum seberapa, coba kau baca lanjutannya. Oh ya, kalau kau tidak punya, aku bisa meminjamkannya."

Flashback OFF (Waskito)

"Sejak saat itu, aku berhasil mendapatkan satu teman. Lama kelamaan temanku bertambah satu persatu. Itu semua karena buku itu. Mungkin kau tidak menganggapnya begitu, tapi menurutku itu karena buku ini. Aku sangat ingin berterima kasih kepada penulis buku ini." Dia melihat buku buatanku. Aku hanya bisa diam seribu bahasa, entah apa yang harus aku katakan lagi.

(Pulang sekolah, di perjalanan)

"Kiki!" teriak seorang pria berbaju jas hitam dan putih, bercelana hitam, berkulit putih, dan berambut coklat pendek. Dia menghampiriku. "Sudah lama kita tidak bertemu."

"Kau siapa?"

"Ternyata benar-benar lupa, ya? Wajar saja sih, karena kita tidak pernah bicara lagi. Aku Rio, kau ingat?"

"Rio... kau Rio teman SMPku, kan?"

"Iya, ternyata kau mengingatnya. Bagaimana kabarmu?"

"Baik-baik saja."

"Oh... maaf ya Kiki, aku tinggal dulu. Ada wawancara..."

"Wawancara?"

"Iya, wawancara untuk komikku. Sekarang aku menjadi pembuat komik. Sampai jumpa!"

(Di rumah Kiki)

"Ini apa?" tanyaku.

"Itu adalah majalah wawancara temanmu," jelas kak Reza.

"Siapa?"

"Rio, dia sudah menjadi pembuat komik. Coba kau baca itu."

Aku membaca majalah itu, ternyata benar, itu adalah isi wawancara dengan temanku, Rio.

"Aku mendapatkan inspirasi dari sebuah novel yang selalu aku baca dengan teman-temanku, ceritanya sungguh luar biasa, walau karena novel itu aku selalu mendapatkan nilai buruk dan selalu melupakan PR. Tapi, bukan hanya karena novel itu saja aku bisa menjadi seperti ini, semua ini juga karena temanku yang bernama Kiki. Dia selalu memperhatikanku, kadang-kadang dia selalu menegurku karena selalu membaca novel ini, awalnya aku kesal, tapi lama-kelamaan aku sadar kalau dia melakukannya karena untuk kebaikanku. Sejak saat itu, dia menjadi pemurung, dia tidak pernah berbicara denganku lagi. Mungkin dia marah, maka dari itu, aku membuat komik yang mungkin bisa membuat dia senang. Awalnya aku ingin memberikan novel yang selalu aku baca, tapi menurut dia, dia lebih suka komik dibanding novel. Jadi, mulai sejak itu, aku membuat komik yang bertujuan untuk membuat yang membacanya senang. Kalau teman baikku, Kiki, membaca isi wawancaraku ini. Aku hanya ingin mengatakan satu hal, terima kasih banyak."

"Bagaimana?" tanya Kak Reza.

"Dasar," jawabku datar.

(Dua hari kemudian, di sekolah)

"Ini." Aku memberikan sebuah novel lanjutannya.

"Kenapa kau bisa memiliki buku kelanjutannya?" bingung Wakito. "Padahal belum ada beritanya? Jangan-jangan kau itu..."

"Sssttt, terima kasih kembali."

Bukan hanya Waskito, aku juga mengirim satu kepada temanku, Rio. Aku memutuskan untuk menjadi penulis kembali, dan semua itu gara-gara teman-temanku yang menyusahkan ini. Sekarang aku belajar suatu hal, manfaat baik, atau dampak buruk. Menurutku, semua hal yang kita lakukan memiliki manfaat dan tidak. Ada yang memiliki manfaat yang banyak, ada yang menjadi dampak buruk. Atau, setengah manfaat. Yang kulakukan ini adalah setengahnya, memang ada dampak buruknya, tapi manfaatnya tidak buruk juga.

(Di perpustakaan, setelah selesai sekolah)

"Jadi sebenarnya Kakak ini penulis?" tanya Nisya.

"Jangan bilang siapa-siapa, ya?"

"Baiklah, lagipula kalau murid-murid di sini tahu kalau Kakak penulis yang cukup terkenal. Pasti hidup Kakak tidak akan tenang."

"Begitulah, jangan lupa dibaca novel dariku."

"Tentu saja, aku dan Kakakku pasti akan membacanya. Terima kasih banyak, Kak Iki." Aku memberikan dua buku untuk dia dan Kakaknya. "Kak Iki, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."

"Apa?" Dia memberiku sebuah isyarat untuk mendekati dia. Dengan rasa malu, aku mendekati dia. Dia membisikannya dengan ragu-ragu. "Apa!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top