Bunga Bakung, Hujan Besi, dan Ulang Tahun



昭和19年 10月 12日
12 OKTOBER 1944


UMINAI-GAMI MERAJUT TAKDIR. Di antara jalinan rumit yang megah itu, manusia hanyalah seutas benang. Laut adalah rahim yang melahirkan kami, mendekap sekeliling pulau tempat tinggal kami ini seperti pelukan seorang ibu. Namun, sekarang aku bertanya-tanya.

Kenapa buah tenunan sang dewi justru menciptakan kesesakan, dan lautan sekarang justru melahirkan kengerian bagi kami?

Pikiran ini pertama kali timbul sewaktu dalam perjalanan pulang dari pangkalan militer di Shikina. Aku dan teman-temanku berbaris melintasi tanah berdebu dan bukit-bukit berkubu. Waktu itu kami semua enggan berbicara karena kelelahan, sehingga yang terdengar hanya ritme langkah dan dentingan bilah-bilah cangkul di pundak kami.

Akhirnya, kami memasuki Distrik Asato dan terus berjalan menuju bukit kecil. Begitu menyeberangi sebuah jembatan batu, maka terlihatlah gedung sekolah kami. Sebuah sekolah pendidikan guru, khusus perempuan. Di sinilah berkumpul siswi-siswi terbaik dari penjuru Okinawa.

Himeyuri—Putri Bunga Bakung—begitulah orang-orang menyebutnya. Seharusnya aku bangga menjadi bagian dari mereka, seandainya itu atas usahaku sendiri.

Para sensei dengan bergantian memberi aba-aba, mulai dari barisan terdepan hingga yang paling belakang. Setiap barisan mempercepat langkahnya menuruti aba-aba tersebut. Bunyi-bunyi perkakas semakin riuh, mengikuti entakan tubuh dan ayunan langkah kami.

Begitu melewati gerbang sekolah, kami memisahkan diri menurut barisan. Kami mengembalikan perkakas kebun ke gudang penyimpanan, sebelum akhirnya pulang ke asrama masing-masing. Namun, baru saja menanggalkan sepatu di teras, kudengar seseorang memanggil namaku.

Aku menoleh. Di pintu gerbang kulihat Yasuko, adik perempuanku, berdiri sembari melambai-lambaikan tangannya. "Ane-ue!" ¹

Kuhampiri dia dengan tergesa-gesa. "Ada apa?"

"Hari ini Ayah kembali dari Naha. Ibu mau supaya Kakak juga pulang malam ini."

"Duh ... baiklah." Aku mengelap kening. "Tunggu di sini. Aku harus melapor pada Sensei."

Gadis itu pun mengangguk.

Aku berlari kembali menuju sekolah. Untungnya, saat itu beberapa sensei masih berkumpul di depan bangunan utama. Wali kelasku, Kagawa-sensei, juga ada di situ. Aku menghampirinya lalu mengutarakan maksudku.

Kagawa-sensei dengan senang hati memberikan izin, terutama ketika dia tahu bahwa ayahku baru pulang dari Naha. Semua orang tahu apa yang sudah terjadi dengan kota kecil itu dan namanya seolah-olah menjadi "kata ajaib". Aku mendatangi Yasuko dan menggandengnya pulang.

Sore ini, aku merasa Distrik Asato begitu hening. Selama perjalanan, aku sendiri pun tidak mengucapkan apa-apa pada adikku. Barangkali aku lebih lelah dari yang kukira. Aku juga tidak banyak bicara ketika tiba di rumah, hanya melakukan semuanya sesuai arahan ibuku. Tahu-tahu, ketika tiba waktunya makan malam, kami sekeluarga sudah berkumpul di ruang tengah dengan keadaan bersih.

Itu cukup mengejutkan. Rasanya aku hampir tidak ingat apa saja yang sudah kulakukan sepanjang sore, sejak memasuki rumah ini. Jadi, yang kelelahan itu badanku, atau otakku? Aku langsung mengabaikan pikiran itu. Entah yang mana, tidak ada bedanya.

Tamu malam ini bukan hanya aku, melainkan juga kakek dan nenekku. Kemarin Ayah buru-buru berangkat ke Kota Naha untuk menjemput Kakek dan Nenek. Hari itu, 10 Oktober, pesawat-pesawat tempur Amerika muncul dari balik lautan dan melintasi langit Okinawa. Di hari yang sama, Naha dijatuhi bom. Meskipun kami tahu perang sedang berlangsung, kami tidak menyangka kalau akan sungguh-sungguh mengalaminya.

Kabar baiknya, Kakek dan Nenekku selamat. Aku berkata begini bukan karena tidak bersimpati dengan orang-orang yang kehilangan keluarganya. Manusia itu hanya seutas benang dari sekumpulan jalinan rajut.

"Kamarmu sudah dirapikan?" Ibu tiba-tiba bertanya dan memandang ke arahku. Waktu itu kami sedang memakan santap malam.

Aku menelan makananku, lalu menjawab, "Sudah."

Sementara ini Kakek–Nenek tinggal dengan kami, sehingga aku pun berbagi kamar dengan Yasuko, seperti sewaktu masih kecil dulu.

"Maaf, kami justru membuat kalian kesusahan." Nenek menautkan kedua tangannya di atas meja. Kulihat makanannya belum terjamah.

Ibu berpaling dariku dan memandang Nenek. Cahaya lampu menerangi wajahnya dan membuat matanya yang berwarna cokelat tampak sedikit membesar. "Sudahlah, tidak perlu merasa begitu. Dulu sewaktu masih di Naha, kami juga pernah menumpang di rumah Ayah dan Ibu. Sekarang, kalian sebaiknya makan, lalu istirahat."

Nenek terdiam sejenak, kemudian mengangguk kepada Ibu. Kali ini dia mengangkat sumpitnya perlahan dan mulai makan.

Entah sejak kapan aku ikut terdiam. Sedari tadi pandanganku hanya terpaku pada Nenek, terlebih-lebih pada tato di kedua tangannya. Tato-tato itu memiliki bentuk yang beragam. Ada yang menyerupai +, *, -, bahkan bunga. Semua memenuhi pergelangan tangan sampai ujung jarinya.

Aku sendiri tidak mengerti makna simbol-simbol tersebut. Aku pernah menanyakan tentang itu dengan Ibu dan jawabannya kira-kira begini: tato-tato di tangan itu jejak perjalanan hidup dan kebanggaan seorang wanita Ryūkyū. Ibu mengandaikannya seperti wanita-wanita Ainu yang menorehkan tato di mulutnya.²

Aku jadi teringat.

Teman-temanku selalu berpikir bahwa kami, orang-orang Ryūkyū, sesungguhnya bukan bagian dari Jepang.³ Sejak semula, banyak ketidaksamaan di antara kami dengan mereka dan itu diperparah dengan kebijakan Era Meiji. Mereka menganggap rakyat kami sebagai primitif, lalu memaksa kami mengubah apa yang sudah berlangsung sejak dahulu.

Teman-temanku juga menyalahkan mereka atas peristiwa di Pelabuhan Pearl. Pada akhirnya, justru kamilah yang menanggung kekacauan itu dan berhadapan dengan Amerika. Itulah sebabnya Kota Naha dihujani bom. Sekolah kami pun terbengkalai, sedangkan hari-hari kami dikerahkan untuk membuat galian atau berkebun untuk memberi makan prajurit Jepang.

Kalau dipikir-pikir, kelancangan di masa lalu memang sulit untuk diterima. Kendati demikian, aku mempunyai pendapatku sendiri. Saat ini, rakyat kami tidak mungkin berdiri sendiri, dan sekarang kami tidak memiliki sosok yang bisa dijadikan naungan.

Sosok tersebut kutemukan pada Sang Kaisar. Aku ingin bernaung pada-Nya. Bukankah setiap orang selalu menaruh harapan pada orang lain, atau sesuatu, supaya hidupnya punya alasan? Lagi pula, bukankah terasa menenangkan apabila mempunyai sosok yang bisa diharapkan? Rasanya, semua jadi memiliki tujuan.

Tentu saja, itu sepenuhnya kusimpan dalam hati.

Santap malam kami kali ini lebih banyak diwarnai dengan kesunyian. Mungkin kami semua kelelahan. Peristiwa berdatangan satu demi satu, dengan begitu tiba-tiba. Pemboman di Naha membuat hati kami diperas kelelahan. Sampai makan malam berakhir dan kami memasuki kamar masing-masing, semua tetap dilingkupi keheningan.

Begitu adikku memadamkan lampu kamar, barulah sedikit kedamaian menggenangi perasaanku. Dia berbaring di sisiku, dan tidak lama berselang kudengar napasnya mengalir teratur. Aku pun mengatupkan mata dan berharap apa yang terjadi di Naha adalah yang terakhir.

Nyatanya, pada bulan Januari di tahun selanjutnya, sekolahku menjadi puing-puing setelah dihujani bom.

***



昭和20年 03月 15日
15 Maret 1945

SORE ITU kami diperbolehkan meninggalkan asrama. Lagi-lagi aku pulang ke rumah dan lagi-lagi Ibu tampak sibuk di dapur. Bedanya, kepulanganku kali ini disambut dengan suasana yang lebih ringan.

Kami membicarakan banyak hal. Begitu banyak, sampai-sampai aku tidak ingat semuanya.

Selagi keluargaku berbincang, ingatanku pun melayang jauh ke belakang. Pikiranku tersedot dan akhirnya berlabuh pada momen sepuluh tahun lalu. Wakut itu, seluruh keluarga merayakan tanka-yueh untuk Yasuko ketika memasuki usianya yang setahun.

Orang tuaku menyiapkan gunting, koin, kuas dan balok tinta, buku, beberapa beras merah, dan—yang terakhir—abakus. Semua dijajarkan di hadapan Yasuko yang baru bisa berjalan. Dia harus memilih satu dari antaranya, sebagai petunjuk masa depannya kelak.

Semua orang berkumpul dan mengamati dengan tatapan yang berbinar-binar. Aku sendiri tidak sabaran. Yasuko tetap diam dan menimbang-nimbang, seolah-olah mempermainkan perasaan kami. Kukira dia akan mengambil koin, sebab dia suka menggigitnya. Namun, tanpa disangka-sangka, Yasuko ternyata menghampiri abakus.

Semua orang bersorak. Aku ikut bersorak.

Aku sendiri tidak punya ingatan tentang tanka-yueh-ku. Ibu pernah berkata kalau aku justru tidak memilih apa-apa dan merayap pergi. Mungkin karena begitu memalukan, kesadaranku memilih lupa saja.

Ingatanku tentang upacara itu mengantarkanku kembali kepada suasana di mana aku berkumpul bersama keluargaku sekarang. Ibu, Ayah, Nenek, Kakek, dan Yasuko. Kami kembali berkumpul mengelilingi meja makan yang sama.

Aku berpaling kepada Nenek. Tato di kedua tangannya merupakan simbol kedewasaan dan pencapaiannya selama hidup. Itu seperti tanda yang menerangkan jasa-jasanya sebagai kepala keluarga. Bukankah itu sangat bermakna?

Kemudian, aku melirik kepada Yasuko. Orang-orang menyebutnya gadis berbakat, sebab di usia lima tahun sudah lancar membaca dan mendeklamasikan puisi-puisi klasik. Tahun demi tahun dilaluinya bagaikan bunga yang semakin mekar dan menawan.

Terakhir, aku memandang Ibu. Dia sedang membicarakan tentang anak laki-laki keluarga Niigaki yang diam-diam sering memperhatikan Yasuko. Aku hanya tersenyum sewaktu mendengar bagaimana Ibu memergokinya dan membuatnya tersipu-sipu. Ibu, meskipun terkadang keberadaannya tidak mencolok, merupakan sosok yang luar biasa.

Dia seperti bunga melati yang menguncup di siang hari, tetapi bermekaran dan melahirkan wewangian di waktu malam, ketika tidak seorang pun menyadarinya.

Nenek, Ibu, dan Yasuko, mereka memiliki pencapaian hidup yang sangat bermakna. Sedangkan, aku ....

Aku sendiri memiliki kebiasaan aneh, yaitu menentukan tanggal lahir anggota keluargaku. Tidak seorang pun dari kami tahu kapan tanggal lahir masing-masing. Umur semua penduduk ditentukan dengan cara yang sama, yaitu ditambahkan satu setiap memasuki tahun baru, tanpa mengindahkan tanggal lahirnya.

Bagiku, perhitungan tersebut membuat usia terkesan tawar. Itulah alasanku menentukan tanggal lahir keluargaku sebagai berikut:

Nenek, 4 Mei.

Kakek, 15 Juli.

Ibu, 8 Desember.

Ayah, 7 September.

Yasuko, 16 Maret.

Mereka sangat berarti untukku. Aku tidak ingin hidup mereka terkesan tawar.

Namun ... aku tidak bisa menentukan tanggal lahirku sendiri. Pikirku, apa makna hidup yang telah kucapai sehingga hari lahirku patut diingat? Bukankah di hari itu, ibuku bertanding dengan maut untuk memberiku kehidupan? Bukankah jika aku yang tidak layak ini seenaknya menentukan tanggal lahirku, maka hanya mengingatkanku akan penderitaan Ibu?

Aku belum mencapai apa-apa yang layak menebus pengorbanan Ibu saat itu.

"Kamu sedang memikirkan sesuatu?"

Itu membuatku tersentak. Ayah menatapku heran dari balik kacamatanya.

"Barangkali dia masih capek." Ibu mengamatiku. Cemas. "Selama ini mereka selalu bolak-balik ke Shikina."

Ayah ikut-ikutan cemas. Matanya semakin memperhatikan wajahku. "Hm. Sebaiknya kamu lebih banyak beristirahat."

Aku pun mengangguk, lalu mengosongkan mangkukku. Ketika mereka mengkhawatirkanku, itu membuat dadaku seperti diikat. Aku berusaha sebaik mungkin supaya terlepas dari tatapan itu.

Aku meletakkan perlengkapan makanku dan beranjak. Sebelum masuk ke kamar, aku memberikan hadiah kepada Yasuko berupa boneka beruang dari bubur kertas. Besok adalah ulang tahunnya, meskipun barangkali hanya aku yang "ingat".

"Aku suka." Senyum Yasuko membentang. Manis sekali.

Setelah memeluknya, aku pun beranjak ke kamar dan mematikan lampu. Suara perbincangan dari ruang tengah berangsur samar, seiring kesadaranku memudar.

***



昭和20年 03月 24日
24 Maret 1945

AKU MENDENGAR GEMURUH GUNTUR di kejauhan. Seketika aku bergidik sambil menatap ke langit terbuka. Tidak ada awan. Tidak ada bintang. Bahkan, tidak ada kilat. Tidak ada apa-apa di sana selain kegelapan yang kental.

"Kamu takut?" Teman yang berjalan di sisiku bertanya.

Aku hanya menggeleng.

Malam ini, 24 Maret, kami diberangkatkan menuju rumah sakit di Haebaru—20 km dari Asato, tempat kami tinggal. Sejak November tahun lalu, kami telah dilatih dan dipersiapkan sebagai regu perawat bagi prajurit Jepang. Peperangan merayap semakin dekat dan akhirnya mengepung pulau kami. Sekaranglah tiba waktunya panggilan bertugas. Regu kami dinamakan Himeyuri Gakutotai—Korps Pelajar Himeyuri. Ditugaskan atas perintah resmi dari kemiliteran Jepang.

Sebelumnya, aku dan Ibu sempat bertengkar. Dia menolak kepergianku dan hendak membawaku mengungsi ke Ōgimi, di utara. Dia tahu pertempuran apa yang sudah menungguku.

Aku takut, kuakui itu.

Sejak kemarin kapal-kapal perang Amerika terus menggempur Okinawa. Itulah "gemuruh guntur" yang kudengar tadi. Namun, keputusanku berlawanan dengan kehendak Ibu. Aku tidak mau Amerika menodai tanah kami. Aku mau melawan mereka sebagai Himeyuri. Aku punya alasan sendiri yang menggugahku memutuskan itu.

Sejak mendengar kabar tentang pertempuran, sesuatu memenuhi pikiranku. Aku tidak ingin peperangan membuat wanita-wanita Ryūkyū semakin tersakiti. Pula, aku teringat dengan Yasuko dan "bunga-bunga" lainnya yang sedang bermekaran. Aku tidak ingin prajurit Amerika mengotori dan mencabik-cabik mereka.

Maka, sekarang di sinilah aku bersama seluruh kameradku, barisan Putri Bunga Bakung yang melintasi malam di bawah rinai hujan besi. Tas yang berat dan sesak tersentak-sentak di punggungku. Kepalaku panas karena diselubungi tudung pelindung.

Lagi-lagi guruh bergelora dari kejauhan, tanpa ada kilat yang mendahului. Peluru artileri beterbangan dari kapal-kapal perang, melintasi lautan, dan menghunjam tanah kami. Suara letupan di kejauhan seperti geraman hewan buas yang menerkam dari balik kegelapan.

Setidaknya, aku cukup terhibur ketika mendengar suara teman-teman yang masih bisa bergurau dan meredam kengerian yang menjalar bersama angin. Barisan kami bergerak cepat dan berharap segalanya akan membaik setibanya di rumah sakit nanti.

Meskipun demikian, pada akhirnya kami terdiam.

Kami kehabisan kata-kata ketika tiba di Haebaru. Apa yang kami dapati di sana membuat lidah kami tertegah. Di Bukit Koganemori, tempat kami akan bertugas, tidak ada satu bangunan pun berdiri. Yang menunggu kami di sana hanya seonggok bukit berwarna hitam legam.

"Maaf, apa perjalanannya masih jauh?" Kudengar suara Kagawa-sensei.

Suara lain pun menjawab. Katanya, "Tidak, kita sudah sampai."

"Maksudnya?"

"Inilah Rumah Sakit Militer Haebaru. Kalian akan bertugas di sini selama perang berlangsung."

Kenyataan jatuh menimpa kepala kami. Kurasa, semua orang merasakan hal yang sama. Kami telah menelan kenyataan seperti meneguk bongkahan duri, yang mengiris kerongkongan, tetapi juga tidak bisa dimuntahkan.

Apa yang selama ini disebut sebagai rumah sakit, ternyata sebuah bukit kecil dengan puluhan gua terowongan. Gua-gua inilah yang menjadi ruang penampungan pasien, di mana kami pun tinggal di dalamnya. Jika harus memilih satu kata untuk mendeskripsikan suasana di dalam sana, aku akan memilih "neraka".

Gua, yang sejak semula sudah sempit, semakin sesak karena pasien-pasien yang dibiarkan saja tergeletak. Bebauan dari darah, nanah, tinja, dan daging busuk pun menggumpal menjadi suatu entitas miasma.

Kami selalu membuat-buat alasan supaya bisa keluar dari gua tersebut, walaupun pesawat tempur yang lewat ketika siang bisa saja sewaktu-waktu membunuh kami. Kupikir kami akan terbiasa setelah beberapa hari, tetapi pada akhirnya itu mustahil. Kami juga berusaha menghibur diri dengan berkata bahwa ini hanya berlangsung selama beberapa minggu, tetapi itu pun tidak mengobati keadaan.



PADA SUATU HARI, seorang perawat memanggilku. Dia membawaku melewati persimpangan antara Terowongan 17 dan 18, di mana aku melihat lebih banyak pasien yang terkapar. Di situ, beberapa rekanku sudah menunggu.

"Bantu mereka membawa ini." Itulah yang diucapkan perawat tersebut, selagi menunjuk kepada seorang prajurit.

Dia sudah mati. Punggungnya berwarna keunguan karena gumpalan darah, kontras dibandingkan kulitnya yang pucat. Luka-lukanya bernanah, dengan bau yang mengaduk-aduk lambungku.

Aku sempat terpaku. Namun, perawat itu menegaskan lagi perkataannya sehingga badanku bergerak dengan sendirinya. Ini pertama kali aku menggotong mayat, dan tidak kusangka luar biasa berat. Perlu empat orang untuk membawanya keluar.

Aku, sendirian, pernah mengangkat tubuh teman yang pingsan. Itu terasa jauh lebih ringan. Ternyata kematian dan kehidupan sangat berbeda meskipun dari luar tampak serupa. Sesuatu yang masih berlangsung, meskipun itu kecil, ternyata benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan sesuatu yang telah berhenti sama sekali.

Selama perjalanan untuk menguburkan mayat ini, kami terpaksa melemparnya berkali-kali. Itu karena kami harus bersembunyi sewaktu pesawat tempur Amerika melintas. Sesudah aman, barulah kami menggotongnya lagi. Kami menguburkannya dekat kaki bukit, di mana sudah banyak digali makam-makam serupa.



昭和20年 03月 29日
29 Maret 1945

SELEPAS PETANG, kami dikumpulkan di sebuah gubuk di Bukit Koganemori. Semua yang hadir adalah siswi Himeyuri yang duduk di kelas 3 dan beberapa sensei. Hatiku berdebar-debar ketika berdiri dalam barisan, sambil mengamati sekeliling. Barangkali, itulah senyum pertamaku sejak tiba di Haebaru.

Malam ini adalah upacara kelulusan kami.

Kepala sekolah jauh-jauh datang dari Shuri untuk menggenapi upacara ini. Segalanya berlangsung dengan serba ringkas, tetapi saat itu beban-beban kami rasanya terlepas. Satu demi satu, diploma kami dibagikan di akhir upacara.

Gubuk itu gelap, karena tidak boleh menyalakan cahaya di alam terbuka. Angin musim dingin pun merayap di antara rerumputan. Namun, kehangatan meluap dari dalam hati kami. Aku memeluk Kagawa-sensei bersama teman-teman yang lain.

Sesuatu yang tetap berlangsung, meskipun kecil, tetap saja bermakna. Aku sudah mencapai sesuatu yang kecil. Makna hidupku sekarang sudah mulai merona, seperti Nenek dan Yasuko.

***



昭和20年 04月 20日
20 April 1945

"GAKUSEI-SAN! GAKUSEI-SAN!"

Seruan tersebut datang dari dalam gua. Saat itu, aku dan yang lainnya sedang memasak nasi di luar. Kami bergegas masuk dan mendapati ada prajurit yang meronta-ronta.

"Sakit!" pekiknya. "Kakiku sakit!"

Kami memanggil dokter. Begitu perban di kaki prajurit itu dibuka, belatung berjatuhan bersama tetesan darah dari lukanya. Melihat itu, kami langsung tahu apa yang harus dilakukan. Dengan pinset, aku menyelisik koyak daging betis prajurit tersebut, mengeluarkan belatung dari sana satu per satu. Serangga gempal itu bersembunyi dalam rongga-rongga yang digalinya di antara daging. Tugaskulah melacak dan mengeluarkannya.

Ah, bukankah kami serupa dengan belatung-belatung ini? Bersembunyi dalam gua dan berharap tentara Amerika tidak menemukan kami, tetapi nyatanya keadaan tidak semakin baik.

Entah berapa bulan berlalu, sejak kami bersarang di gua-gua ini. Aku kehilangan jejak waktu, sebab setiap harinya disuguhi dengan kengerian yang sama. Hanya bentuknya yang beragam. Setiap hari kami hanya makan onigiri seukuran bola pingpong. Kalau beruntung, kami bisa memasak sayuran dan herba liar. Banyak temanku yang akhirnya mengidap rabun senja. Aku sendiri sudah berhenti mengalami menstruasi. Kami bekerja sepanjang waktu supaya jangan ada lagi prajurit yang mati. Namun, itu percuma. Tempat ini hanyalah persinggahan sebelum dijemput kematian.

Suatu hari, aku menolong dokter ketika mengamputasi lengan prajurit yang digerogoti gangren. Kami kehabisan obat bius, sehingga selama proses itu aku harus menahannya supaya tidak berontak. Sesudah semua selesai, dokter menyuruhku membuang potongan lengan itu ke luar. Ternyata kengerian yang kusaksikan tidak hanya sampai situ.

Prajurit-prajurit yang tergeletak di sepanjang gua, dengan perut kelaparan, menatap pada potongan lengan yang kubawa. Mereka mendesakku supaya memasaknya untuk mereka. Seketika, isi lambungku bergejolak. Kepalaku pusing, dan kuabaikan mereka sambil berlari keluar. Tempat ini sudah mengubah kami. Jiwa kami terkikis, hanya menyisakan monster di dalamnya.

Hingga malam itu, dokter yang menangani "rumah sakit" ini menyampaikan kabar yang mengejutkan semua orang. Katanya, "Besok, dini hari, kita akan meninggalkan Haebaru menuju Makabe di selatan. Bersiap-siaplah."

Kabar itu membuatku kebingungan. Bagaimana kami bisa membawa seluruh pasien dari sini? Jumlahnya mungkin ribuan. Lagi pula, banyak teman-temanku yang juga terluka parah.

Jawaban itu datang tanpa perlu kucari. Menyusul pengumuman tadi, kami ditugaskan membagi granat untuk masing-masing pasien yang terluka parah dan tidak bisa berjalan. Hal terakhir yang bisa sediakan hanya kesempatan untuk mengakhiri penderitaan mereka.

Kagawa-sensei menghampiri teman-temanku di ruang perawatan mereka. Kami berkumpul dan saling menumpahkan perasaan. Aku tidak sampai hati menyerahkan granat ini untuk mereka. Maka, Kagawa-sensei memberikan mereka susu, sekaleng untuk seorang.

"Minumlah apabila kalian merasa takut. Ini akan membuat kalian lebih baik. Susul kami kalau sudah sehat."

Air mataku semakin menggenang. Mulutku menolak berkata-kata. Teman-temanku ini tidak mungkin menyusul, sebab susu itu telah dibubuhi racun keras atas perintah komandan militer.

Akhirnya, sesuai waktu yang sudah ditetapkan, kami semua berangkat. Hujan turun sejak semalam. Tanah yang kami susuri berubah menjadi sungai lumpur. Gemuruh guntur dan dentuman meriam sudah tidak bisa dibedakan. Suaranya saling bertaut. Bom dan peluru meriam mengguyuri tanah bersama rinai hujan.

Sekali lagi, kami dinaungi oleh badai besi.

Rombonganku sampai di Makabe ketika menjelang terang. Belakangan, aku mendengar tidak semuanya mencapai Makabe dalam badai tadi malam. Banyak yang terpencar ke desa-desa lainnya dan berlindung sampai keadaan mereda.

Namun, kesempatan yang dinantikan tidak pernah datang. Seorang penyampai pesan menemui rombongan kami, lalu menyuruh kami mencari tempat persembunyian. Hari ini juga, kapal perang Amerika mendekati pesisir Itoman dan tanpa henti melepaskan tembakan. Mereka tidak tahu, bahwa peluru-peluru itu mendarat tepat di mana teman-temanku berada. Ledakan bergolak dari kejauhan dan tanah terombang-ambing.

Rombongan kami hanya bisa bertahan di dalam sebuah gua alam sampai badai besi itu berakhir. Kemudian, kami menjadikan gua alam ini sebagai "rumah sakit" yang baru. Apa yang berlangsung selama di Haebaru terulang lagi di sini. Bahkan lebih buruk. Bulan-bulan terus berlalu, kujalani dalam mimpi buruk.

***



昭和20年 06月
Juni 1945

TENGAH MALAM AKU DIBANGUNGKAN, lalu dibawa berkumpul di tengah-tengah gua. Seorang prajurit perwira berdiri di sana dengan memegangi sebuah lentera.

"Aku, atas nama markas militer, menyampaikan pesan untuk kalian." Begitu ucapnya. Perlu beberapa saat sampai aku paham kalau itu ditujukan bagi kami, para Himeyuri. Kemudian, dia pun berkata, "Kami menghargai kesungguhan kalian selama ini. Sekarang, tugas kalian selesai dan pergilah."

Perkataan tersebut meninggalkan gaung yang melayang-layang memenuhi gua ini. Terlebih lagi, kata-kata itu tetap bersemayam dalam hatiku.

Tugas kami berakhir.

Seharusnya aku senang, tetapi sedikit pun tidak kurasakan itu. Aku menyusul prajurit tersebut, lalu bertanya, "Tanggal berapa hari ini?"

"18 Juni."

Aku bingung. Tugas kami sudah usai, tetapi sekarang kami tidak memiliki tujuan. Kami harus meninggalkan gua ini, sebab kami bukan lagi bagian dari militer. Padahal tidak ada tempat yang bisa dihampiri. Semua ditelan perang.

Di tengah-tengah kekacauan pikiranku, Kagawa-sensei meraih tanganku dan membawa kami semua pergi. Kami bergerak dalam kegelapan, menyusuri tanah yang tidak kuketahui ujungnya di mana. Saat itu pertempuran terus berlangsung. Bola-bola suar melayang di kejauhan, seperti bola-bola jiwa orang mati, sementara peluru-peluru yang berdesing mengeluarkan siulan yang menyayat angin.

Kami tetap berlari, berlomba dengan kematian yang mengeriap di belakang kami. Sampai akhirnya, kurasakan tiupan angin menerpa tubuhku. Tanah lembek mulai berganti dengan bebatuan tajam. Sayup-sayup, telingaku menangkap bunyi empasan ombak. Kami bersembunyi di sebuah ceruk tebing dan beristirahat sampai matahari terbit. Kupikir kematian telah jauh tertinggal di belakang dan kehilangan jejak kami.

Ketika semua semakin terang, apa yang kulihat di lautan membuatku tercengang. Aku mengarahkan telunjukku ke sana, sehingga Kagawa-sensei dan teman-temanku memandang ke arah yang sama.

Lautan dipenuhi oleh kapal perang Amerika, berbaris di sepanjang cakrawala.

Kami hanya bisa menangis, untuk waktu yang tidak kutahu lamanya. Sebagian dari teman-temanku pun bangkit dari persembunyiannya dan menghampiri ujung tebing di sisi kami.

"Apa yang kalian lakukan?" Aku hendak menyusul, tetapi tubuhku menolak bergerak.

Mereka menoleh padaku dan membisikkan "Selamat tinggal", sebelum melompat dari tebing tersebut. Tubuh mereka meluncur cepat dengan kedua tangan merentang ke depan, seperti anak-anak yang menyongsong pelukan ibunya.

Aku pun memalingkan wajah. Laut telah menerima mereka, kembali kepada rahim yang melahirkan leluhur kami.

Entah kapan, air mata kami akhirnya berhenti mengalir. Kami bertahan selama satu hari satu malam, tanpa makan maupun minum sampai matahari mulai terbenam. Saat itu aku teringat sesuatu.

Seorang sensei yang berasal dari Tōkyō pernah bercerita, bahwa orang-orang Eropa selalu mengingat hari lahir mereka. Masing-masing orang, baik tanggalnya sama maupun berbeda. Bahkan, mereka merayakannya dengan jamuan bersama orang-orang yang dikasihi, lalu meniup lilin ulang tahun. Aku sama sekali tidak punya gambaran tentang itu, tetapi "berkumpul bersama orang-orang yang dikasihi" cukup menyentuh perasaanku.

Aku memandang kepada lengkung langit, di mana matahari semakin tenggelam. Aku membayangkan matahari itu seperti cahaya lilin yang muram. Itu mengingatkanku akan Ibu, Yasuko, Nenek, Ayah, Kakek, dan teman-teman yang berjuang bersamaku.

Aku pun bertanya, "Sensei, sia-siakah yang kita lakukan? Pada akhirnya, kita kalah perang."

Dengan tenaga yang tersisa, Kagawa-sensei menggelengkan kepalanya. "Tidak," sahutnya. "Cara terbaik untuk mengukur suatu dunia adalah dengan keluar dari dunia itu sendiri. Kalian telah keluar dari dunia kalian masing-masing, tenggelam pada dunia lain yang seharusnya tidak kalian alami. Aku tahu ... saat ini kalian sudah memiliki penilaian sendiri tentang hidup kalian."

Pikiranku pun terbuka.

Saat itu pertama kalinya, aku merasa hidupku bermakna. Ya, aku secara tidak sadar telah mengukur hidup dan duniaku yang telah kutinggalkan—dunia di mana aku bersama keluarga dan orang-orang terkasih—untuk masuk ke dalam dunia yang baru ini, di mana aku sendirian dikungkung oleh kengerian.

Selama ini aku memandang sepele apa yang telah kucapai dan menganggapnya tidak bermakna. Namun, aku tidak menyesal. Aku bersyukur bisa menutupnya dengan pencapaian sebesar ini. Hidupku tidak sekadar bermakna bagi diri sendiri, melainkan juga untuk Kaisar dan rakyatku. Inilah pencapaian hidupku. Dunia dan hidupku ternyata begitu besar. Aku tidak bisa mengukur nilainya.

Setelah sekian lama ... akhirnya aku bisa menentukan tanggal lahirku.

Hari ini, ulang tahunku, tanggal 20 Juni.

Tubuh ini. Hidup ini. Semua milik Kaisar. Aku tidak akan membiarkannya ternodai oleh tentara-tentara Amerika. Aku tidak akan menyerahkannya pada musuh Kaisar. Tidak pada seorang pun.

Kagawa-sensei memanggil kami, lalu melepaskan sumbat granat yang menggantung di kemejanya. Kami mendekat padanya dan memeluk dengan erat. Hangat dan begitu mendalam.

Matahari telah berubah menjadi titik kecil di cakrawala. Maka, aku mengatupkan mata dan meniup "lilin" ulang tahunku.



—————————————————————

Pertempuran di Okinawa berakhir tanggal 22 Juni 1945.

Ketika pertama diterjunkan, Korps Himeyuri beranggotakan 222 siswi dan 18 orang guru.

Namun, hanya 11 siswi dan 2 orang guru yang selamat.






Alur Pertempuran di Okinawa.
Para Himeyuri dipaksa untuk meninggalkan Haebaru, terus menuju Makabe di Selatan.


—————————————————————

¹Ane-ue (姉上) merupakan panggilan untuk kakak perempuan yang lebih tua. Nama panggilan ini sudah jarang digunakan.

²Ainu adalah suku asli yang menetap di Hokkaido dan pulau-pulau sekitarnya.

³Orang Jepang yang dimaksud di sini adalah bangsa Yamato, penduduk Pulau Utama Honshū.

——— Ω ———

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top